-- Beni Setia
STRUKTUR pikiran dari Salimi Ahmad (seterusnya: SA) itu rumit meski dalam keseharian ia sangat sederhana. Setidaknya itu terlihat di dalam "kata pengantar" dan lembaran riwayat hidup dalan kumpulan puisinya, Di Antara Kita, tanpa tahun tanpa penerbit. Dalam "kata pengantar", untuk mengatakan ia menulis puisi untuk menjaga keseimbangan hidup dan memelihara nurani ia harus berkata panjang lebar.
Sama persis dengan cita-cita jadi pelukis, yang harus direalisasi dengan masuk Sekolah Seni Rupa Indonesia di Jogjakarta. Sesuatu yang membuatnya tidak kerasan dan pulang kampung ke Jakarta untuk menempuh SMA dan terbukti ia punya bakat melukis.
Dan pengalaman grasa-grusu yang membuatnya rugi waktu itu, meski saya percaya ia untung pengalaman, pergaulan, dan terutama pemahaman akan arti hidup yang membuatnya arif membuat ia menjadi orang terbiasa menahan diri. Orang yang cenderung suka mengamati, memperhitungkan, dan mereduksi yang tidak substansial demi diperoleh sesuatu yang hakiki.
Kesabaran dan kecenderungan menahan diri itu barangkali warisan kebudayaan agrarik, semacam local genius yang di masa kini mungkin tak dikenal.
Barangkali itu displin kerja dari pelukis yang menganut aliran abstraksisme, dengan pola sederhana: menghilangkan ciri detailistik demi kesan total yang berdasar kuat atau lemah aspek pencahayaan, atau yang mereduksi ujud sampai di penampakan yang elementer dalam ujud bidang gemometri, garis,dan warna.
Apapun itu ada satu hal yang amat menonjol dari SA, yakni pola berpikir runtut dan ketertiban step by step dalam mengemukakan pendapat, seperti yang terlihat dalam "kata pengantar" kumpulan puisinya.
Kejernihan berpikir, kemampuan untuk menandai apa yang substansial dari apa yang terlihat, membuat sajak menjadi semacam perumusan tajam tentang sesuatu hal yang tampak atau sesuatu hal yang terpikirkan.
Ambil sajak "Bunga dalam Taman" berikut ini: bunga dalam taman / kelopaknya mekar sebentar / kumbang di sisinya / menatap bulan / duh, semoga terpancar / getaran getaran / 1976 //
Sajak ini merupakan satu laporan batini atas pemandangan di taman saat kuncup sekuntum bunga akan mekar, dan seekor kumbang yang menunggui momen itu.
Dan SA tak hanya memikirkan sesuatu yang selalu bersipat ekploitatif itu tapi tak pernah diharapkannya tidak terjadi, tapi kalaupun terjadi maka hal itu harus melalui proses saling jatuh cinta. Cinta yang tidak ada di dalam pengertian mengekalkan tapi saling menyempurnakan.
Ada sunatullah yang tak bisa dihindarkan, tapi saling pengertian antara keduanya menyebabkan kejahatan pergaulan hilang dan kemudian muncul justru keiklasan dan ketawakalan. Hal itu amat jelas pada "Sajak Sekuntum Bunga", saat sesuatu menarik perhatian karena kodratnya indah dan tak menarik lagi saat layu.
Tidak heran kalau 35 tahun kemudian ia menulis sajak pendek yang berbunyi seperti ini: usia tak mampu menahan jatuh // menopang tubuh lihat sajak nomor 69 dari Bagian Ketiga: Monolog Hari-hari. Di titik ini sajak tak lagi berurusan dengan diksi, dengan persanjakan, serta simbol.
Bagi SA sajak adalah wujud subtansial dari pengalaman hidup, baik itu mengalami atau mengamati. Sajak itu aphorisma, puncak kristalisasi yang dilihat dan dialami mendekati tradisi haiku tak berfilsafat tapi cuma menghadirkan apa yang ada di inti hahikinya sehingga berpendar dalam kejernihan.
Lihat sajak nomor 36 ini: patuh pada nurani / itulah perjalanan maha tinggi / pikiran pikiran akan menjelma api / membakar hidup agar lebih / berarti// Atau sajak nomor 1 ini: Sebelum jagad ada, adakah ia hitam / tanpa berkas api, kilatan pagi atau / putih berseri // Atau sajak "Di Balik Puncak" ini: di balik Puncak / hanya ada lembah / dan perbukitan / untuk mengantar kita / sampai / pada puncak / yang lain / 1982 //. Atau sajak "Persabatan" berikut ini: sebuah persahabatan / angin laut mencium gelombang / perahu oleng merentang / kemudi hilang pegangan: / dasar juga kuburnya / 1981 // Satu ungkapan keimanan yang mengatakan: agamalah yang membuat persahabatan jadi erat bukan suka duka bertualang. Tak heran kalau alam jadi penampakan yang kuasa seperti yang tampak dalam sajak "Pangandaran" bagian satu, sesuatu yang / desir angin / mengisap jejak langkah seorang lelaki memasuki tanjung gaibMU.
Dan dengan kecintaan mistikalistik macam itu maka sebuah protespun menjadi terlihat sangat santun dan etikalistik, setidaknya seperti yang diperlihatkan sajak "Pondok Cangkuang" berikut ini: Bukit hijau / Bukit hutan pertiwi / Bukit garapan bagi domba-domba Australi // Di tiga kilometer jalan masuk kemari,/ - permisi, kami penduduk pribumi // Telak sekali. Satu nasionalisme yang dinyatakan tanpa urat leher menegang, tapi penuh senyum simpul yang maklum.
Karena manusia sesungguhnya suka berlebih-lebihan. Dan SA sangat maklum akan hal itu lahirlah gejolak batiniah yang ditampilkan dalam raut telau danau jernih maha tenang. Mutiara sufistik dari dekade 1970 akhir serta 1980 awal, seperti yang sekali pernah dicanangkan Abdul Hadi WM.***
* Beni Setia, pengarang, E-Mail: benisetia54@yahoo.com
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 9 Januari 2010
No comments:
Post a Comment