Jakarta, Kompas - Selama 10 tahun terakhir, sejumlah undang-undang yang terkait dengan media massa diundangkan di Indonesia. Bersamaan dengan kelahiran peraturan itu, hadir pula sejumlah lembaga regulator media. Namun, lembaga yang seharusnya mandiri itu hingga kini belum sepenuhnya independen, karena pembiayaan kegiatannya masih bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Demikian diungkapkan peneliti pada Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), S Bayu Wahyono, kala berkunjung ke Redaksi Kompas, Jakarta, Kamis (20/1). Pada periode Juli-Desember 2010, PR2Media melakukan pemantauan terhadap regulator media dan komunikasi di Indonesia. Hasil pemantauan itu dituangkan dalam buku berjudul Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi, yang diterbitkan bersama Yayasan Tifa.
Sebelum memantau regulator media, menurut Ketua PR2Media Amir Effendi Siregar, timnya juga mengkaji kebijakan pelarangan buku di negeri ini. Hasil kajian yang dibukukan itu juga ditindaklanjuti dengan langkah hukum sehingga peraturan pelarangan buku dinyatakan tidak berlaku lagi. Delegasi PR2Media diterima oleh Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun.
Regulator media yang menjadi kajian PR2Media adalah Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Lembaga Sensor Film (LSF), Komisi Informasi (KI), dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Hasilnya, seluruh regulator media itu bermasalah dalam kemandiriannya karena mereka masih mendapatkan anggaran dari negara. Akibatnya, jelas Bayu, komisioner regulator media pun terjebak pada ritme kerja birokrasi. Sulit untuk mengharapkan mereka sebagai agen perubahan.
Kondisi itu, lanjutnya, tidak sejalan dengan semangat demokrasi, yang menghendaki lembaga regulator media bersifat independen. Anggota lembaga regulator media pun terjebak pada kegiatan rutin administratif, seperti menyusun rencana anggaran dan pertanggungjawaban anggarannya sesuai ketentuan administrasi negara.
Bayu menambahkan pula, hampir seluruh regulator media itu tidak terlalu mempersoalkan kepemilikan silang media massa. Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas melarang kepemilikan silang media itu untuk menjaga independensi media.
Dewan Pers
Peneliti PR2Media lainnya, M Faried Wahyono, menambahkan, regulator media, khususnya Dewan Pers, juga masih belum bisa menanggalkan ancaman pasal defamasi (pencemaran nama baik), yang bisa membuat wartawan dipenjara. Padahal, yang diinginkan kalangan pers dan masyarakat adalah adanya kehidupan pers yang bebas dan berkualitas.
Faried mengakui, memang selama ini sudah ada mekanisme yang jelas dalam menyelesaikan sengketa pers, yang berlaku di Dewan Pers. Namun, mekanisme penyelesaian itu belum bisa menghindarkan wartawan untuk tetap dituntut di pengadilan, termasuk kemungkinan membangkrutkan perusahaan pers.
Terkait Dewan Pers, dari pantauan PR2Media yang disajikan dalam bukunya, terungkap lembaga regulator media (cetak) itu masih menghadapi persoalan kelembagaan serta struktural dan kultural. Dari sisi kelembagaan, selama ini Dewan Pers dianggap cenderung memenangkan pers jika berpersoalan dengan masyarakat. Padahal, Dewan Pers bertugas menjaga kebebasan pers.
Hambatan struktural yang dialami Dewan Pers berimplikasi negatif pada kebebasan pers. Ancaman pada pers pun kini justru semakin menguat. (tra)
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Januari 2011
No comments:
Post a Comment