Sunday, January 10, 2010

Gus Dur dan Multikulturalisme

-- Ahmad Syubbanuddin Alwy

Dewasa ini, masalah-masalah dasar bangsa seperti kedaulatan hukum atau kebebasan berpendapat belum dapat dikatakan tuntas atau terjamin. Bila dahulu jargon-jargon yang dipakai adalah demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi sekarang mempergunakan bendera Islam. (K.H. Abdurrahman Wahid)

KIAI Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1940-2009) tak terbantahkan merupakan ikon, kanon, sekaligus mainstream dalam denting diskursus pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia. Hampir seluruh perbincangan yang kelak coba menelisik kembali detail fenomena tersebut, tidak akan mampu meloloskan diri dari rangkaian pemikiran-pemikiran genuine sosok ini, baik skala mikro maupun makro. Kontekstualitas ide-ide dan gagasan yang terus dikembangkan hingga menjelang wafatnya, bertolak dari kefasihan mengafirmasi kebhinnekatunggalikaan dalam bingkai negara-bangsa.

Kata demokrasi, toleransi, advokasi, solidaritas, egaliter, inklusif, populis, pluralisme, di antara beberapa password dari mata rantai dan bunga rampai deskripsi pemikiran-pemikirannya kemudian dipertautkan dengan ide-ide kebangsaan yang bersentuhan dalam konteks luas hak-hak asasi manusia, penolakan anarkisme, penerimaan multikulturalisme, perbedaan beragama, marginalisasi kaum minoritas, kebebasan berekspresi, desakralisasi kekuasaan, dominasi kebijakan negara yang sentralistik dan depolitisasi militer. Dalam perspektif itu, Gus Dur menampik keras pembacaan dan penafsiran teks-teks agama-politik-sosial-budaya pihak manapun yang didesakkan dengan semangat hegemonik serta dikotomik. Tak terkecuali, dari dalam institusi yang menjadi bagian penting latar genealogis keluarganya.

Ide dan gagasan pemikirannya melampaui aksentuasi juga prediksi akademis, dan dengan begitu, merangkum pemikiran lain yang memperhadapkan ide-ide serta gagasan berikutnya yang berposisi sebagai counter hegemony. Bahkan dari situlah, pemikiran Gus Dur menunjukkan akurasi tertentu sesudah melewati fase-fase perdebatan serta silang pendapat publik yang bergemuruh di seberang ide maupun gagasannya-tanpa disadari, menyulut kontroversi di ranah ruang publik.

Bagi Gus Dur sendiri, tampaknya setiap gagasan dan pemikiran akan lebih memotivasi adanya gagasan atau pemikiran lain yang dikukuhkan secara berhadap-hadapan. Oleh karena itu, Gus Dur senantiasa meletakkan gagasan dan pemikirannya ditawarkan dalam format yang terkesan kontroversial dan bersifat opisisi dari arus utama pemahaman publik. Dalam banyak perspektif, ide-ide dan pemikirannya hendak menciptakan paradigma baru yang menerobos batas-batas konvensi lama yang telah tersusun sebelumnya. Dengan dinamika seorang pendobrak (al-dakhil), Gus Dur membangun arasy intelektualnya dalam berlapis instrumen basis keilmuan untuk mempertanyakan ulang, mempersoalkan sekaligus memberikan alternatif sebagai jawaban.

**

BERBAGAI gagasan dan pemikiran Gus Dur yang mendedahkan kajian-kajian dalam perspektif publik selama ini, ide-ide pluralisme agaknya menjadi satu sudut pandang dan metode berpikirnya yang berujung pada ideologi kebangsaan. Gagasan dan pemikiran apapun, dalam persepsi Gus Dur bisa dimulai dengan suatu paradigma yang dapat dikonstruksi dalam banyak dimensi. Pluralisme atau keberagaman yang menjadi bagian dari simbol-simbol global di hadapan publik, misalnya, menginspirasi kita untuk senantiasa merevisi sistem penafsiran yang berlangsung monolitik. Logika dan polarisasi berpikir Gus Dur, tampak lebih mengedepankan analisis yang tidak memandang konstruksi pemikiran keagamaan (Islam) menjadi hal yang final (fiqh minded). Akan tetapi, memeriksa kembali pengetahuan mengenai sumber-sumber dan sistem yurisprudensi Islam (ushul fiqh).

Hal itu terbaca dari paradigma Gus Dur yang melihat obyektivitas pemikiran bukan sekadar motif dan tendensi politik, melainkan konsensus ilmu pengetahuan terhadap kemungkinan yang lebih mendekati kebenaran dan cocok dengan hati nurani. Landasan berpikir itu mengukuhkan persepsinya menolak formalisme penafsiran yang merujuk pada teks-teks ajaran Islam sekaligus mempersoalkan pandangan yang bertumpu pada dalil-dalil semata, tanpa merepresentasikan unsur rasionalitas. Persepsi seperti ini juga, menyebabkan keyakinan Gus Dur memberi penghomatan penuh terhadap keyakinan dan ajaran agama-agama lain. Bahkan, sebagaimana diungkapkannya dalam pidato Perayaan Natal (27 Desember 2007) di Balai Sidang Senayan Jakarta, di tengah jemaat nasrani yang khidmat berkata; "Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya, tetapi tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini... Sejak kecil, itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pesantren, hidup di kalangan kiai, tak pernah sedikit pun merasa berbeda dengan yang lain." (lihat: "Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan", 2002:144).

Formalisme penafsiran teks-teks ajaran agama yang kaku dan normatif, tidak luput dari kritik Gus Dur. Islam sebagai rahmatan lil `alamin (rahmat untuk alam semesta), menurutnya, tidak selayaknya menegasikan dan menegatifkan keyakinan para pemeluk agama lain. Dan justru dari sanalah, Islam dengan ajaran-ajaran serta persepsi teologisnya yang memuat nilai-nilai universal. Sehingga pertikaian atau pertentangan yang disebabkan atas perbedaan ajaran dan keyakinan, dikhawatirkan mendistorsi nilai-nilai universal, pesan-pesan moral maupun ayat-ayat humanisme yang dibawa agama (Islam) itu sendiri.

Pluralisme menurut Gus Dur, menjadi niscaya dalam kehidupan sosial serta diskursus keberagamaan di negeri ini. Sehingga akan membuka lebar pintu-pintu persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) dan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) bagi siapa pun-begitu juga persaudaraan sesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah). Oleh karena itu, masalah agama, toleransi beragama dan solidaritas keberagamaan di republik dengan latar multikulturalisme yang kompleks, tanpa dibarengi sikap kosmopolit dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama yang universal yang bertumpu pada kesalihan individual, akan mudah tersulut konflik. Beragama dengan menekankan sisi perbedaan menjadi sentral, yang menafikan faktor-faktor internal primordialitas perlahan terhunus menjadi sebentuk totaliterianisme serta pemujaan setiap kelompok etnis masyarakat secara ekstrem dan radikal.

Akibatnya, agama diindikasikan menjadi "pemantik" segenap kerusuhan dan akar kekerasan. Agama dikonstruksi sedemikian rupa untuk melegitimasi motif-motif sentimentalisme yang mengarah kepada pembenaran atas persepsi tunggal. Agama juga, dipahami sebatas sikap formal dan mencerminkan hal-hal doktrinal. Manusia sebagai makhluk multidimensional yang bertaut erat dengan kehidupan sosial sangat kompleks, tentu saja, tidak dapat mengabaikan sama sekali diskursus ilmu di dalamnya untuk memosisikan agama sebagai "pembebas" setiap individu terhadap segala bentuk kekerasan (terorisme) yang mengatasnamakan ajaran-ajaran agama.

Pada konteks ini, sebagaimana tertuang dalam "Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat" (2008:24-25); Gus Dur menjelaskan (tindakan) para teroris tidak menyadari, respons mereka bukan sesuatu yang asasi dari (ajaran) agama Islam. Setidaknya, hal tersebut bisa dilihat dalam dua masalah mendasar. Pertama, pandangan para teroris bukanlah pandangan umat Islam. Tetapi, pandangan yang digagas segelintir orang yang salah bersikap melihat aneka tantangan yang dihadapi ajaran Islam. Kedua, pandangan itu sendiri bukan pendapat kalangan mayoritas (umat Islam). Selain terjadi kesalahan paradigmatis, relasi antara agama dan kekuasaan yang diasumsikan akan menguntungkan agama. Padahal jelas, dari proses itu agama sekadar menjadi alat pengukuh dan pelestari kekuasaan. Seterusnya, agama akan kehilangan peran lebih besar sebagai pengembang kemanusiaan dan pembawa kesejahteraan.

**

GAGASAN dan pemikiran Gus Dur, meski terkesan sangat kontroversial dan fenomenal, sesungguhnya tetap berkiblat pada asas Islam yang diteguhkan menjadi mainstream. Oleh karena itu, konstruksi pemikirannya yang mendeskripsikan ide-ide pluralisme, multikulturalisme, dan nasionalisme dipertemukan melalui perspektif yang cerdas menjadi "pribumisasi Islam". Islam sebagai agama merepresentasikan sistem sosial, pandangan kebudayaan maupun etik global yang memosisikan manusia sebagai khalifah fi al-ardl dalam maknanya yang spesifik. Ijtihadnya tentang Pancasila sebagai ideologi negara, merupakan aplikasi teoretisnya yang menjadi titik perhatiannya terhadap kehidupan bernegara.

Seorang pengamat NU, Douglas E. Ramage, Ph.D. dalam "Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil" (1997:104) menyatakan, peran Gus Dur yang memosisikan Pancasila sebagai prasyarat demokratisasi dan pembangunan semangat keislaman yang sehat tampaknya harus dilihat dalam perspektif neomodernisme. Suatu pandangan yang secara jelas berbeda dengan, misalnya dikotomi Islam versus Pancasila di masa konstituante. Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam, dan nasionalisme inilah yang secara intelektual dan politis melatarbelakangi upaya perubahan keikutsertaan Islam dalam diskursus politik dan ideologi Islam selama sepuluh tahun terakhir.

Dengan kata lain, pribumisasi Islam merepresentasikan tafsir dan apresiasi Gus Dur terhadap kontekstualitas Islam yang berpaut dengan berbagai khazanah lokal, penghargaan nilai-nilai tradisi, pluralisme dan multikulturalisme yang menjadi latar sosial sekaligus nalar kultural. Dengan deskripsi yang meyakinkan, Gus Dur telah mencetak blue print kebesaran Islam dan menginspirasi masyarakat Islam agar mampu beradaptasi di lingkungan masyarakat di mana kebudayaan (culture) serta peradaban (civilization) mengukuhkan sikap kreatif dan dinamis.***

* Ahmad Syubbanuddin Alwy, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 10 Januari 2010

No comments: