DI tengah kebisingan suara mesin generator pembangkit listrik, puluhan sastrawan itu tegak berjajar, membentuk separuh lingkaran tak beraturan. Tak ada keheningan saat kedua telapak tangan ditadahkan ke ”langit”, berdoa, saat menziarahi makam sastrawan besar negeri ini: Raja Ali Haji.
Sejumlah sastrawan peserta Temu Sastrawan Indonesia III/2010 menyempatkan ziarah ke makam pujangga Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau. (KOMPAS/KENEDI NURHAN)
Dipandu penyair Djamal D Rahman, doa pun dipanjatkan. Warna kuning gading simbol kebesaran Kesultanan Melayu Riau-Lingga di kompleks pemakaman tetap menyala terang, meski gerimis mulai berubah jadi rintik hujan, dan awan gelap sudah menyungkup di atas Pulau Penyengat. Tangan-tangan masih ditadahkan, doa pun masih diwiridkan, sebelum akhirnya ’prosesi’ itu bubar setelah hujan benar-benar turun.
Siang hingga sore itu hujan turun begitu deras. Sejumlah agenda yang dirancang panitia Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 selama ziarah ke pusat peradaban literer Melayu pada abad ke-19 tersebut terpaksa dibatalkan. Forum baca puisi yang sudah disiapkan di balai kelurahan setempat dengan sendirinya gagal dipergelarkan. Pembacaan larik-larik Gurindam Dua Belas-nya Raja Ali Haji oleh seniman Pulau Penyengat juga tak jadi dipertunjukkan.
Tentu hanya suatu kebetulan bila agenda kegiatan sastrawan di Pulau Penyengat siang dan sore itu jadi berantakan (meski James Redfield—pengarang trilogi Manuskrip Celestine—percaya sesungguhnya tidak ada peristiwa yang benar-benar terjadi secara kebetulan di muka bumi ini). Namun, terlepas dari itu semua, lawatan wisata sastra ke Pulau Penyengat seusai seminar mengenai ”Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman” di Tanjung Pinang, Bintan, itu paling tidak jadi semacam pelepas rindu kepada salah satu tokoh besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, dan berkarya jauh sebelum Indonesia merdeka.
Tentu saja momen tersebut sekaligus sebagai sarana untuk merajut ingatan pada kejayaan masa lampau sastra Melayu (baca: Indonesia), dengan Raja Ali Haji (1808-1873) sebagai salah satu tokohnya yang bermastautin di Pulau Penyengat. Lewat sejumlah karya abadi Raja Ali Haji, seperti Gurindam Dua Belas yang amat terkenal itu, jejak-jejak awal tradisi kepengarangan dalam perspektif sejarah sastra (modern) Indonesia masih bisa dilacak.
Taman para penulis
Pulau Penyengat hanya ’sepelemparan batu’ dari Tanjung Pinang, pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau yang berada di Pulau Bintan. Dari bibir pantai Bintan, perkampungan di Pulau Penyengat dengan Masjid Sultan sebagai ikonnya begitu jelas terlihat. Hanya 15 menit naik pompong (perahu bermesin) dari dermaga khusus di Tanjung Pinang.
Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, terutama pada paruh kedua abad ke-19, Pulau Penyengat tercatat dalam sejarah sebagai taman para penulis (bustan al katibin). Dari pulau kecil ini, pada masa itu tradisi intelektual tumbuh subur. Kegairahan menulis berbagai ranah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bentuk karya sastra, lebih khusus lagi berupa syair, digambarkan bak cendawan yang bermekaran di musim hujan.
Raja Ali Haji bersama sejumlah penulis Melayu lainnya yang berhimpun dalam semacam organisasi para intelektual bernama Rusdydiah Club, menurut catatan budayawan Hasan Junus, menghasilkan tak kurang 60 buku tentang berbagai hal. Untuk ukuran pada saat itu, di pertengahan abad ke-19, tentu saja ini capaian luar biasa.
Raja Ali Haji sendiri, selain melahirkan karya bernas tentang nilai-nilai yang seharusnya diamalkan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari lewat Gurindam Dua Belas (1846), juga menelurkan beberapa karya lain yang—meminjam istilah penyair Sutardji Calzoum Bachri—cemerlang dan sangat fundamental. Seperti halnya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang menulis dari daerah di ”seberang parit” (begitulah orang- orang Melayu-Riau menyebut tanah Semenanjung yang dipisahkan oleh Selat Melaka), persisnya di Tumasik atau yang sekarang bernama Singapura, karya-karya Raja Ali Haji pantas ditabalkan sebagai tonggak awal perintisan penulisan tradisi sastra (modern) Indonesia.
Lupakan sejenak model pembabakan sastra Indonesia oleh beberapa tokoh pencatat sejarah, yang mengawali periodisasi sastra Indonesia sejak era Pujangga Baru ataupun Balai Pustaka. Karya-karya Raja Ali Haji, sebutlah seperti Tuhfat al-Nafis (1864) serta kitab tata bahasa berjudul Bustanul Katibin (1850) dan kamus bahasa berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah perkembangan literer di Nusantara.
Khusus soal kemasyarakatan maupun pemerintahan, Raja Ali Haji menghasilkan karya-karya berjudul Thamaraah al-Muhimmah (1857), Muqaddimah fi Intizam (1857), dan Syair Suluh Pegawai (1866). Belum lagi syair- syair lain yang ia buat, seperti Syair Hukum Nikah, Syair Siti Shianah, dan Sinar Gemala Mestika Alam.
Sastrawan Taufik Ikram Jamil yang banyak meneroka sosok kepengarangan Raja Ali Haji melihat, hampir seluruh karya Raja Ali Haji dilandasi nilai-nilai keislaman, sesuai agama yang ia anut. Akan tetapi, Taufik segera memberi tambahan bahwa semangat keislaman yang diusung Raja Ali Haji itu tidak dalam perspektif sempit, apalagi picik.
Sebagaimana terungkap melalui karya-karyanya, ajaran Islam tidak ia tempatkan sebatas hanya urusan Sang Pencipta dengan makhluknya. Tidak kalah pentingnya, kata Taufik Ikram, adalah hubungan antarmanusia. Sikap ini pada gilirannya menuntut Raja Ali Haji untuk tidak berdiri pada satu sosok penulisan, tapi dengan berbagai sosok sebagaimana terungkap melalui jenis dan ragam karyanya.
Taufik pun akhirnya sampai pada kesimpulan, ”Tak diragukan lagi bahwa Raja Ali Haji setidak-tidaknya adalah sorang ulama yang menulis secara lintas sektoral. Ia tidak berkutat dengan ilmu-ilmu keislaman semata, tetapi menarik posisi pada penerapan ajaran Islam untuk kemaslahatan umat.”
Tradisi yang berlanjut
Tak cuma Raja Ali Haji, Pulau Penyengat juga dihuni penulis-penulis lain, seperti Abu Muhammad Adnan, Tengku Sayid Muhammad Zain al-Kudsi, Raja Ali Kelana, dan Raja Ahmad yang tak lain adalah ayah Raja Ali Haji. Pada masa itu, nama-nama penulis dari kalangan perempuan juga mendapat tempat terhormat, sebutlah seperti Raja Aisyah dan Raja Saleha.
Nama yang disebut terakhir adalah adik Raja Ali Haji. Menurut catatan H von de Wall yang ditemukan LWC van den Berg (Jan van der Putten & Al Azhar, 1995), Raja Saleha adalah penulis sesungguhnya Syair Abdul Muluk yang sebelumnya disebut-sebut karya Raja Ali Haji. Syair ini cukup terkenal di alam Melayu. Selain mengalami cetak ulang beberapa kali, pada perkembangan berikutnya, bahan cerita syair ini bermetamorfosis menjadi sebuah bentuk teater tutur bernama Dulmuluk di Palembang dan sekitarnya.
Membolak-balik catatan sejarah masa lampau kawasan ini, makin terlihat betapa tradisi keberaksaraan sudah menjadi semacam urat dan darah di alam Melayu sejak lama. Tradisi tulis yang semula hanya berkutat di lingkungan istana, kemudian menyebar ke khalayak lebih luas, menembus sekat-sekat strata sosial, lalu tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi.
Tidak berlebihan bila penyair Sutardji Calzoum Bachri sampai berkata, ”Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra-Pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi sastra di Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa. Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra.”
Beranjak dari kenyataan itu, kata Sutardji, maka bisa dikatakan bahwa tradisi penulisan sastra di Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan- percobaan atau eksperimentasi.
Ketika hujan reda dan langit di atas Pulau Penyengat mulai terang, saat rombongan sastrawan peserta TSI III/2010 bergerak menuju dermaga untuk kembali ke Tanjung Pinang, ucapan Sutardji saat tampil dalam Temu Sastra se-Riau di Pekanbaru tahun 1999 itu terus mengiang di telinga.... (KEN)
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Januari 2011
No comments:
Post a Comment