-- Afnan Malay
• Judul: Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia • Penulis: Prof Dr Satjipto Rahardjo SH • Penerbit: Genta Publishing • Cetakan: I, Juli 2009 • Halaman: xiii + 156 halaman • ISBN: 978-979-19598-4-1
Seusai menangani perkara yang melibatkan institusi penegakan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan, dan Polri, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD memberikan komentar menarik. Terobosan yang dilakukan MK dengan memperdengarkan kepada publik kaset rekaman penyadapan KPK itu merupakan operasionalisasi hukum progresif yang digagas Satjipto Rahardjo.
Satjipto Rahardjo adalah akademisi mumpuni yang paling intens membicarakan hal ihwal terseok-seoknya penegakan hukum kita. Ia menemukan sejumlah persoalan yang menghadang gerak pelembagaan hukum yang pro-rakyat. Yaitu hukum yang didefinisikannya sebagai perangkat tertib sosial, yang hanya mengabdi untuk keadilan dan bukan antek- antek peraturan. Satjipto sampai pada kesimpulan bahwa hal utama yang melatari kondisi seperti itu adalah akibat bekerjanya filsafat liberal.
Menurut dia, perjalanan panjang pembangunan hukum kita memperjelas bahwa liberalisme terbukti gagal menjawab pertanyaan hukum yang dibutuhkan. Itu terjadi karena secara sosiologis (perspektif yang setia digunakan Satjipto), masyarakat kita tumbuh dengan ikatan-ikatan relasional yang masih kuat sifat kolektivitasnya. Masyarakat yang belum terlepas dari nilai- nilai komunalisme. Karena itu, isu-isu keadilan yang menyertai merupakan hal-hal yang lebih dekat dengan problem bersama (rakyat) dan dibarengi isu kerakyatan yang melekat.
Pencapaian keadilan
Kolektivitas-komunalisme cenderung mudah membuat orang banyak tergerak untuk terlibat ambil bagian ketika rasa keadilan bersama terusik. Kasus gagalnya upaya kriminalisasi Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, adalah contoh paling representatif. Juga vonis Pengadilan Tinggi Banten terhadap Prita Mulyasari, konsumen (pasien) kesehatan yang kecewa.
Fakta konstruksi sosial masyarakat yang relatif masih lentur (komunal-kolektif) itulah yang dipersiapkan untuk berhadap-hadapan dengan hukum dalam kotak liberalisme: kaku, otonom, dan final. Kotak yang notabene sudah dirancangpolakan ketika para penegak hukum (hakim, jaksa, advokat) mencerap asupan ilmu pada fakultas hukum: minus empati dan komitmen. Karena itu, isu-isu keadilan yang terinternalisasikan hanyalah sekadar duplikasi yang tumbuh dalam masyarakat liberalistik yang sangat individual: sebatas persoalan orang per orang.
Pada masyarakat yang masih dibebani isu-isu kerakyatan (hukum berimplikasi kolektif), seperti yang kita hadapi, negara tidak mungkin dibiarkan melepaskan hukum sekadar pengabdi aturan belaka. Teks hukum mengabaikan konteks. Namun, keterlibatan negara yang dimaksudkan adalah usaha-usaha pencapaian keadilan (individual dan kolektif) sebagai tujuan hukum, bukan urusan monopoli (otoritas) negara.
Satjipto bahkan menyebut- nyebut bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia merupakan tujuan hukum. Sebab, keadilan yang bertumpukan negara sudah terdelegasikan otoritasnya secara kaku dalam peraturan-peraturan hukum. Keadilan hanya mungkin diraih, bagi Satjipto, bila institusi di luar negara tidak dianggap nonfaktor. Untuk itulah, Satjipto mengajukan apa yang disebutnya sebagai hukum progresif. Aturan untuk memecahkan beberapa penyebab kebuntuan yang dihadapi hukum kita: korupsi, komersialisasi, dan komodifikasi.
Pro-rakyat
Hukum progresif, menurut Satjipto, konstruksinya bermula dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Konsekuensinya, kita tidak bisa menerima hukum sebagai institusi yang final dan mutlak. Secara eksplisit dirumuskan bahwa hukum progresif merupakan koreksi terhadap hukum modern yang birokratis dan untuk membebaskan diri dari dominasi tipe hukum liberal.
Tipe hukum liberal dikritik Satjipto sebagai alat untuk bekerjanya kapitalisme. Sistem produksi kapitalis membutuhkan dukungan suatu tatanan sosial yang mampu melancarkannya. Tatanan sosial lama, yang tidak pasti dan tidak terukur, tidak bisa diharapkan mendukung sistem produksi yang kapitalis tersebut. Untuk itu diperlukan hukum yang positif, tertulis, rinci, dan jelas. Karenanya, bisa dijadikan penjamin prediktabilitas.
Tentu saja, prediktabilitas diperlukan untuk mendukung sistem produksi kapitalis yang bekerja berdasarkan prinsip efisiensi dan rasionalitas. Melalui modus kolonialisme, tipe hukum liberal merasuk ke mana- mana dan menjadikannya ikon universalitas: lengkap dengan asas, doktrin, serta teori pendukung. Padahal, realitas lain tidak mungkin terbantahkan, yaitu bahwa negara-bangsa masing-masing memiliki karakter sosial dan kulturalnya sendiri.
Terbukti, resistensi sekalipun, adaptif dilakukan Jepang. Mereka membuat konstruksi dalam keterdesakan untuk mengadopsi universalisme hukum (liberal). Menyikapi datangnya nilai-nilai dari luar, Jepang membuat formula omote dan ura. Ha-hal yang datang dari luar itu biasanya hanya bergerak di ranah omote dan tidak bisa masuk hingga ke ranah ura. Berkaitan dengan hukum formula itu adalah tatemae dan hone. Hukum dari luar hanya akan diterima sebagai tatemae (akseptasi formal), tetapi tidak sampai menjamah hone (nurani Jepang).
Buku Satjipto, guru besar sosiologi hukum Universitas Diponegoro, ini merupakan bacaan yang inspiratif dan provokatif. Sekalipun serba singkat, buku ini menguji teori-teori hukum untuk memperkuat gagasan tentang hukum progresif, yang disebutnya pro-rakyat dan bersifat membebaskan.
Tentu saja, peluang perdebatan masih sangat terbuka. Sebab, gagasan Satjipto, yang dibukukan ulang berdasarkan makalah-makalah yang disampaikannya dalam berbagai forum ilmiah ini, masih terkesan sangat fragmentaris. Bahkan, dalam melakukan pengujian teori-teori hukum di sana-sini, Satjipto tampak tidak terlalu ketat dan saksama. Beberapa teori atau pendekatan yang dirujuknya untuk mendukung hukum progresif sebetulnya tidak dalam visi yang sama. Karena itu, masih terbuka peluang penyempurnaan teoretik, termasuk oleh akademisi-akademisi hukum yang respek kepada Satjipto.
Dan, kabar baiknya adalah kita menemukan bukti sahih bekerjanya hukum progresif. Ketika gagasan Satjipto diterapkan, yang kita hadapi adalah optimisme perbaikan pelaksanaan hukum. Membumi dan melayani rasa keadilan rakyat, seperti yang telah ditunjukkan Mahfud MD melalui Mahkamah Konstitusi.
* Afnan Malay, Direktur Eksekutif Judicial Reform Institute (Jurist) Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 9 Januari 2010
No comments:
Post a Comment