Awal Peradaban
Ex oriente lux
LEPAS dari segala kontroversi dan perdebatan ilmiah yang menyertainya, tesis geolog dan fisikawan nuklir dari Brasil, Arysio Santos, yang menyebut Indonesia sebagai lokasi sesungguhnya dari Atlantik, benua yang hilang dalam kisah Plato, mungkin ada benarnya. Santos mengaitkan banyak tradisi lisan di Yunani Kuno, seperti puisi Hesiod dan Homer, dengan peristiwa geologis menghilangnya tradisi besar peradaban manusia karena bencana geologis seperti letusan gunung berapi dan tsunami.
Santos, misalnya, menulis, pembukaan Selat Sunda karena letusan gunung berapi (Krakatau) dikaitkan dengan cerita Hesiod tentang celah besar (khasma mega), tempat di mana semua pelaut menemui ajal jika melintasinya. Santos juga mengutip hikayat tradisional orang Buddha, Jataka, yang bertutur tentang Supparaka, pelaut terbaik dan merupakan salah satu avatar Buddha. Supparaka dalam perjalanannya di lautan selatan tiba di wilayah yang dikenal sebagai Vadavamukha, gerbang neraka yang berapi-api.
Oleh Santos, Vadavamukha disimpulkan sebagai kaldera Krakatau yang berada di bawah permukaan laut. Dia pun menghubungkan cerita Vadavamukha dengan karya besar Homer, Odyssey, yang bertutur soal hikayat Ulysses dan pelayarannya ke lautan selatan. Menurut Santos, Ulysses menemui apa yang ditemui Supparaka, tetapi oleh Homer disebut Charybdis atau pusaran kematian.
Di bab 2 bukunya, Atlantis, The Lost Continent Finally Foudn, Santos menuliskan, siapa pun yang mau membandingkan rincian puisi Homer dengan kisah Jataka, pasti akan menyadari keduanya berasal dari sumber yang sama, yang sudah teramat kuno. Selanjutnya, Santos menyimpulkan, ciri geografis Vadavamukha sesungguhnya bisa ditemukan di wilayah Indonesia, bukan di Laut Mediterania (tempat kebudayaan Yunani Kuno) atau Atlantik, yang dari namanya hampir sama dengan kata atlantik.
Keragaman tradisi
Dalam seminar Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Pangkal Pinang, November 2010, seorang peserta seminar mempertanyakan, apakah tidak mungkin melacak tesis Santos dari kekayaan tradisi lisan Nusantara. Dia percaya, dengan kekayaan dan keragaman tradisi lisan di Nusantara, sangat mungkin wilayah yang sekarang bernama Indonesia ini memang menjadi pusat peradaban dunia.
Menurut aktivis ATL dari Jawa Timur, Henry Nurcahyo, tradisi lisan seperti dongeng sebenarnya tidak serta muncul begitu saja tanpa fakta yang melatari. Bahwa dongeng atau cerita rakyat tersebut kemudian dibumbui khayalan dan imajinasi penutur, itu persoalan lain. Yang jelas, dongeng biasanya muncul setelah ada faktanya. Dongeng tentang Sangkuriang muncul setelah ada Gunung Tangkuban Perahu. Dongeng tentang Danau Toba juga muncul setelah ada Danau Toba-nya. Dongeng biasa muncul setelah ada fakta yang diceritakan.
Melihat rangkaian hikayat dan tradisi lisan yang dianalisis Santos dari Yunani Kuno hingga tradisi Hindu dan Buddha, terutama yang terkait dengan Atlantis—sebagai bentuk peradaban modern ribuan tahun sebelum masehi— mungkin saja tesis ilmuwan Brasil itu ada benarnya.
Namun, menurut Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Mukhlis PaEni, masih terlalu dini menyimpulkan Indonesia sebagai tempat asal muasal peradaban modern seperti Atlantis yang diceritakan Pluto. ”Masih diperlukan banyak pembuktian. Santos mengaitkan cerita-cerita yang ada di Asia dan kemudian menghubungkannya dengan proses geologi, seperti letusan gunung, untuk menyimpulkan bahwa Atlantis sebenarnya ada di Indonesia. Ini harus dibuktikan dengan penelitian secara luas dan komprehensif,” ujar Mukhlis.
Menurut Mukhlis, tradisi lisan yang masih bertahan di Nusantara hingga kini juga tak mungkin bisa digunakan untuk melacak tesis Santos, bahwa Indonesia dulunya merupakan tempat peradaban modern seperti digambarkan Pluto dalam cerita tentang Atlantis. Banyak cerita dalam tradisi lisan Nusantara menginduk ke cerita besar yang asalnya bukan berasal dari Indonesia, tetapi India, seperti Mahabarata dan Ramayana; hikayat tutur asli Nusantara seperti I La Galigo di Sulawesi juga usianya masih terlalu muda jika harus dibandingkan dengan tradisi lisan seperti cerita Plato tentang Atlantis.
Mukhlis mengakui, ada beberapa peristiwa geologi yang mengubah wajah dunia terjadi di Indonesia, seperti letusan terdahsyat Gunung Toba lebih dari 70.000 tahun lalu. Majalah Science mencatat, letusan termuda Gunung Toba merupakan peristiwa vulkanis paling besar di Bumi dalam dua juta tahun terakhir. Letusannya memuntahkan 2.800 kilometer kubik magma, yang 800 kilometer kubik di antaranya terbang ke atmosfer, menyelimuti lapisan Bumi sepanjang Laut China Selatan hingga Laut Arab.
Antropolog dari Amerika Serikat, Stanley Ambrose, pada tahun 1998 memperkenalkan Teori Bencana Toba. Berdasarkan teori ini, letusan Gunung Toba mengubah iklim global. Akibatnya, populasi manusia berkurang drastis. Garis evolusi yang menghubungkan spesies manusia modern dengan primata lain terputus. Teori ini diperdebatkan, tetapi cukup menggambarkan kedahsyatan letusan.
Di sisi lain, sampai saat ini penduduk asli yang mendiami kawasan di sekitar Danau Toba, yakni suku Batak, percaya nenek moyang mereka merupakan manusia pertama yang diturunkan ke Bumi. Tempat turunnya manusia pertama kali dalam tradisi lisan orang Batak adalah Pusuk Buhit, satu puncak bukit di Pulau Samosir, pulau yang terletak di tengah Danau Toba. Dari sinilah kemudian manusia menyebar.
Namun, folklor orang Batak soal persebaran manusia dan klaim mereka bahwa nenek moyang manusia pertama kali turun di tempat di mana satu suku bangsa tinggal ternyata tak hanya dimiliki oleh orang Batak. Orang Toraja pun punya cerita serupa, nenek moyang mereka manusia pertama di Bumi. Suku-suku lain di Indonesia juga begitu.
Masih dibutuhkan penelitian interdisipliner, mulai dari geologi, antropologi, arkeologi, paleoantropologi, hingga fisika, untuk membuktikan bahwa Indonesia dulunya merupakan pusat peradaban modern seperti dalam cerita Pluto tentang Atlantik.
Tidak cukup hanya menggali tradisi lisan. Namun, seperti kata Santos, ex oriente lux, Matahari datang dari Timur. Dan, sudah terbukti, arus peradaban besar datang dari timur, seperti India dan China, lalu bergerak ke barat. Sebelum akhirnya kolonialisme barat menenggelamkan banyak peradaban di timur.
Jadi, mungkin saja Atlantis yang hilang itu memang ada di Indonesia. Siapa tahu...!
(Khaerudin)
Sumber: Kompas, Jumat, 7 Januari 2011
No comments:
Post a Comment