Bahkan mereka yang tidak secara khusus belajar filsafat sekalipun banyak yang akrab dengan ungkapan cogito, ergo sum, saya berpikir, (maka) saya ada. Kesangsian metodis dari filsuf Perancis Descartes yang dianggap sebagai titik pangkal filsafat zaman modern ini sendiri tentu saja pada perkembangannya juga banyak yang menggugat.
Cogito, si ”saya” dalam Cartesian itu oleh Lacan, misalnya, dianggap tidak mencakup otonomi subyek secara menyeluruh, pusat interior dan ekspresif manusia. Lacan menggunakan pendekatan psikoanalisis dan coba mempertanyakan filsafat tadi dengan proses bawah sadar dan keinginan-keinginan yang diekspresikan dalam bahasa. Dia mempertanyakan dengan merujuk pada Freud yang dikenal dengan bentukan manusia atas ego, superego, dan id.
Kalau ditarik lebih jauh seperti itu terasa tambah membingungkan bagi Anda, sudahlah: bahkan dalam kehidupan Jawa dikenal istilah, ...ilmu kelakone kanti laku (ilmu terjadinya dengan menjalani). Tidak usah banyak berpikir. Umberto Eco juga pernah berucap bahwa pertanyaan tentang ”keberadaan”, ”menjadi”, ”being” sebenarnya problem paling tidak alami. Sesuatu yang banyak orang sebenarnya tidak memedulikannya, iya toh....
Ungkapan main-main yang diam-diam mempermainkan suatu paradoks seperti itu mengingatkan pada guru besar Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih, Gunawan Rahardja. Ia biasa tiba-tiba muncul di tengah murid-muridnya yang tengah latihan silat, dengan pakaian yang serupa dengan para murid, putih-putih. Bedanya, guru ini selalu membiarkan kaus oblongnya yang sederhana keluar, tidak masuk dalam celananya.
”Jangan dipikirkan...” ucapnya sambil lalu disertai, misalnya, mencablek murid. Atau tegurannya yang lain yang disampaikan tak kalah santai, ”...jangan tegang. Santai saja.”
Itu tak kalah paradoksal kalau mengingat pada waktu yang lain dia akan memerhatikan setiap inci gerakan murid, menghitung setiap siku yang membentuk sudut, dan mempertimbangkan seluruh konsentrasi dan penyebaran tenaga, mana kosong mana isi. ”Bukan ruang membentuk kita, tapi bentuk membentuk ruang, gerakan membentuk ruang,” begitu kurang lebih misalnya ucapannya.
Bisa dipahami, mengapa di sini secara tradisi dari dulu Bengkel Teater Rendra sangat akrab dengan perguruan ini, sejak di zaman mendiang suhu Subur Rahardja, yang menjadi guru Rendra dan banyak seniman dan demonstran seperti Hardi dan Ibrahim Zakir. Dalam dunia estetik panggung, adakah yang lebih penting dari ke-ruang-an? Kalau mau direfleksikan lebih jauh lagi, dalam tata hidup ini sendiri, adakah yang lebih problematik dibanding ruang dan waktu. Mengapa setiap kalender menunjuk pada akhir tahun, orang seperti memasuki suatu ruang lain, sementara waktu sebenarnya hanyalah kategorisasi yang kepentingannya berkembang semenjak manusia masuk era industrialisasi? Tanpa signifikansi industrialisasi, bukankah waktu adalah gerak alam, yang seperti kata Rendra: ”...kemarin dan esok adalah hari ini”. Sesuatu yang tiada bedanya, atau melanjutkan kutipan sajak penyair kita itu: ”duka dan keberuntungan sama saja”.
Kakak guru, Irwan Rahardja yang tinggal di Bali, bisa lebih cerewet lagi soal ketepatan gerak dan bentuk itu. Dari kesadaran geometrik dalam gerak, dia bisa kemudian menguraikan soal rupa, bentuk, wujud. Bagi dia, peniruan umumnya hanya pada tingkat rupa. Perjalanan kita adalah perjalanan menuju esensi, yakni wujud. Krida dalam mengolah rupa, bentuk, wujud itu pasti juga diakrabi mereka yang bergerak dalam penciptaan kreatif, dari sastra sampai arsitektur. Para arsitek yang berpikir dalam paradigma postmodernis, misalnya, akan menggenggam esensi bahwa arsitektur adalah masalah form alias bentuk. Dalam sastra, kalau Anda membaca Roland Barthes, misalnya, awalnya adalah konstruksi kata-kata itu sendiri.
Bagaimana merinci itu semua? Tak akan pernah sepenuhnya tertangkap kalau Anda tidak menjalaninya, katakanlah sebagaimana arsitek merancang bentuk atau penulis mendisiplinkan diri dalam dunia rimba raya kata-kata, seperti pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer: dunia kepengarangan adalah dunia petualangan sendirian menembus hutan.
Dalam gelombang karnaval dan perayaan citra itulah yang makin kurang di zaman ini, yakni suatu krida kehidupan yang mengutamakan laku, praktik, proses menjalani. Dalam kata-kata almarhum Rendra, jarak operasional makin jauh. Katakanlah ada ruangan kotor, kita menggerutu karena kita tak terbiasa lagi menyapu. Tiba-tiba, keadaan yang serba berabe membuat kita—mengutip bahasa Jawa—awang-awangen. Gamang, tak tahu lagi dari mana mesti memulai.
Jauhnya jarak operasional manusia dengan apa yang harus dikerjakan di zaman ini dipicu lagi dengan teknologi informasi semacam power point yang biasa diproyeksikan lewat in focus oleh mereka yang gemar menjadi penceramah. Kalau sesuatu sudah disistemisasi lewat program power point, kemudian dipresentasikan melalui in focus, semuanya seakan langsung beres.
Kita hidup di zaman realitas virtual yang makin hari kian manipulatif. Keluar dari ruangan ceramah dengan simulasi virtual tadi, kita merasa problem sudah diatasi, dunia sudah beres. Semua dapat nilai A. Persis seperti efek visual nonton film koboi di masa lalu. Keluar gedung bioskop semua orang siku tangannya agak merenggang, masing-masing merasa ada pistol tergantung di pinggang.
Atau justru itulah keajaiban dan kemudahan zaman ini? Citra menyelesaikan segala-galanya? Kalau Anda memiliki sedikit personaliti yang menyenangkan, pinter ngomong, pasti Anda lebih sukses daripada yang mengerjakan sesuatu secara sungguh-sungguh. Meskipun, sebenarnya proses being, men-”jadi”, makin jauh dari Anda. Hanya saja, bukankah seperti kata Eco, tidak banyak orang peduli soal itu.... (BRE REDANA)
Sumber: Kompas, Minggu, 3 Januari 2010
No comments:
Post a Comment