[JAKARTA] Desakan agar pemerintah mematuhi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung RI tentang ujian nasional (UN) kembali bergulir. Kali ini, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) yang tergabung dalam Poros Pelajar Indonesia melakukan aksi demo damai nasional bertajuk Pelajar Menggugat secara serentak di seluruh Indonesia, Selasa (6/1).
Mereka menilai pelaksanaan UN merupakan pemborosan anggaran negara, karena setiap tahun ratusan miliar rupiah dari APBN dihabiskan untuk ujian tersebut. Belum lagi anggaran yang dialokasikan melalui APBD masing-masing daerah dan itu semua menjadi sumber korupsi.
Karena itu, mereka menuntut antara lain, UN dihapuskan, dan mendesak pemerintah untuk meminta maaf dan melakukan rehabilitasi mental terhadap korban UN serta meningkatkan kualitas pendidikan serentak di seluruh Indonesia, serta meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.
"Pemerintah terutama Mendiknas jangan ngotot memaksakan UN. Mendiknas harus mau mendengarkan suara pelajar. Sikap dan tindakan ngotot Mendiknas, telah melanggar hak asasi manusia (HAM) pelajar," kata Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) Virgo Sulianto Gohardi saat dihubungi SP di Jakarta, Selasa (5/1) pagi.
Menurut dia, putusan MA yang menolak kasasi pemerintah dalam perkara UN semakin mempertegas penilaian bahwa UN memang bermasalah dan harus dievaluasi total. Selain itu, kata dia, Putusan MA juga mempertegas penilaian bahwa pelaksanaan UN belum merupakan prioritas dalam pembangunan pendidikan Indonesia.
Prasyarat
Pada dasarnya UN memang diperlukan oleh sebuah negara karena merupakan tolok ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional. Namun demikian, diperlukan prasyarat dasar sebelum UN dilaksanakan, yakni pemenuhan terhadap standar proses pendidikan, seperti sarana prasarana pendidikan yang memadai, distribusi dan kualitas guru, kurikulum, dan lainnya.
"Standar proses pendidikan itu terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar warga untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Selama ini penerapan UN dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan," paparnya.
Hal ini secara ekonomi akan menambah beban biaya karena harus membeli buku tambahan, mengikuti tes dan biaya untuk mengikuti bimbingan belajar.
Sementara itu, dari Bengkulu dilaporkan aksi serupa penolakan UN juga berlangsung di kota ini. Aksi ini hanya diikuti puluhan pelajar, namun cukup menarik perhatian masyarakat di Kota Bengkulu.
Mendiknas Muhammad Nuh dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa UN akan tetap jalan. "Jika putusan PN, PT, dan MA memerintahkan pemerintah harus menghentikan UN, tentunya pemerintah akan melakukan evaluasi pelaksanaan UN. Tetapi, dari kajian ahli hukum independen menyatakan, tidak ada masalah dan putusan pengadilan itu tidak melarang UN, sehingga UN bisa jalan terus dan tidak melanggar aturan," tandasnya. [NOV/143/M-17]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 5 Januari 2010
No comments:
Post a Comment