Sunday, January 30, 2011

Sagang dan Eksistensi Kerja Budaya

Catatan Rida K Liamsi

KETIKA menerbitkan Majalah Sagang 10 tahun lalu, saya menyadari bahwa penerbitan ini bukan penerbitan komersial. Ini lebih bersifat komitmen Riau Pos di mana saya berada ingin ada yang memperhatikan tentang pengembangan kebuadayaan, khususnya sastra, dalam bentuk publikasi yang lebih teratur. Meskipun di Riau Pos waktu itu sudah ada halaman budaya, tiap minggu sekali, satu atau dua halaman, tapi sebuah majalah yang serius dan ditangani secara sungguh-sungguh, terutama kualitas isinya, tetap diperlukan.

Tidak cukup hanya ada sebuah Majalah Horison di Jakarta, tapi di Riau, di pusat kebudayaan dan kesusasteraan Melayu ini, harus tetap ada sebuah majalah yang setara dan sekelas Horison itu. Maka wujudlah Majalah Sastra dan Budaya Sagang itu, yang diterbitkan oleh Yayasan Budaya Sagang yang sudah lebih dahulu ada. Kebetulan ketika itu sedang terjadi reformasi dunia pers, maka SIUPP Majalah Sagang hanya hitungan bulan sudah keluar dan Sagang terbit sebagai produk media khusus.

Jika majalah itu tetap bertahan sampai sekarang, meski ada kalanya nomornya rangkap, atau telat, tapi oleh tim redaksinya di bawah komando Hasan Junus, tetap terus dipetahankan kelangsungannya. Sekali lagi adalah semata-mata didukung oleh komitmen Riau Pos sebagai salah satu perusahaan media yang menjadi penyangga perbangunan kebudayaan itu. Secara komersial, memang sangat sulit. Bahkan penyebarannya pun hampir tak terurus. Di gudang bertumpuk-tumpuk hasil cetak yang tidak tersebar. Suatu ketika ada program Hibah Sejuta Buku, maka Majalah Sagang yang tersisa itu dapat dikirim ke berbagai daerah, ke perpustakaan desa/kecamatan, dll. Juga ada yang berhasil dijilid dan dijadikan dekumentasi, dan arsip lainnya.

Kelemahan dalam penyebaran itu, meskipun hampir-hampir gratis itu, membuat gaung Sagang tidak begitu terasa dalam belantara sastra dan budaya Indonesia, dan bahkan di Riau. Pikiran itulah yang kemudian mendorong Armawi KH (yang sekarang jadi pemimpin umum/penanggung jawab ) majalah itu mencari cara bagaimana agar Sagang tetap eksis, mudah didapat, dan tidak terlalu membebani biaya, baik oleh Riau Pos, maupun para pembaca yang suka sastra dan budaya.

Maka kini, Sagang punya tiga versi: versi majalah yang dicetak di kertas HVS yang baik, cover yang berwarna dan tajam, tapi terbatas. Yang memerlukan dalam jumlah besar bisa memesannya. Lalu ada versi CD. Yang tak mau baca pakai bahan kertas, bisa baca di laptop-nya, dan media lain. Lalu ada versi online-nya, sialakan klik di http://majalahsagang.com dan www.sagangonline.com. Versi ini sudah agak lama ada di bawah kendali Fedli Azis, wartawan Riau Pos yang juga seniman itu. Dan bisa juga diakses melalui blog saya: www.erdeka.com.

Yang paling bersejarah dari Majalah Sagang ini adalah kerja keras Hasan Junus sebagai pemimpin redaksinya bersama Zuarman Ahmad, Dantje S Moeis, dan beberapa teman lainnya memelihara semangat dan pengawalan kualitasnya. “Dari sinilah mengalir sastra dunia”, itu kata-kata yang dititipkan Henri Chambert-Loir, budayawan asal Prancis yang sempat berkunjung ke Kantor Majalah Sagang yang kecil dan sempit itu. Hasan dan teman-teman berhasil menjadikan majalah ini bahagian dari sastra dunia, meski baru terbaca dan diakses para peminat secara terbatas. Tapi Sagang sudah melakukan sesuatu, mewariskan sesuatu, yang sewaktu-waktu menjadi bahan rujukan, menjadi referensi, dan sekali-sekali menjadi bahan skripsi para mahasiswa dari berbagai universitas.

Ini, mengutip kata budayawan Amarzan Lubis (juga wartawan majalah TEMPO) adalah sebuah tindakan kebudayaan. Sebuah kerja, sebuah kesetiaan, sebuah sumbangan. Betapapun kecilnya. Keep Spirit Sagang!

Sumber: Riau Pos, Minggu, 30 Januari 2011

No comments: