Sunday, January 03, 2010

Ruwatan: Budaya yang Teruji, Dilema Sebuah Candi

-- Ardus M Sawega

LYNDA Bransbury dan Wolfgang Maas bersama-sama menggotong batu berdiameter sekitar 20 sentimeter yang dibalut dengan secarik kain batik. Dengan gerakan khidmat, mereka lalu menjatuhkan batu berikut kain itu ke dalam ember plastik berisi air. ”Plung!” Sebelum adegan pamungkas itu, air dari ember mereka ciprat-cipratkan ke sekitar pelataran Candi Sukuh.

Penari Ngurah Sudibya membawakan tari dengan tajuk "Hitam-Putih" pada Srawung Seni Candi (SSC) di Candi Sukuh, Desa Mberjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (1/1). SSC merupakan agenda tahunan yang diadakan sejak 2005. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Lewat air ini kami melakukan penyucian Bumi dan candi dari segala kekotoran,” kata Lynda (63), akupunkturis asal Inggris. Ia juga menancapkan beberapa tongkat bambu dan potongan- potongan kain dalam suatu konfigurasi di sudut pelataran candi sebagai ritus ”penyembuhan” terhadap Bumi.

Di mata awam, ”Ruwatan Hidup Sehari-hari” yang dilakukan Lynda dan Wolfgang (46) asal Jerman selama 15 menit itu mungkin terkesan main-main. ”Kami serius,” ujar Lynda seraya menyebut tingginya nilai spiritual pada candi tersebut.

Srawung Seni Candi (SSC) ke-6 yang diadakan di Candi Sukuh, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (1/1), memang tidak selalu menampilkan pertunjukan yang bersifat representatif, seperti karya Lynda dan Wolfgang itu.

Festival seni tahunan yang diprakarsai Suprapto Suryodarmo dari Padepokan Lemah Putih Solo ini mengacu pada tradisi masyarakat desa setempat sekitar Gunung Lawu, seperti upacara Wahyu Kliyu, Patra Dita, Pasar Kumandang, Mandasiya, dan Surya Jawi (ruwatan kuda). Ditambah keberadaan candi-candi Hindu buatan abad ke-15, seperti Sukuh, Cetho, Pelanggatan, Panggung, dan Kethek, di sekitar punggung Gunung Lawu, SSC yang diadakan sejak tahun 2004 menjadi satu-satunya festival seni adat dalam lingkup candi.

Multikulturalisme

Setiap gelaran SSC yang selalu diikuti dengan antusias oleh banyak kelompok masyarakat adat maupun seniman modern dari berbagai daerah memperlihatkan betapa tipis batas antara seni representatif dan nonrepresentatif yang didasarkan pada tradisi, naluri alam, dan gerak intuisi. Kesenian yang, menurut Henry Nurcahyo dari Dewan Kesenian Jawa Timur, lahir dari dialog dengan alam; udara, air, angin, hutan, juga candi.

Saat membuka SSC, Direktur Kesenian Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sulistyo Tirtokusumo menyatakan, ”Forum, seperti Srawung Seni Candi, amat dibutuhkan komunitas-komunitas adat yang banyak kita temukan di seluruh Nusantara. Ekspresi budaya mereka itu niscaya telah teruji oleh zaman dan mereka membutuhkan ruang untuk mengekspresikan dirinya. Dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme, forum seperti ini patut didukung dan dilestarikan.”

Karya-karya yang dianggap nonrepresentatif itu sering kali merupakan renungan mendalam tentang makna hidup dan lingkungan alam. Seperti ”Sesaji Inti Bumi”, hasil kolaborasi Suprapto Suryodarmo dan Toni Kanwa (Bandung) yang mengolah cahaya alam sebagai energi kehidupan. Atau ”Hening” (Wajiwa Bandung Dance Theater) yang mengungkapkan hubungan antarmanusia yang telah kehilangan rasa empati akibat meruyaknya sikap individualisme.

Pada karya Luluk Ari Prasetyo, ”Imaging with Nature” mengimajinasikan bentuk-bentuk di alam lalu ditransformasikan dalam gerak oleh tiga penari pria tanpa iringan musik. Ini membuatnya sebagai pertunjukan yang sepi dan terkesan bukan tontonan.

Ngurah Sudibya melalui karyanya ”Hitam Putih” mengingatkan tentang inti kehidupan yang memuat rua bineda (dua unsur berbeda); yang seharusnya disatukan, diharmoniskan. Adapun tari ”Tingang Mada’ang” (Kelompok Hinang Danga’an dari Kalimantan Timur) dengan busana adat Dayak yang eksotik tidak serta-merta bisa dianggap sebagai pertunjukan representatif.

Melalui kosmologi wayang, Siti Saraswulan (Solo) membawakan tari tunggal ”Sumilak” yang menggambarkan perjalanan hidup tokoh Bathari Uma, istri Bathara Guru. Pesannya: manusia itu mudah tergelincir pada dosa, tetapi untuk menyatu dengan Hyang Purba Wisesa dibutuhkan proses pengakuan dosa, pertobatan, dan penyucian diri.

Begitu pun, gelaran SSC juga memuat gagasan kontemporer— meski tetap bertolak dari kosmologi lama—seperti pada ”Katutangin” karya Bimo Wiwohatmo. ”Katutangin” (terbawa angin), kata Bimo, terinspirasi oleh kekuatan Dewa Bayu, mengingat Candi Sukuh bertumpu pada Dewa Angin itu.

Koreografi yang didukung tiga kelompok tari ini menyajikan pertunjukan yang cukup memikat dan bisa ”dinikmati” awam. Empat penari putri membawakan gerak tari bedhaya dengan busana serba putih di pelataran candi; mengimajinasikan para dewi yang terbawa pusaran angin. Sementara itu, empat pasang penari lain menggambarkan Dewa Bayu yang tengah dirasuk nafsu berahi.

Gagasan lebih kontemporer kita saksikan pada ”Ikan dari Langit” karya Fitri Setyaningsih dan Afrizal Malna, yang terinspirasi cerpen karya Danarto, ”Lauk dari Langit”. Adapun tarian lengger ”Seggote” (Pring Serentet) dan ketoprak ”Menur” oleh Kelompok Ketoprak Ngampung (Solo) tergolong tontonan rakyat yang, sekalipun masih populer, akhir-akhir ini mulai terpinggirkan dan terdesak oleh ideologi lain.

Dilema

Dari forum SSC ini mencuat gagasan yang menunjukkan dilema antara kesenian, upaya sosialisasi candi, berhadapan dengan upaya preservasi dan konservasi atas keberadaan candi sebagai situs cagar budaya. Afrizal Malna, misalnya, mengingatkan apakah sepatutnya gerakan sosialisasi candi lewat acara kesenian dilakukan persis di areal candi. ”Apakah seorang seniman patung rela karyanya diinjak-injak oleh seniman lain,” ujar Afrizal menganalogikan.

Henry Nurcahyo selaku penggiat seni budaya menyebutkan, keberadaan candi-candi di Jawa Timur sebagai buah simalakama. Di satu sisi harus ada konservasi dan preservasi terhadap candi. Namun, di sisi lain, candi harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. ”Bentuk-bentuk aktivitas di candi, seperti acara kesenian, apalagi kalau sudah menjadi tempat tujuan wisata, sedikit banyak bertentangan dengan upaya konservasi dan preservasi,” ujarnya.

I Gusti Nengah Nurata, pengajar pada Institut Seni Indonesia Solo, menegaskan, upaya mencegah kerusakan atas situs-situs cagar budaya, seperti Candi Sukuh, akibat aktivitas pariwisata harus segera dilakukan. ”Di mata internasional, kita dikenal sebagai bangsa yang tak mampu merawat situs cagar budaya, seperti candi, karena kita memang tidak bisa menghargai milik sendiri yang amat berharga,” kata Nurata.

Sumber: Kompas, Minggu, 3 Januari 2010

No comments: