Sunday, January 24, 2010

Tinggallah Insting yang Tersisa

-- Syifa Amori

TRAGEDI cicak-buaya sudah begitu karib bagi permirsa televisi dan pembaca koran Indonesia. Bagai sebuah lakon drama legendaris, tragedi yang sesungguhnya terjadi di dunia nyata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Istilah cicak dan buaya pertama kali diangkat oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komisaris Jenderal Susno Duadji. Ungkapan ini tercetus olehnya sebagai bentuk kegusaran Susno setelah mengetahui bahwa KPK menyadap pembicaraan telepon dirinya. Segera setelah itu, cicak dan buaya menjadi hewan-hewan yang jadi perhatian dan kerap dibicarakan publik.

Tak terkecuali di panggung teater. Sebuah wilayah yang menyediakan ruang bagi seniman teater dalam merefleksikan ide-idenya setelah merespons gejala sosial. Radhar Panca Dahana tergugah untuk membawakan tragedi ini ke dalam sebuah jalinan cerita yang terbingkai judul Republik Reptil.

Mengkritisi dengan cukup gamblang dan serius, Radhar menguatkan unsur komedi-satir dalam lakon Republik Reptil-nya. Jadilah pergelaran malam itu dipenuhi subspesies reptil yang saling jegal dalam fungsinya menjalankan kekuasaan. Selain cicak dan buaya yang peranannya masing-masing telah diketahui sebagai wakil dari dua institusi negara, naskah Radhar mengizinkan reptil-reptil lain untuk turut ambil peranan, termasuk di antaranya komodo, biawak, ular, kadal, bulus, kura-kura, iguana, dan bahkan dua reptil palsu, yakni belut dan salamander.

Pentas menjadi menarik ketika penonton terjebak dalam alur permainan Radhar, yaitu untuk menyimak dan menerka, jenis reptil manakah yang mewakili insitusi atau individu tertentu. Dengan petunjuk-petunjuk sederhana -seperti inisial huruf, kebiasaan dan cara bicara para penguasa, petugas, dan politisi- penonton diberi kesempatan secara leluasa untuk menjalin benang merah atas cerita, antartokoh, dan institusi.

“Saya sendiri sama sekali tidak ingin membuat pihak-pihak yang disebut terluka. Pada dasarnya ini bukan serangan buat mereka, tapi diri sendiri, dan juga publik. Ini kan sebenarnya mengungkap kenyataan cara kita beradab, ketiadaan kultur yang membangun adab,” kata Radhar saat ditemui usai pementasan Republik Reptil di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (19/1).

Didasari misi untuk mengembalikan teater kepada publik sebagai representasi kegelisahan publik, Republik Reptil dirancang sebagai wakil publik agar merasa dirinya ada di dalam seni pertunjukan ini. Makanya isu yang paling hangat selama tiga bulan terakhir -cicak dan buaya- di kalangan publik Indonesia dianggap paling pas untuk diangkat. Apalagi, dalam permasalah ini, ada esensi yang sangat penting terkait kehidupan masyarakat secara sosial.

Ada permasalahan yang lebih mendasar di balik fenomena jegal-menjegal cicak dan buaya, yaitu pemahaman soal kemanusiaan sendiri dan persoalan kultural. Radhar melihat bahwa manusia sudah semakin tenggelam dalam pola pikir pragmatis ketimbang meditatif yang mementingkan esensi dan adab. Tak heran jika manusia-manusia zaman ini adalah manusia hedonis -mendahulukan insting purbanya yang tamak.

Ketika adat telah menghilang dan manusia hidup dengan instingnya saja, niscaya bentuk reptilitas dalam diri yang tadinya minoritas akan tumbuh subur dan membuat manusia tak lagi berbeda dengan spesies reptil.

”Ada tim TPF yang serupa naga, hewan mitos yang gaungnya begitu membahana di seluruh dunia, namun tetaplah mitos. Naga di situ menjadi perlambang TPF, sebuah etalase politik yang hanya menawarkan lip service. Ia seperti institusi berkekuatan besar, tapi ompong, tidak punya daya koersif,” kata Radhar bilang memang menemukan banyak kesamaan ciri reptil yang secara spesifik representasi dari masing-masing penokohan yang ia tampilkan.

Misalnya ada komodo yang jadi simbol dari kekuasaan tertinggi. Komodo dianggap pas mewakili pihak ini karena ia adalah reptil yang paling purba dan raksasa. Kemudian juga sekumpulan ular dalam Dewan Per-ular-an Rakyat yang dipimpin ular kobra. Ular yang paling suka nampang, begitu istilah Radhar.

Ada 23 tokoh reptil yang turut meramaikan panggung Republik Reptil malam itu. Kesemuanya mendapat peranan masing-masing dengan dialog dan karakterisasi yang spesifik. Ini karena konsep penyutradaraannya memang berdasar pada akting realis, namun tetap memliki daya simbolisasi. Makanya pendekatannya lebih bersifat realis-simbolik, karena ada makna-makna di belakangnya. Republik Reptil berbicara simbol, namun belum sampai ke ranah abstrak-simbolis.

Ini adalah simbol ketika manusia tinggal sebagai citra. Pada titik inilah, kata Radhar, sesungguhnya manusia telah bermetamorfosis kembali pada realitas yang purba. Dalam kepekaan, dalam insting, hingga cara badan, akal, dan mental bereaksi dengan dunia mutakhir.

”Di dunia purba itu hanya hukum alam yang berlaku. Kerajaan besar yang mendiami bumi yang rata ini adalah kerajaan reptil. Tidak hanya sebagai potensi, reptilitas dalam diri ternyata kini sudah mewujud dengan segala karakter bawaannya yang khas; licik, individualis, eksibisionis, hingga predator. Manusia tidak hanya menjadi buaya, cicak, iguana, atau komodo, tapi juga melampaui kodrat purbanya: ia melawan hukum alam, hukum yang telah memberinya dua hal yang sangat desisif; waktu dan nasib,” ujar Radhar. Dia mempersiapkan naskah sepanjang 40-an halaman hingga penyutradaraan dan persiapan pentas selama 2 setengah bulan lamanya.

Konten yang kompleks dengan acuan tokoh yang banyak dan spesifik menjadikan lakon Republik Reptil sebagai lakon yang padat dialog. Apalagi sutradara seperti merangkum kemelut yang tengah berlangsung itu dalam dua jam durasi saja. Tak heran adegan demi adegan berurai dialog dan monolog.

Tentu latar belakang Radhar sebagai seorang sastrawan kenamaan di Indonesia membuat lakon ini kuat dalam kata-kata. Sebagai sutradara, Radhar memilih pemain yang artikulasi ucapannya baik, dan tentu saja kekuatan vokal yang tidak diragukan.

Gerak tubuh yang disesuaikan dengan adat tiap hewan juga ditampakkan. Termasuk juga suara cicak dan tokek yang kerap meramaikan panggung saat terjadi perdebatan. Khususnya di ruang sidang Dewan Per-ular-an Rakyat yang riuh dan chaos. Di sini Biawak-S yang memberikan kesaksian sambil menangis menunjukkan kebolehannya merangkak persis dengan reptil tersebut. Begitu juga bunglon dan kura-kura. Didukung tata rias dan kostum dengan corak serta warna reptil masing-masing, gerak tubuh para aktor ini memberikan keasyikan sendiri bagi penonton untuk menerka-nerka, baik jenis reptilnya, maupun pihak yang direpresentasikannya.

Alur Republik Reptil yang mengalir lambat memngungkap berbagai pola interaksi kelompok reptil tersebut. Semuanya kemudian dipertemukan di sidang tempat Belut yang menyamar sebagai reptil mengatakan pada penonton bahwa dirinya adalah perwakilan mata-hati rakyat di antara reptil-reptil predator tersebut.

Begitulah, belut pun akhirnya dihabisi karena terlalu jujur dan banyak mengungkap kebenaran pada penonton. Pada akhirnya, tetaplah kekuasaan yang tertinggi dan terkuat yang mengendalikan. Kekuasaan yang jauh di atas Komodo, yaitu T-rex, peran misterius yang sengaja tidak disosokkan dan tidak secara eksplisit didefinisikan. Dalam hal ini, sutradara sengaja memancing penonton untuk berpikir dan merenungi siapa di balik perihal gonjang-ganjing negara Indonesia.

Kalau pun pada akhirnya terasa kompleks, bisa dibilang bahwa Republik Reptil sebagai pertunjukan teater telah memfungsikan diri sesuai peranan, yaitu mengemukakan makna yang tidak denotatif. Karenanya sifatnya sangat asosiatif dan bisa diartikan sendiri-sendiri dengan bebas oleh penonton.

Termasuk juga menyangkut tokoh iguana (diperani Olivia Zalianty) yang sangat multitafsir. Di sini, iguana adalah perumpamaan dari seorang perempuan (penggoda) yang sangat berpengaruh sehingga bisa masuk ke segala lapisan dan mendapatkan akses khusus dari para petinggi untuk mencapai kepentingan-kepentingannya.

Iguana yang dibawakan Olivia dengan sangat meyakinkan ini memang mewakili bermacam-macam pihak yang selama ini tak tersentuh hukum atau pun publikasi. Bahkan, iguana bisa menyemarakkan hidup Cicak-A yang tengah ditahan karena tuduhan murahan. Sampai-sampai Cicak-A yang berada di balik jeruji penjara gelap pun bersabda dengan filosofis: ”Ternyata kegelapan juga bisa membawa kebahagiaan yang tidak bisa diberikan oleh siang,” begitu kata Cicak-A yang baru saja dijenguk oleh pujaan hati nan seksi, Iguana.

Selain iguana yang bermain apik, terutama di adegan bergenit-genitan dengan bunglon di sebuah bilik pijat -yang membuat penonton tertawa (jijik) terbahak, reptil-reptil lainnya juga menyuguhi penampilan prima akan penguasaan karakter masing-masing. Mungkin ini karena sebagian besar pemeran dalam Republik Reptil adalah pemain senior, seperti Toto Prawoto (Komodo), Andi Bersama (Cicak-C), Meritz Hindra (Biawak L), Joseph Ginting (Naga), Eko D. Zenah (Ular Kobra), Ikok Yudarria, Arie F. Batubara (Kura-kura), Bejo Keroncong (Cica-A), Ireng (Biawak -S), Denny Sanggul (Buaya), Khumaidi (Kadal), dan Siswandhi (Bunglon).

Pementasan yang dilangsungkan dua hari, Selasa (19/1) dan Rabu (20/1), ini juga melibatkan penata artistik Djoko Mulyadi untuk topeng dan kostum, Embie C. Noer dan Yasser Arafat untuk musik, Nobon dan RH Dwi Listyono untuk aristik panggung, Aidil Usman untuk tata cahaya, dan asisten sutradara Rick A Sakri, serta produser pelaksana Nkiss M Dahana.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 24 Januari 2010

No comments: