Sunday, January 09, 2011

Yang Profan, yang Berulang

-- Chabib Duta Hapsoro

MENATAP sejumlah karya di Selasar Solo Project Series (SSPS) terasa bahwa pameran ini menyimpan hal yang "baru". Pameran yang berlangsung sejak 18 Desember 2010-15 Januari 2011 ini, paling tidak, membedakan dirinya dari praktik kuratorial yang lazim dilakukan pada perhelatan-perhelatan pameran sebelumnya. Selain itu, Banung Grahita dan Duto Hardono, dua seniman muda yang berpameran, menawarkan kesegaran dari sisi praktik berkesenian yang mereka lakukan.

Baru kali ini institusi seni rupa menghelat dua pameran dengan dua seniman berbeda di saat yang bersamaan. Yang lazim terjadi adalah dua seniman berpameran dengan merespon tema yang sama.

SSPS adalah pilot project yang dilakukan Selasar Sunaryo Art Space (SSAS). Ide ini berawal dari evaluasi manajemen SSAS pada penyelenggaraan beberapa pameran tunggal di sini yang kurang maksimal. Keberadaan ruang-ruang yang cukup besar membuat seniman kurang optimal meresponnya. SSPS membagi dua ruang untuk dua seniman. Banung Grahita, seniman video muda berpameran di Ruang Sayap. Sedangkan Duto Hardono di Ruang B.

**

BANUNG Grahita mencoba mengidentikkan perilaku masyarakat terhadap media. Efek kehadiran media tak hanya pada efek penjadwalan kegiatan tetapi juga pada perubahan interaksi sosial masyarakat serta efek virtual yang mampu menumbuhkan perasaan tertentu. Banung, dalam pameran ini menampilkan perumpamaan bahwa media, saat ini diperlakukan selayaknya berhala.

Karya video Banung menampilkan dunia antah berantah yang diisi makhluk rekaan dengan bagian-bagian tubuh yang simbolistis. Di dunia fana ada sosok-sosok makhluk bertanduk dan berkaki kambing. Di nirwana terdapat beberapa sosok yang bertangan banyak, berposisi tiduran serta sibuk memainkan beberapa telepon seluler di tangan-tangannya.

Kita bisa melihat salah satu karya videonya yang berjudul Pilgrimage. Di sini sesosok "peziarah" sedang melakukan sebuah ritual: bertekun mengetik di depan komputer. Sekian lama, ia terhisap ke dalam layar komputer. Ia bersama-sama sosok-sosok lain tiba di tepi tebing. Peziarah itu bakal mencapai nirwana jika mampu menyeberangi tebing dengan meniti tali. Nirwana ternyata berisi sosok yang bergerak ke kanan ke kiri berulang-ulang seperti bandul dan dikelilingi layar-layar datar televisi. Inilah kesemuan agama media yang merujuk Profanity Prayer sebagai tajuk pameran.

Banung Grahita adalah perupa dengan spesialisasi media baru yakni video, media yang masih langka dijalani seniman muda di Indonesia. Karya-karyanya banyak mempersoalkan kekuatan media massa untuk mempengaruhi kehidupan manusia. Karya videonya dikerjakan dengan bermacam-macam teknik seperti animasi, montase, dan pengambilan gambar langsung.

Setahun belakangan Banung intens menggunakan teknik montase animasi, yakni mencomot citra-citra temuan di internet dan ia rangkai menjadi makhluk-makhluk baru nan naif. Sebagai seniman video, Banung terampil memainkan bahasa simbol. Kelebihan Banung yang lain adalah mampu menampilkan warna-warna baru dan menarik.

Perputaran, penundaan

Good Love, Bad Joke. Judul pameran ini sebenarnya mengasosiasikan kepribadian Duto Hardono tentang berkesenian yang kemudian membedakannya dengan seniman-seniman muda seangkatannya di Bandung. Duto menyebut bahwa konsep berkeseniannya adalah eksperimental dan konseptual.

Good Love, Bad Joke menandai dua frase yang tak memiliki relevansi satu sama lain dan akhirnya tak bermakna. Kepercayaan Duto ini terungkapkan pada karya-karya dua dimensinya yang cenderung tanpa narasi dan hanya menampilkan keintimannya pada material di karya-karya kolasenya.

Modus berkesenian Duto Hardono memang sekilas absurd. Agung Hujatnikajennong, kurator pameran, memaknai ciri khas Duto bahwa karyanya mencerminkan sebuah sikap skeptisisme pada kemapanan dan kepasrahan pada ketidakpastian jawaban dari suatu pertanyaan. Hal ini membuat Duto berkesenian sebagai modus untuk melepaskan hasrat.

Konsep kesunyian menarik perhatian Duto selama dua tahun belakangan. Duto juga menggabungkannya dengan konsep perputaran (loop) dan perekaman--yang kemudian mengantarkannya pada konsep penundaan (delay). Hal itu tampak pada salah satu karya instalasinya yang berjudul Loop Study No. 1: Uber-Feedback. Di sebuah ruangan berukuran kurang lebih 4 x 4 meter terpasang berhadapan dua buah pemutar kaset. Duto menginstalasikan keduanya dengan memasang dua kaset di masing-masing pemutarnya. Dua pemutar kaset bekerja serentak memutar pita kaset --dengan panjang 12 meter mengelilingi tembok. Alat di sebelah kiri merekam suara apapun yang melintas dalam ruang pamer. Alat satunya akan memutar hasil perekaman.

Tak hanya sampai di situ, suara hasil rekaman tadi direkam lagi melalui amplifier dan mikrofon yang terletak di antara dua pemutar kaset. Jadilah suara yang bertumpuk-tumpuk terekam untuk kemudian diputar dan direkam lagi. Begitu seterusnya. Secara filosofis, karya ini dimaknai sebagai analogi siklus kebudayaan dan nihilisme. Apa yang terjadi di dunia tidak pernah selalu baru. Yang pernah terjadi di masa lalu selalu berulang dengan penampang baru.

Loop Study menjadi menarik karena ia mengajak kita menjelajahi dua wilayah: apa yang kita lihat dan apa yang luput dari penglihatan. Hal ini terlihat saat Duto menampilkan performance saat pembukaan. Ia hadirkan tiga peniup sausaphones (alat musik tiup besar dengan pipa yang melingkar di badan pemainnya) untuk bermain di dalam instalasi ini saat pembukaan pameran. Penonton pun berjubel untuk melihat dan menunggu rekaman suara sausaphones yang muncul 30 menit kemudian.

Kebosanan

Agung Hujatnikajennong dalam sesi pembukaan pameran mengakui adanya kebosanan dalam benaknya melihat kecenderungan yang berulang-ulang dilakukan oleh galeri-galeri dalam menyelenggarakan pameran.

Agung menggarisbawahi motif penyelenggaraan pameran dan kecenderungan diskusi pameran seni rupa yang belakangan semakin permisif dan pragmatis karena kepentingan ekonomi pasar. Ia tidak menyalahkan kondisi itu, tetapi juga tak menganggapnya sebagai sebuah keadaan yang ideal. "Saya merindukan masa-masa ketika sesama seniman dan sesama kurator, atau antara seniman dan kurator, bisa saling bertukar pikiran dan saling menyampaikan kritik pada satu kesempatan," katanya.

Banung Grahita dan Duto Hardono merupakan dua dari sedikit perupa muda di Indonesia yang memiliki intensitas dan loyalitas pada eksplorasi media baru. Dengan ketekunan lebih dari lima tahun, penggunaan media baru bagi Banung dan Duto bukanlah sekadar perayaan. Banung Grahita dan Duto Hardono mampu menggunakan media baru sebagai media ungkap yang lebih mendalam, melahirkan karya yang lebih personal dan reflektif.

Chabib Duta Hapsoro
, penulis seni rupa.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 9 Januari 2011

No comments: