-- Khaerul Anwar dan Syamsul Hadi
SELEPAS azan isya, aula Sanggar Pelangi Sutra hangat dan ramai. Sekitar 25 penari berusia 14-19 tahun, umumnya remaja putus SMP dan SMA, berlatih tari gandrung Banyuwangi. Kehangatan itu pun memukau karena gandrung ternyata menjadi ”mesin” sosial yang menjanjikan kesejahteraan.
Aksi para penari gandrung di Sanggar Sekar Jagad, Dusun Cungking, Mojopanggung, Banyuwangi, Jawa Timur, Jumat (7/1). Gerak tari menggeser kehidupan sosial ekonomi mereka. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
Entakan kendang dan bunyi biola dari pemutar compact disc (CD) mengiringi goyangan kepala dan gerak gemulai tangan yang sesekali dibarengi kibasan sampur (selendang) sang penari. Ini menambah hidup suasana sanggar di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim) itu.
Pelatihan yang didanai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi itu pun bermata dua: penyuburan nilai estetik dan pamrih baik untuk membantu mengentaskan generasi drop out. Program sekarang adalah angkatan keempat, berlangsung 40 hari, 18 November-27 Desember 2010. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi—sebagaimana sejumlah pemda di Provinsi Bali yang mengandalkan pariwisata sebagai sumber APBD—mengalokasikan dana Rp 102 juta untuk pelatihan itu. Dana itu untuk honor delapan pelatih dan para peserta.
Gandrung adalah ikon sekaligus aset Banyuwangi. ”Kesenian ini harus digarap secara maksimal. Harapannya, seni gandrung bisa lestari, sekaligus memiliki daya serap bagi kegiatan ekonomi kerakyatan,” kata Kepala Dinas Pariwisata Banyuwangi Suprayogi.
Bukti lain bahwa gandrung itu ”mesin sosial” ialah kepedulian Pemkab Banyuwangi memberikan kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk 20 seniman. Para seniman itu gratis mengecek kesehatan, berobat, dan dirawat inap di beberapa rumah sakit pemerintah di Jatim. ”Mereka yang memperoleh itu tentu saja sangat bersyukur,” kata Azhar Prasetya dari Dewan Kesenian Blambangan.
Jadilah panggung gandrung sebuah panggung mobilisasi sosial. Pemkab Banyuwangi pun merumuskannya sedemikian lempeng.
Khas Osing
Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Jember Prof Dr Ayu Sutarto melihat gandrung merupakan seni tari khas Osing (Banyuwangi) yang lebih didominasi oleh unsur hiburan dengan gerakan sensual. Tarian ini diterima oleh masyarakat di berbagai sudut wilayah Banyuwangi, bahkan distilir dalam genre visual berupa patung.
Seorang penari gandrung identik dengan perempuan berleher menjangan dan berkaki kijang, yakni sosok yang bertubuh indah dan bergerak lincah bagai rusa serta dituntut memiliki suara merdu. Dalam buku Kamus Budaya dan Religi Using, Ayu Sutarto menyebutkan, kata gandrung berasal dari bahasa Jawa yang berarti asmara-cinta atau terpesona.
Pementasan tari gandrung terdiri dari tari jejer, paju, dan seblang-seblangan. Model tari jejer kini banyak diajarkan kepada siswa SLTP/SLTA sebagai tari untuk menyambut tamu atau ”tari selamat datang”. Pada tari paju, penari mengundang penonton supaya memerhatikan kepiawaiannya menari, menembang, dan berpantun.
Tari seblang-seblangan adalah tari penutup bernuansa lemah lembut, tetapi tetap membius. Syair tembang berisi permohonan diri dan permohonan maaf kepada tuan rumah dan semua penonton jika selama pertunjukan membuat hadirin kurang berkenan.
Dari segi makna, pantun-pantun gandrung tak semuanya bernuansa erotis. Ada juga ajaran moral dan nuansa agama. ”Sebagian orang berpendapat, tarian gandrung merupakan tarian persembahan kepada Dewi Sri atau Dewi Padi untuk membawa kesejahteraan kepada masyarakat Banyuwangi yang sebagian besar adalah petani,” kata Ayu.
Secara umum, tarian ini memang terkait dengan legenda Banyuwangi, yaitu tokoh Minakjinggo, dan tradisi ngelmu yang masih subur di sana.
Secara materiil, pemberian honor dan kartu Jamkesda sebenarnya belum cukup menjawab kebutuhan seniman. Namun, hal itu memacu minat generasi muda—umumnya dari keluarga kurang mampu—untuk menguasai tari gandrung dari seniornya.
Kecuali berlatih teknik gerak tubuh, calon penari gandrung juga belajar lafal sesuai dengan cengkok dan fonem bahasa Osing. Misalnya, kata kembang dilafalkan dengan ”kembyang”, kendang diucapkan ”kendyang”, dan gandrung jadi ”giandrung”.
Yang menarik, perjalanan generasi muda gandrung tidak diiringi penabuh gamelan. Mereka cukup diiringi pemutar CD untuk memandu gerak tubuh, jemari, dan tangan.
Kalau gandrung menjadi ikon dan mengakar di Banyuwangi, ini mungkin karena upaya pengenalannya dimulai sejak dini oleh lembaga resmi, yaitu pemerintah.
Sampur merah yang mengalungi leher para penari itu dikibaskan ke kanan dan ke kiri, bahu naik-turun, serta kedua kaki dalam posisi terbuka dan agak lebar, pinggul meliuk-liuk, badan berputar bak gasing, bola mata dimainkan ke kiri-kanan mengikuti gerakan tangan dan kepala. Gerakan menggoda, menggetarkan hati, penuh isyarat sensasi, dan erotisisme, sebagaimana kesan yang melekat pada penari gandrung.
(Nasru Alam Aziz)
Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Januari 2011
No comments:
Post a Comment