-- Tjahjono Widijanto
AKHIR 2010 ditandai oleh semangat luar biasa rakyat di negeri ini dalam merasakan atau ”menjadi Indonesia”. Sebelum itu nyaris tak terdengar gelegar yel-yel dan hiruk pikuk orang meneriakkan kata ”Indonesia” dengan semangat. Kini dimulai dari lapangan rumput teriakan Indonesia itu menggema dengan semangat, penuh rasa kebanggaan bahkan nyaris histeria.
Dengan penuh kebanggaan, masyarakat beramai-ramai menyematkan kembali lambang Garuda pada kaus atau bajunya. Atribut-atribut keindonesiaan yang sudah lama pudar kehilangan pamor dan terkesan ketinggalan (atau sengaja ditinggalkan) kembali dikenakan dengan penuh kebanggaan. Tidak saja oleh suporter sepak bola tulen, tetapi merambah ke setiap orang yang sebelumnya tak pernah menonton bola.
Melalui sepak bola tiba-tiba rekonstruksi imajiner tentang sebuah komunitas bersama bernama Indonesia seakan-akan kembali muncul. Sebuah kekuatan mental kolektif yang banyak menyebutnya sebagai nasionalisme. Nasionalisme sendiri pada mulanya berkait erat dengan ideologi, yang kadang mendapatkan pembenaran melalui fakta-fakta historis.
Gergasi nasionalisme
Menurut Kohn (1961), nasionalisme adalah ideologi yang menyatakan kesetiaan tertinggi individu diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebagai wujudnya bisa saja nasionalisme muncul sebagai kesadaran kolektif, dapat juga sebagai kesadaran palsu yang diciptakan oleh yang berkuasa kepada yang dikuasai. Namun, nasionalisme bisa juga berupa mimpi atau sekadar euforia, yang temporer sifatnya.
Meskipun nasionalisme sering didaku sebagai gejala modern, watak nasionalisme sudah ada sejak zaman bangsa Ibrani kuno dan Yunani kuno. Kedua bangsa ini mempunyai kesadaran tinggi bahwa mereka berbeda dengan bangsa lain. Pendukung ideologi nasionalisme Ibrani dan Yunani kuno bukan raja atau kaum padri, tetapi seluruh rakyat. Watak kebangsaan dan tenaga kreatif rakyatlah yang berada dalam posisi paling penting. Nasionalisme Ibrani dan Yunani kuno ini lahir dari paling tidak tiga kesadaran kolektif, yakni kesadaran sebagai bangsa terpilih, kesadaran akan kenangan yang sama mengenai masa lalu dan harapan sama akan masa datang, serta adanya kesadaran bahwa mereka memiliki tugas khusus di dunia.
Dalam situasi ini, nasionalisme lahir sebagai bentuk ”kebutuhan” akan identitas politik yang pada titik tertentu melahirkan perasaan inferioritas atau superioritas yang dapat merangsang orang mengorbankan apa saja demi kesadaran kolektif itu. Pada saat bersamaan, nasionalisme pun hadir dengan potensi yang destruktif. Nasionalisme dapat dijadikan pembenaran bagi seseorang untuk mengorbankan jiwa raganya sendiri, juga jiwa raga orang lain.
Semangat pada identitas kolektif itu tak berhenti pada kesadaran akan unikum-diri, tetapi juga keunggulan atas unikum (bangsa/nasionalisme) pihak lain. Dengan demikian, lahirlah ungkapan yang berhasrat menunjukkan superioritas sebuah nation atau satu kaum/bangsa, ”kami bangsa langit yang lain adalah budak, ”Deutschland uber alles”, atau ”sedumuk bathuk senyari bumi totohane pati” pada masa kerajaan Jawa dulu. Di titik ini, superioritas nasionalisme kerap menjelma menjadi gergasi yang menakutkan bagi kaum/ bangsa yang lain.
Tantangan baru
Nasionalisme sebagai landasan ideologis bagi sebuah produk politik pun mengalami pasang surut. Nasionalisme semacam ini pernah begitu kuat dimiliki oleh banyak negeri/bangsa terjajah dan menggunakannya untuk menggerakkan perlawanan pada kekuatan kolonial sepanjang abad ke-20. Namun, kini musuh kolonial dalam pengertian klasik itu sudah tak ada. Tantangan buat nasionalisme pada masa kini sudah sangat jauh berbeda, dalam bentuk, sifat, kekuatan, tujuan, atau modus-modusnya.
Sebagai sebuah entitas modern, negara-bangsa saat ini sekurangnya harus menghadapi empat realitas yang berkekuatan global: investasi, industri, informasi, dan trafik individu yang kian tinggi.
Kembali ke soal euforia sepak bola, beberapa hal menarik dapat dipetik sebagai pelajaran. Pertama, kita seperti menemukan kembali kata dan makna ”bangsa” dalam kehidupan personal dan kolektif kita. Ia diikat oleh sebuah sebab yang mungkin dahulu tidak begitu penting, dibanding revolusi, kemerdekaan, musuh keamanan, terorisme, separatisme, dan lain-lain, yakni olahraga, yang notabene memberi—hanya—harapan prestasional.
Kedua, kehadiran kembali harapan yang ”konkret” itu (sesungguhnya absurd, karena harapan itu masih sebuah harapan), yang menghadirkan kembali memori kolektif bangsa ini pada dunia masa lalu. Semangat romantik yang memanggil-panggil alasan keberadaan, perjuangan dan keberanian masa lalu untuk menghadapi dunia masa kini.
Ketiga, tim nasional sepak bola kita menunjukkan bukti bagaimana tingkat kematangan kebudayaan kita khususnya dalam mengasorbsi kehadiran ”yang lain” atau asing dalam diri kita, sebagai salah satu modus eksistensial kita. Para pemain baik yang pribumi maupun naturalisasi tampak dengan mudah menyesuaikan diri, menciptakan team work dan suasana kekeluargaan di antara mereka. Inilah kearifan lokal yang bisa dimaknai bahkan bermanfaat dalam situasi global.
Sayangnya, momen luar biasa dan bukti keunggulan kebudayaan itu tidak kemudian dipilih dan dijadikan arsenal baru bagi kebangkitan bangsa ini. Para elite dan penguasa malah ternyata mengeksploitasi semua—yang masih potensial—itu semata demi kepentingan kerdil dan pandir yang sektarian dan individual saja.
Bangsa ini rusak, semakin nyata, memang karena elitenya.
Tjahjono Widijanto, Penyair dan Penulis Esai; Menetap di Ngawi, Jawa Timur.
Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Januari 2011
No comments:
Post a Comment