-- Paul Budi Kleden
NELSON Mandela, guru bangsa dan pahlawan Afrika Selatan, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan apartheid karena perjuangannya menentang diskriminasi rasial di negara itu. Pada tahun 1990, Mandela akhirnya dibebaskan karena tuntutan dunia internasional, setelah mendekam 26 tahun dalam penjara. Dalam salah satu pidatonya setelah dibebaskan dari penjara, Mandela berkata, "Saya telah membaktikan seluruh hidup saya demi perjuangan rakyat Afrika. Saya berjuang menentang dominasi kulit putih, seperti juga saya berjuang menentang dominasi kulit hitam. Saya telah merawat cita-cita untuk suatu masyarakat yang demokratis dan bebas, tempat semua orang boleh hidup bersama dalam keharmonisan dan memiliki kesempatan yang sama. Inilah sebuah cita-cita untuknya saya ingin hidup dan yang ingin saya capai. Namun, bila harus terjadi, inilah sebuah cita-cita untuknya saya bersedia mati."
Kepahlawanan ditentukan oleh cita-cita luhur yang menjiwai seseorang, untuknya dia berjuang, menggunakan seluruh potensi, waktu dan relasinya. Demi cita-cita itu dia mengambil risiko, dilawan dan dikucilkan, dikejar dan dipenjara, dan bila harus terjadi, dia bersedia mati untuk cita-cita tersebut. Keyakinan malah obsesi yang mendalam pada cita-cita tersebut membuat seorang pahlawan menilai sekunder semua yang lain, termasuk kenyamanan hidup dan nyawanya sendiri. Sebab itu, kepahlawanan jarang ditemukan dalam diri seorang penguasa. Kepahlawanan adalah milik para pejuang.
Kepresidenan yang Menodai
Setelah kematian Gus Dur wacana publik, antara lain diramaikan oleh gagasan pemberian gelar pahlawan kepadanya. Walaupun ada pendapat yang hendak mengaitkan usul pemberian gelar ini dengan status Gur Dur sebagai mantan presiden, namun justru status itulah yang telah memudarkan pamornya sebagai guru bangsa.
Kepresidenan Gus Dur bukanlah jabatan yang mengkualifikasikannya menjadi pahlawan bangsa. Yang mengesankan dari masa jabatannya yang singkat adalah gaya kepemimpinan yang inkonvensional dan karena itu sering membingungkan. Saat bangsa yang besar ini baru mulai menata budaya dan struktur demokrasi serta harus menghadapi krisis ekonomi yang dahsyat, gaya kepresidenan Gus Dur terkesan terlampau mengentengkan persoalan.
Keputusan Gus Dur untuk maju dalam percaturan politik merebut kursi kepresidenan dan kemudian menjadi presiden pertama dalam era reformasi dapat dinilai sebagai langkah yang tidak menguntungkan untuk konteks yang lebih luas. Karena, dengan langkah ini bangsa ini kehilangan figur seorang guru bangsa. Gus Dur dapat dipastikan lebih banyak berkontribusi bagi seluruh bangsa ini seandainya dia sanggup mengorbankan ambisi politiknya untuk menjadi presiden saat itu.
Setiap masyarakat membutuhkan pemimpin formal dan informal. Pemimpin formal bertugas menjalankan jabatan publik dengan berbagai fasilitas legal, sementara wilayah pengaruh pemimpin informal adalah pikiran dan nurani warga dengan mengandalkan kewibawaan personal. Pemimpin formal dilahirkan melalui mekanisme kaderisasi yang berlaku dalam sebuah masyarakat, tetapi seorang pemimpin informal tumbuh karena kredibilitas pribadi. Kendati ada beberapa kecualian yang sangat jarang, umumnya kedua kepemimpinan ini terpisah.
Ketegasan sikap Gus Dur terhadap penguasa politik yang korup dan antidemokrasi pada satu masa ketika banyak pemimpin agama menutup mulut karena takut mengambil risiko atau karena berhasil dijinakkan dengan berbagai kemudahan, telah menjadi kekuatan yang menginspirasi dan menguatkan para pejuang demokrasi di negara ini.
Peran sebagai penggerak demokrasi dan pejuang multikulturalitas Indonesia menjadikan Gus Dur figur yang sangat penting dalam sejarah bangsa ini. Untuk demokrasi dan kemajemukan ini dia harus menanggung banyak risiko, difitnah dan diremehkan.
Greg Barton dari Monash University, penulis buku Gus Dur: the Authorised Biography of Abdurrahman Wahid, dalam obituaria di koran The Age (1-2 Januari 2010) melukiskan Gus Dur sebagai tokoh yang sangat dikasihi, seorang intelektual Islam yang progresif dan disiden yang berpengaruh serta dikagumi sampai tahun 1999 ketika dia menjadi presiden. Banyak orang mencemaskan bahwa keputusannya untuk terjun dalam pertarungan merebut kursi kepresidenan akan menghancurkan reputasinya sebagai pembaru sosial dan pemimpin religius. "They were right to be afraid. He was never meant to be a president." Dia bukan orang yang tepat untuk menjadi presiden.
Gus Dur memang terlalu kuat untuk dipukul hancur hanya dengan kegagalan menjadi presiden. Dia masih bersuara setelah lengser dari jabatan kepresidenan. Komitmennya terhadap demokrasi dan multikulturalitas bangsa ini tidak memudar. Namun, dia tidak lagi memiliki kewibawaan yang sama. Gus Dur yang mantan presiden bukan lagi Gus Dur sebelum menjadi presiden.
Kalau Gus Dur diberi gelar pahlawan karena pengorbanannya yang heroik, mungkin nilai yang turut digarisbawahinya adalah falibilitas seorang pahlawan. Seorang pahlawan pun boleh melakukan kekeliruan. Yang penting adalah konsistensi pada cita-cita, untuknya dia hidup, dan kalau perlu mengorbankan hidupnya.
* Paul Budi Kleden, Dosen pada STFK Ledalero, Flores
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 23 Januari 2010
No comments:
Post a Comment