-- Asep Juanda
KARYA sastra merupakan cetusan, tulisan, atau karangan dari pengalaman hidup seseorang, baik pengalaman langsung penulisnya atau hasil pengamatan dari lingkungannya dalam suatu situasi atau kondisi tertentu. Pada dasarnya, tidak ada karya sastra yang lahir begitu saja dalam suatu situasi. Kecuali di dalamnya ada percikan-percikan dari situasi yang telah lewat, yang tengah berjalan, ataupun harapan terhadap suatu kebudayaan yang akan datang. Serta di dalam kebudayaan tersebut terkandung nilai-nilai edukatif yang positif.
Hal tersebut bisa disadari atau tidak oleh para pencetus, penulis, ataupun pengarangnya. Namun secara cepat atau lambat, hal itu akan ditemukan oleh pembaca "pintar", sehingga nilai edukatif tersebut sebagai petunjuk eksistensi budaya tertentu di dalam suatu tatanan masyarakat. Di sisi lain, nilai edukatif tersebut bisa juga berpengaruh pada masa berikutnya sebagai suatu pijakan yang positif dalam mempertahankan atau menciptakan budaya baru yang lebih baik.
Hal itu bisa dilihat dalam berbagai karya sastra tulis, seperti puisi, cerpen, dan novel. Demikian pula dalam karya sastra yang tidak tertulis atau dalam sastra lisan, seperti nadoman dan peribahasa. Baik peribahasa lokal (sunda) maupun nasional (dalam bahasa Indonesia)
Nilai-nilai edukatif tersebut, banyak terkandung baik karya sastra yang baru (angkatan tahun 2000) ataupun yang sebelumnya. Di dalam karya sastra yang baru, katakanlah dalam novel Negeri Lima Menara (A. Fuadi) yang menceritakan perjuangan beberapa orang anak dalam menunjukkan jati dirinya dengan usaha keras dan tidak pernah menyerah dengan bersemboyan jadda man jadda "barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti mendapatkan (cita-citanya)." Dengan semangat jadda man jadda-nya terjalin rasa kekompakan sesama teman dan kesungguhan di dalam menuntut ilmu yang mengantarkannya pada beberapa prestasi akademik. Demikian pula di dalam novel Laskar Pelangi (Andrea Hirata), Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Mihrab Cinta (Habiburrahman El Shirazy), dan lain-lain. Selain itu, nilai-nilai edukatif terdapat pula dalam berbagai puisi, cerpen, dan sebagainya.
Demikian pula dalam karya-karya sastra lama, seperti dalam karya sastra Siti Nurbaya (Marah Rusli) hingga Layar Terkembang (Sutan Takdir Ali Sjahbana). Atau pula tentang kesadaran religiusitas karya Amir Hamzah, patriotisme dalam beberapa puisi Chairil Anwar, puisi-puisi Taufik Ismail yang tak lepas dari pesan moral kekuasaan, kejujuran, keikhlasan, pengorbanan, dan ketulusan hati untuk mengabdi kepada negara melalui puisi-puisi protes sosial politik.
Sementara itu, di dalam karya sastra lisan, salah satunya terdapat di dalam peribahasa. Peribahasa merupakan sastra lisan yang perlu dipertahankan kehadirannya dalam khazanah dunia sastra. Oleh karena itu, peribahasa-peribahasa tersebut perlu dilestarikan. Dalam peribahasa, selain didapati pesan secara eksplisit, kita pun dapat membaca refleksi kearifan serta pandangan hidup masyarakatnya. Salah satu pandangan hidup masyarakat bangsa Indonesia adalah hidup rukun dan bergotong royong. Sebagaimana kalimat peribahasa bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Atau, berat sama dipikul ringan sama dijingjing.
Dengan demikian, di dalam setiap peribahasa terkandung nilai-nilai edukatif. Hal itu baik disadari atau pun tidak karena pada dasarnya peribahasa tersebut merupakan pandangan hidup masyarakatnya. Pandangan hidup menurut Warnaen (1987:8) dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu pandangan hidup mencakup unsur-unsur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, dan tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah. Di dalam pandangan hidup tersebut, dikandung nilai-nilai yang positif dan dianggap sebagai nilai edukatif bagi generasinya ataupun bagi generasi penerusnya.
Di sinilah karya sastra menjawab suara-suara miring dari kalangan yang mempertanyakan eksistensi dan manfaat karya sastra. Karya sastra tidak hanya bermanfat bagi diri penulisnya (yang dianggap sebagai pencurahan batinnya lewat untaian kata yang indah dan menarik), tetapi justru di dalamnya terkandung pesan moral yang positif bagi pembacanya dan dikandung pula unsur kausalitas hubungan sebab akibat. Sebuah hubungan sebab akibat di dunia fana ini yang mengandung makna siapa berbuat baik, kelak akan mendapatkan kebaikan pula, demikian pula sebaliknya.
Selain itu, secara lebih luas lagi bahwa karya sastra dapat merekam peristiwa-peristiwa mini maupun akbar. Katakanlah bagaimana puisi, cerpen, dan novel pada masa penjajahan. Kemudian pada masa kemerdekaan dan pada masa pembangunan seperti sekarang ini, juga di dalamnya terekam pula nilai-nilai edukatifnya, terekam pula sisi politik sosialnya, baik yang bersifat dukungan, bersejajar, atau pun kriktik sosial.
Karya sastra mengandung nilai-nilai kebenaran yang bersifat edukatif dalam suatu budaya dan mengandung keberanian dalam menampilkannya. Hal itu bisa dalam berbagai tokoh dan karakter, atau dalam bentuk utuh sebagai manusia ataupun melalui fabel. Pada akhirnya diakui atau tidak, karya sastra mempunyai kedudukan yang tidak bisa dianggap remeh dalam mempertahankan atau merekam suatu budaya, atau juga sebaliknya dalam membentuk kebudayaan baru, tanpa menghilangkan nilai-nilai edukatifnya yang positif.***
Asep Juanda, Staf teknis Balai Bahasa Provinsi Jabar. dan salah seorang penulis puisi pada buku "Bersama Gerimis".
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Januari 2010
No comments:
Post a Comment