KAMIS (6/1) siang di sepenggal Kawasan Berikat Nusantara Cakung, Sumirah (52), warga Kampung Malaka, Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, keluar dari gang sempit tertutup ilalang. Satu kantong plastik besar terselempang di bahunya. Berbaju lengan panjang lusuh dan memakai ikat kepala dari kaus tua, Sumirah berkeliling Kawasan Berikat Nusantara.
Setiap hari Sumirah mencari kertas-kertas sisa pembungkus makanan para buruh di Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Kertas yang dikumpulkan itu berwarna putih, bukan yang coklat. Ia kemudian menjual kertas kepada penampung setiap minggu. Jumlahnya lumayan. Setiap minggu ia mengumpulkan 15-20 kilogram dan menjual seharga Rp 400 per kilogram. ”Dijual di sekitar KBN, ada yang menampung,” kata Sumirah.
Berbarengan dengan Sumirah, ada perempuan lain yang mengais mencari botol plastik, kardus, dan sisa-sisa nasi makanan para buruh pabrik.
”Saya mengumpulkan nasi, lalu saya jemur. Ada yang membutuhkan nasi kering untuk makanan bebek. Kalau sudah kering harganya Rp 500 per kilogram,” kata Asroh (46), pemulung nasi sisa dan botol plastik.
Sumirah dan Asroh adalah dua warga berkartu tanda penduduk (KTP) DKI Jakarta yang mencari nafkah dengan mengais sampah. Mereka mencari apa saja untuk mendapatkan uang halal dan demi menyekolahkan anak-anak mereka. ”Yang penting anak tetap bisa sekolah,” kata Asroh.
Keduanya menjadi pemulung karena suami mereka kini tidak bisa lagi mencari nafkah di Pelabuhan Kalibaru, Cilincing. Sejak 2006, pelabuhan itu bukan lagi untuk pelabuhan kayu. Dampaknya, buruh-buruh angkut kayu kehilangan pekerjaan sekaligus pendapatan mereka.
Sumirah dan Asroh lumayan tegar. Mereka segera beralih mencari barang-barang bekas di sekitar KBN yang memiliki puluhan ribu buruh. Anak-anak mereka juga masih bersekolah karena mereka tinggal di Rorotan yang terbilang dekat dengan jalan besar.
Hal ini berbeda dengan warga Marunda Kepu, Kelurahan Marunda, Cilincing. Warga di tempat itu kesulitan menyekolahkan anak mereka karena tiada sekolah di kawasan tersebut. Kalaupun ada, letaknya sangat jauh dan menghabiskan ongkos banyak. Mereka harus naik ojek karena angkutan kota tidak mencapai kampung itu.
Tidak heran, di sana banyak anak-anak yang putus sekolah karena orangtua mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayar ongkos ke sekolah.
Menurut Jayadi, Ketua RT 08 RW 07 Marunda Kepu, warganya adalah nelayan yang berpendapatan tak menentu. Apalagi kini ikan sangat sulit ditemukan di perairan Teluk Jakarta.
Kesulitan nelayan bertambah karena untuk mendapatkan ikan, mereka harus keluar dari Teluk Jakarta. Padahal, sulit melakukan hal itu karena mereka kesulitan mendapatkan solar.
Solar pasokan Pertamina di tiga stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) bagi nelayan hanya mampu memenuhi kebutuhan untuk rata-rata 10 hari. Sisanya, mereka hanya diam di rumah, tidak bisa melaut. Para nelayan juga tak mungkin membeli solar di SPBU lain karena SPBU tidak menjual solar untuk pembeli berjeriken.
Kesulitan ekonomi menye- babkan anak-anak nelayan sulit bersekolah. Walaupun biaya sekolah gratis, mereka tidak mempunyai uang untuk membayar ongkos pergi ke sekolah.
Persoalan sekolah menjadi sulit karena sebagian besar dari mereka memiliki banyak anak sehingga harus mengeluarkan biaya sekolah cukup besar, terutama untuk ongkos kendaraan.
”Jika seorang anak butuh ongkos Rp 10.000 dan punya lima anak, berarti sehari harus punya Rp 50.000 hanya untuk ongkos sekolah,” ujar Jayadi.
Ongkos ke sekolah menjadi mahal di kawasan Marunda karena sekolah yang ada cukup jauh dari permukiman warga. Angkutan umum juga tidak melewati kawasan rumah mereka yang terletak di tepi pantai.
Kondisi ekonomi sulit seperti itu salah satu penyebab jumlah nelayan kian lama kian berkurang. Hal ini tidak hanya menimpa nelayan di Marunda, tetapi juga di Muara Angke dan Muara Baru.
Berdasarkan data dari Suku Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Jakarta Utara, pada 2004, jumlah nelayan 16.428 orang. Pada 2008, jumlah nelayan tinggal 10.418 orang. Sebagian besar dari mereka beralih menjadi pemulung, terutama pemulung di pantai.
Jumlah pemulung kiranya terus bertambah. Apalagi ke-13 sungai yang ada di Jakarta semua bermuara di Jakarta Utara dan semua sungai itu membawa sampah dari Jakarta, Bogor, dan Depok. Banyaknya sampah juga terbukti dari semakin suburnya lapak-lapak pengepul sampah di wilayah Jakarta Utara, seperti di sepanjang jalan raya Cakung-Cilincing, di Jalan Gaya Motor Sunter, dan Jalan Raya Cilincing.
Selain bagi masyarakat nelayan dan pesisir, kesulitan hidup juga membelit sebagian penduduk yang menggantungkan diri dari pertanian atau buruh lepasan dan pekerja serabutan.
Seperti di Dukuh Banjangsari, Desa Randusanga Kulon, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Dukuh itu termasuk daerah tertinggal karena tidak memiliki akses dan tidak ada listrik.
Jalan menuju dukuh itu terbatas, yakni melalui tanggul Sungai Pemali dan tanggul tambak. Jika hujan, sulit bagi kendaraan apa pun untuk melaluinya karena sangat licin.
Penduduk di daerah itu bekerja sebagai buruh tani, buruh tambak, dan buruh nelayan. Rumah mereka kecil dan hanya berdinding anyaman bambu.
Kini, sebagian penduduk hidup dengan penghasilan sangat terbatas dan sering makan ketela tanpa lauk. Bagi mereka, beras paling murah pun adalah kemewahan yang sulit terjangkau. Bahkan, mereka sering berpuasa karena tidak ada makanan.
Misalnya suami-istri Sarwan (65) dan Ruminah (60). Sarwan bekerja membuat atap dari alang-alang dan berpenghasilan Rp 30.000 per minggu. Sementara Ruminah tidak bekerja karena tidak mampu berjalan lagi dan penglihatannya terganggu.
Kepala Desa Randusanga Kulon Ahmad Zaeni mengakui, banyak warganya yang miskin. Dari 137 keluarga di Dusun Banjangsari, 132 keluarga adalah penerima bantuan beras untuk rakyat miskin. (ARN/WIE)
Sumber: Kompas, Senin, 10 Januari 2011
No comments:
Post a Comment