PERJALANAN Ruangrupa, komunitas yang bermarkas di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, mungkin bisa jadi contoh, bagaimana kelompok generasi baru membangun diri. Kelompok ini didirikan tahun 2000 oleh enam seniman muda, yaitu Ade Darmawan, Hafiz, Lilia Nursita, Oky Arfie, Rithmi, dan Ronny Agustinus. Ade belajar seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Rijksakademie Van Beeldende Kunsten-Institute Belanda, sementara lima seniman lain lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
”Kami ingin membuat ruang baru bagi seniman-seniman muda yang saat itu sulit menembus kancah seni rupa arus utama,” kenang Hafiz, yang kini menjadi Direktur Artistik Divisi Pengembangan Video Ruangrupa.
Program awalnya, mereka menggelar workshop bersama seniman dari kelompok Apotik Komik dan Taring Padi dari Yogyakarta di studio pelukis Hanafi di Depok, Jawa Barat. Hasil diskusi dituliskan dalam Karbon Journal yang terbit enam edisi dengan tema seni rupa publik.
Lewat jurnal itu, Ruangrupa lantas mendapat dana bantuan dari Rijksakademie Belanda. Itu untuk menyewa rumah di Kalibata, Jakarta Selatan, membeli peralatan kantor, serta membuat program urban printing dan video. Berbagai kegiatan itu mengantarkan mereka memperoleh pendanaan dari lembaga internasional, seperti Hivos dari Belanda, sekaligus mempertautkannya dengan jaringan seni urban internasional.
Ruangrupa lantas menggelar kegiatan rutin dua tahunan, seperti Festival ”Ok.Video” dan pameran ”Jakarta 32 derajat Celcius.” Mereka juga aktif menggarap seni ruang publik di sudut-sudut Kota Jakarta, seperti membuat mural atau grafiti. Pewacanaan diperkuat lewat Karbon Journal (yang kemudian diterbitkan secara digital), penelitian, diskusi, dan workshop penulisan seni.
”Kami tetap berbasis kehidupan masyarakat urban. Seni untuk memediasi beragam masalah kota,” kata Hafiz menambahkan.
Kini, Ruangrupa yang bermarkas di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, ini kian kuat. Ruang yang juga dilengkapi galeri ini menjadi wadah terbuka bagi kreativitas kaum muda Jakarta, serta memberi inspirasi bagi komunitas-komunitas serupa di kota-kota lain. Mereka mendapat apresiasi di panggung internasional dengan diundang dalam Gwangju Biennale di Korea Selatan dan Istambul Biennale di Turki.
Kurator Pameran Ruangrupa ”Decompression #10” di Galeri Nasional Jakarta, Agung Hujatnikajennong, menilai Ruangrupa telah berhasil menciptakan ruang alternatif bagi eksperimentasi di luar museum dan galeri pemerintah serta galeri komersial. Mereka bisa membuat dirinya menjadi independen atau otonom secara sosial dengan melepaskan diri dari hegemoni sistem pasar dan politik negara. (IAM)
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011
No comments:
Post a Comment