Sunday, January 16, 2011

Menimbang Kembali Hegemoni “Sang Paus” Sastera Indonesia (Bagian Terakhir dari 2 Tulisan)

-- Iwan Gunadi

KEDUA, ia pernah menjadi dosen di Universitas Indonesia. Selain mengajar, ia juga membimbing para mahasiswanya dalam penulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Pengetahuannya tentang perkembangan kesusastraan modern Indonesia pun disebarkan lewat institusi ini. Penyebaran tersebut menjadi terasa lebih efektif dengan nama besar yang disandang Universitas Indonesia. Jassin dan Universitas Indonesia memang saling mengisi.

Umar Junus, MS Hutagalung, Boen S Oemarjati, Dami N Toda, dan Lauw Yock Fang adalah beberapa nama yang tak bisa dilepaskan dari “sentuhan” Jassin. Sedikit banyak, mereka merupakan produk hegemoni Jassin. Ketika mereka menciptakan hegemoni baru terhadap pihak lain, termasuk para mahasiswanya (mereka kini juga menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi bukan hanya di Indonesia), sedikit banyak jejak pemikiran Jassin ikut tersebarkan. Ini tentu sebuah hegemoni dari tangan kedua. Dan, yang melakukan ini bukan hanya orang-orang yang pernah dididik Jassin.

Sementara munculnya angkatan-angkatan tadi sendiri merupakan manifestasi adanya tarik-menarik wilayah hegemoni. Mulanya tarik-menarik itu bersifat ideologis politis. Ada keinginan untuk tidak terus-menerus menjadi subordinat generasi sebelumnya. Ada kehendak untuk berkuasa, begitu kalau kita mau memanfaatkan terminologi Friedrich Nietzsche.

Bagaimana generasi Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah berusaha menumbangkan pilar-pilar yang sebelumnya telah dibangun generasi Marah Rusli dan kawan-kawan. Setelah bangunan baru berdiri, generasi Chairil Anwar dan kawan-kawan mencoba meruntuhkannya. Begitu seterusnya, sampai akhirnya beberapa pekerja sastra yang banyak berkarya sejak 1980-an sampai 1990-an merasa perlu keluar dari hegemoni generasi sebelumnya dan melahirkan angkatan baru. Mereka tak mau hidup terus-menerus dalam bayang-bayang generasi sebelumnya karena menganggap diri mereka (baca: termasuk karya-karya mereka) berbeda dengan generasi dan karya-karya generasi sebelumnya.

Banyak pihak sepakat, tarik-menarik wilayah hegemoni yang bersifat ideologis politis itu, sampai generasi Sutardji Calzoum Bachri, telah diperluas sampai pada tataran hegemoni estetis. Tapi, setelah itu, banyak pihak masih ragu apakah perluasan yang sama terjadi juga dalam usaha generasi terakhir menciptakan angkatan baru.

Usaha mereka untuk mendobrak hegemoni generasi sebelumnya pun terasa kurang percaya diri. Beberapa di antara mereka butuh dialog (baca: minta ditanggapi oleh generasi sebelumnya) sebelum merebut hegemoni pihak yang diajak berdialog. Fenomena ini bisa dibaca sebagai permintaan legitimasi, padahal mereka sedang berusaha membangun sebuah legitimasi baru, sebuah hegemoni baru.

Kalau mereka tidak pernah mau diajak berdialog, kuatkah mereka untuk memproklamirkan adanya sebuah hegemoni baru? Kalau yang terjadi sebaliknya, beranikah mereka memproklamirkan adanya sebuah hegemoni baru, yang sebenarnya diam-diam berdiri di atas fondasi hegemoni sebelumnya? Aneh dan sekaligus berisiko.

Hegemoni HB Jassin di Buku Ajar
Buku ajar merupakan tempat sekumpulan artefak pemikiran atau wadah sejumlah hegemoni. Begitu juga buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia. Di sini sejumlah nama dapat ditemukan atau ditelusuri. Mulai dari Andries Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana, Nugroho Notosusanto, Ajip Rosidi, JS Badudu, sampai S Effendi. Apalagi HB Jassin.

Namun, artefak pemikiran yang tampak di buku ajar tidak hadir dengan sendirinya. Ia merupakan pengejawantahan amanat kurikulum. Dalam konteks ini, artefak pemikiran Sang Paus sudah tampak pada isi kurikulum. Misalnya, pada Kurikulum 1984, banyak konsep pembelajaran materi ajar sastra mengacu pada konsep-konsep hasil pemikiran Sang Paus. Begitu juga dengan Kurikulum 1994.

Penelusuran di buku ajar sendiri bisa dimulai dengan melihat daftar pustaka. Inilah cara yang paling mudah untuk menengarai indikasi adanya hegemoni Sang Paus. Kalaupun misalnya nama dan daftar karya tertulisnya yang termuat pada daftar pustaka berentet, hal itu belum dapat dipastikan sebagai kuatnya hegemoni Sang Paus. Sebaliknya, bila nama dan daftar karya tertulisnya tak termuat satu pun, itu tak berarti buku ajar tersebut hadir tanpa hegemoninya. Bisa saja, ia hadir lewat nama orang lain. Apalagi, seperti disinggung di awal tulisan ini, ia pernah punya hegemoni kuat di peta kesusastraan modern Indonesia. Misalnya, pada banyak buku ajar Kurikulum 1984, ia hadir melalui perpanjangan pemikiran JS Badudu.

Namun, tidak selamanya setiap buku ajar disertai daftar pustaka. Masih ada buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk sekolah menengah, baik sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun sekolah menengah umum (SMU), yang tidak disertai daftar pustaka. Misalnya, buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP serta buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA terbitan Depdikbud, baik yang disusun berdasarkan Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, maupun Kurikulum 1994. Kalau ini terjadi, kita harus menelusuri hegemoni itu mulai dari pintu depan, bukan lagi pintu belakang alias daftar pustaka, tanpa mendapati lebih dulu adanya suatu indikasi.

Syukurlah, untuk kasus hegemoni Sang Paus di buku-buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk sekolah menengah, pintu belakang tersebut terkuak lebar. Untuk materi ajar sastra, sebagian besar buku ajar banyak merujuk ke buku-buku sastra karangan dan atau suntingan Sang Paus. Tidak banyak buku ajar yang tidak menyertakan buku karangan atau suntingan Sang Paus di daftar pustakanya. Mulai dari buku ajar yang disusun berdasarkan Kurikulum 1975 hingga buku ajar yang disusun dengan mengacu pada Kurikulum 1994. Dari 30 judul buku ajar untuk sekolah menengah –satu judul buku ajar minimal terdiri atas tiga jilid dan maksimal sembilan jilid— yang ada di lemari buku saya, hanya beberapa yang tidak mencatat nama dan karyanya, baik di daftar pustaka maupun di dalam buku, walaupun kita tak bisa secara serta merta bahwa buku-buku tersebut terbebas dari hegemoninya.

Bisa saja, daftar pustaka suatu buku ajar tak merekam nama dan karya Sang Paus, tapi isi buku ajar tersebut mencatatnya secara eksplisit. Meski demikian, buku-buku ajar yang mencantumkan buku karangan atau suntingan Sang Paus dalam daftar pustaka mereka tidak serta merta memetakan pemikirannya secara eksplisit. Tak jarang hegemoninya hadir sebagai sesuatu yang ada dalam bayang-bayang pemikirannya.

Misalnya, suatu buku ajar sama sekali tidak mengutip secara langsung atau tidak langsung pandangan atau hasil pandangan Sang Paus, tapi ia misalnya menyetujui sajak-sajak Asrul Sani segenerasi dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Itu berarti, Chairil dijadikan acuan. Dan, kita tahu, bahwa Jassin-lah yang pertama memproklamasikan Chairil sebagai pioner bagi generasinya (baca: Angkatan 45). Di sini juga termasuk persetujuan untuk mengutip karya-karya sastra, baik sepotong maupun seluruhnya, dari buku karangan dan atau suntingannya.

Sedangkan hegemoni yang hadir secara eksplisit mewujud dalam beragam bentuk. Ada yang berupa pengutipan secara langsung tanpa perubahan apa pun terhadap pandangan Sang Paus. Ada yang berupa parafrase dengan isi yang sama. Atau hanya berupa pemakaian konsep-konsepnya.

Apa arti semua itu? Boleh jadi, para pelaku sastra masa kini tak mengakui lagi kekuatan hegemoni Sang Paus dalam peta kesusastraan mutakhir Indonesia. Tapi, sadar atau tidak, hegemoninya yang diabadikan buku-buku ajar bahasa dan sastra Indonesia akan terus mengekalkan hegemoninya di kalangan “akar rumput”.

Iwan Gunadi
, esais sastra. Menulis di berbagai media, dan pernah bekerja sebagai redaktur bahasa di beberapa media Jakarta. Pernah menjadi Ketua Komunitas Sastera Indonesia (KSI). Tinggal di Tangerang, Banten.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 16 Januari 2011

No comments: