-- Salomo Simanungkalit
SEJAK memasuki era SMS, Ben termasuk rajin berkirim berita kepada kawan-kawannya, sedang di mana dia dan dalam kegiatan apa. Pada 25 April 2010 laki-laki bertubuh tinggi besar yang langkas mengaktifkan seni pertunjukan di Medan itu berkabar: ”Teman2, aku skrg sdh bermukim di Jogja. Kalau mampir, kasih kabar, ya. Salam, Ben Pasaribu.”
Ben M Pasaribu (KOMPAS/EFIX MULYADI)
Ben mau lanjut ke program doktor? ”Ya.”
Tak ada lagi komunikasi setelah itu. Barangkali dia sibuk dalam kedudukannya sebagai mahasiswa S-3 Musik Jalur Penciptaan pada Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Namun, menurut keterangan abangnya, Mangatas Pasaribu, praktis selama di Yogyakarta Ben tak bisa memusatkan perhatian pada kuliah dan penelitian. Pasalnya, dua minggu setelah bermukim di Yogyakarta, Ben yang sebelumnya sehat-sehat saja merasa ada yang tak beres dengan punggungnya. Kata dokter, kejepit saraf. Diobati.
Punggung belum pulih, berikutnya ia merasakan sakit di jantung, sampai kemudian di seluruh tubuhnya. Berbulan-bulan ia tak nyaman dengan kesehatan yang kian menurun hingga akhirnya keluarga memutuskan: Ben dibawa berobat ke Penang, Malaysia. Dua hari sebelum penutupan sementara Bandara Adisutjipto di awal November lalu lantaran erupsi Merapi, Ben diterbangkan ke negeri jiran itu.
Istrinya, Ernitha, yang juga sedang melakukan riset di Yogyakarta untuk program doktor mendampingi Ben ke Penang. Dua putrinya yang masih duduk di sekolah dasar dititipkan kepada namboru-nya di Bandung. ”Terpisah-pisahlah keluarga adik saya ini,” kata Mangatas.
Ben akhirnya pergi untuk selamanya pada 6 Desember 2010 lalu.
Berbakat
Nama Ben Pasaribu selaku musikus berbakat dan berlatar kuat akademis mulai dikenal luas di negeri ini pada 1991, setahun setelah ia dinobatkan sebagai master dalam musik modern di Amerika Serikat. Hampir semua kegiatan musik garda depan yang marak dipentaskan di Jakarta dan kota-kota besar—seperti Medan dan Yogyakarta—dari awal sampai pertengahan 1990-an selalu menyertakan komponis yang mayor dalam perkusi ini. Sebut saja beberapa, seperti Pekan Komponis, Art Summit, hingga Festival Gamelan.
Apabila kita bersetuju dengan komponis Amir Pasaribu yang menggolongkan kepengarangan musik dalam dua jalur, ”yang inspiratif” dan ”yang konstruktif”, Ben Pasaribu boleh dibilang mengikuti jalur ”yang konstruktif”. Pada jalur ini sebuah karya musik bukanlah hasil instan sebuah cetusan sesaat, tetapi resultan terencana dari sebuah cetusan yang dikembangkan dengan seni komposisi sebagaimana seorang arsitek merancang bangunan dari alas hingga atap. Ini barangkali yang menjelaskan mengapa, seperti yang pernah dikatakan musikus Rizaldi Siagian, musik Ben lebih enak dibicarakan daripada dinikmati.
Sikap berkesenian Ben memang tak jarang mendatangkan kekecewaan: penonton lari dari pertunjukan. Seperti yang diungkapkan wartawan senior Kompas Efix Mulyadi lima belas tahun silam, Ben pernah kehilangan penonton dari semula sekitar 500 orang tinggal menjadi enam orang. ”Karena itu, saya berusaha menjangkau mereka,” kata Ben waktu itu.
Cara Ben menjangkau penonton, teman, dan pengagumnya agaknya melalui pergaulan dengan mereka. Pergaulan menjadi medium, sebab Ben adalah seorang yang dianugerahi juga dengan seni bicara yang mengasyikkan: substansial, tetapi disampaikan secara kolegial, bukan dalam posisi guru-murid atau penceramah-terceramah. Ben memang punya banyak teman di berbagai kota.
Jangan menganggap Ben hanya tangkas bicara musik dan seni tinggi. Sekali peristiwa di tahun 2007 kami—”Guru Etos” Jansen Sinamo, rekan wartawan Hasudungan Sirait, dan saya—pernah berjam-jam mengajak dia bicara tentang musik dan musisi Batak dari masa lalu hingga masa sekarang, dari yang tradisional ke yang pop kini pada sebuah lapo di bilangan Manggarai, Jakarta. Fasih betul dia, termasuk mengenai gosip di kalangan artis-artis Batak sekarang.
Ben merupakan bungsu dari delapan bersaudara, lima laki-laki dan tiga perempuan, dan berayahkan seorang pejabat Departemen Pekerjaan Umum. Menurut Mangatas, karena sama-sama seniman, ia dan Ben merupakan dua anak yang lama diterima oleh keluarganya sendiri yang serba amtenar.
”Saya diterima duluan karena mengajar dan kemudian pegawai negeri, sedangkan Ben baru tahun 2000 jadi pegawai negeri sebagai dosen di Universitas Negeri Medan,” kata Mangatas yang dosen Seni Rupa.
Karya-karya Ben semua dalam musik instrumental. Ia rupanya menghindari persepsi yang telanjur jadi stempel orang Batak: menyanyi. ”Orang selalu minta saya menyanyi dan saya selalu menolak,” katanya kepada Kompas lima belas tahun lalu.
Namun, dalam hari-hari terakhirnya di rumah sakit di Medan, ia intens membawakan kidung-kidung rohani dan menyimak renungan-renungan. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, menurut Mangatas yang berada di sampingnya, Ben menyanyikan lagu terkenal dari Buku Ende, buku nyanyian rohani HKBP dan gereja-gereja Batak lainnya: ”Holan Jesus do Hubahen Donganku”. Akhirnya dia menyanyi dalam Batak Toba.
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Januari 2011
No comments:
Post a Comment