-- Kurniawan Junaedhie*
AKHIR tahun lalu, saya menjadi kurator buku antologi berjudul Merah Yang Meremah. Buku yang laris manis dijual Facebook itu memuat hampir 100 puisi yang ditulis oleh 10 penyair perempuan yang biasa menulis di situs perkawanan yang sedang ngetrend itu. Kesepuluh penyair itu adalah Dewi Maharani, Faradina Izdhihary, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Seyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, dan, Weni Suryandari.
Saya tergugah untuk membukukan puisi mereka, karena beberapa alasan. Pertama, nama mereka pada umumnya (kecuali satu dua nama) belum pernah saya dengar dalam perbicangan sastra, karena memang belum pernah dipublikasikan di media mainstream berupa koran atau majalah berskala nasional. Kedua, motivasi mereka menulis di Facebook, tampaknya murni 'hanya' didorong keinginan mengekspresikan dan beraktualisasi diri, tidak sebagaimana gerakan Cybersastra pada tahun 2005 yang ditokohi penyair Medy Loekito dkk; yang secara terang-terangan menjadikan Internet sebagai media untuk 'melawan' dominasi dan hegemoni sastra koran. Alasan lain, puisi-puisi yang mereka tulis menarik perhatian saya dari segi tema, sementara dalam hal 'rasa bahasa', pada umumnya mereka sudah dikaruniai 'bakat alam' dalam menulis syair. Munculnya fenomena dunia maya sebagai media ekspresi sastra di Indonesia memang bukan hal baru. Namun demikian, menurut saya ada karakteristik khas yang membedakan penyair Facebook dengan penyair di dunia maya sebelumnya yang 'masih' menggunakan situs web, dan paling banter situs blog (blogger, multiply, worldpress dll).
Facebook, seperti halnya situs blog adalah situs yang termasuk dalam generasi Web 2.0. Situs generasi ini bersifat interaktif, sedang situs-situs web generasi Web 1.00 bersifat statis atau tidak interaktif. Pada web generasi lama, penyair sebagai users hanya bebas menayangkan tulisan, namun pembaca (readers) tidak bisa memberikan komentarnya secara langsung atau at moment. Komunitas tidak terbentuk dengan sendirinya. Penyair harus mempromosikan atau memperkenalkan dulu nama domain situs webnya kepada publik agar situswebnya dikunjungi orang.
Dengan web generasi baru yang dimulai dengan munculnya situs-situs blog seperti blogger, multiply, worldpress dll, pengguna atau penyair dengan mudah bisa nge-blog kapan saja di mana saja sekaligus bisa menjadi penerbit dengan mempublikasikan sendiri ke seluruh dunia, tanpa harus melewati seleksi dari lembaga yang bernama redaksi.
Itulah yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga (citizen journalism) yang dalam konteks ini kita sebut sebagai 'kesusastraan warga'. Seperti halnya jurnalisme warga di mana masyarakat punya kebebasan berbicara, maka 'kesusastraan warga' pun membuat para penyair bebas mengekspresikan diri di dunia maya. Mereka bisa melepaskan diri dari apa yang disebut 'keangkuhan media massa mainstream' dan tak perlu mengikuti selera redaksi atau trend yang terbentuk karenanya.
Keunggulan generasi Web 2.00 adalah, kita bisa menggunakan situs ini tanpa harus mahir dalam bidang HTML. Tapi keunggulan Facebook yang dikatagorikan sebagai situs jejaring sosial (seperti halnya Friendster) lebih hebat lagi. Selama kita punya alamat email, maka kita sudah bisa memiliki akun yang memungkinkan kita nge-blog atau memposting tulisan kita ke Facebook, kapan saja di mana saja secara instant.
Yang hebat, teman satu minat akan muncul dengan sendirinya sebagai sebuah jaringan (networking) tanpa perlu kita mengiklankan diri atau memberitahu alamat situs kita pada orang. Networking itu sendiri pada dasarnya adalah komunitas, atau khalayak yang memiliki minat yang sama. Keunggulan lain, penyair bisa secara langsung mengirim puisinya kepada jaringan pertemanannya (tag atau tagging) dan segera mendapat komentar. Keuntungan lain dari sisi penyair, situs jejaring pertemanan ini tidak memberi peluang untuk melakukan tinjauan secara mendalam. Facebook juga tampaknya memang dirancang sebagai media pertemanan sehingga agak aneh bila ada debat kusir di sana. Lihat saja. Kolom komentar Facebook, misalnya, 'hanya' menampung sekitar 200 karakter.
Tingginya interaksi yang nyaris tanpa jeda dalam hitungan detik dan menit, tanpa disadari ikut 'mendorong' agar orang memberi komentar bersifat selayang pandang, tidak perlu in depth. Dan lagi-lagi, karena Facebook merupakan situs jejaring sosial, maka semua komentar itu selalu dibalut dengan semangat persahabatan yang kental. Bahkan pembaca yang malas berkomentar, 'hanya bisa memilih gambar jempol yang berarti 'tanda suka', karena media ini tidak menyediakan pilihan simbol 'tanda tidak suka'. Namun di sinilah nilai plus-nya, para penyair bisa berinteraksi dengan para sejawatnya secara intens di Facebook sekaligus berkreasi tanpa rendah diri.
Di dunia Facebook, siapa saja bisa jadi penyair, bisa jadi penerbit, sekaligus bisa jadi kritikus atau reviewer tanpa perlu risi. Maka tak perlu heran, di Facebook, setiap hari puisi terus ditulis dan penyair-penyair termasuk kritikus baru pun bermunculan. Bahkan di media demokratis itu, seakan-akan dikesankan, puisi dan menjadi penyair bukan lagi menjadi hal yang rumit dan sakral.
Penyair Iwan Soekrie secara spekulatif pernah menaksir ada ribuan penyair berbahasa Indonesia berkarya di dunia maya dewasa ini; dan separuh diantaranya bergumul di Facebook. Jika Soekrie benar, maka ini jelas hal yang pantas untuk meyakinkan kita bahwa Indonesia memang sebuah 'negeri produsen syair dan penulis syair terbesar' di dunia. Memang bukan mustahil, dengan semaraknya situs-situs jejaring sosial sejenis, akan terus lahir sebuah generasi penyair baru Indonesia dengan karakteristik yang baru pula. Ke-10 penyair perempuan yang tergabung dalam buku Merah Yang Meremah itu buktinya.****
* Kurniawan Junaedhie, penyair dan kurator buku puisi Merah Yang Meremah, antologi 10 Penyair Perempuan di Facebook terbitan Bisnis2030, Jakarta.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 23 Januari 2010
No comments:
Post a Comment