Sunday, January 24, 2010

Juri ”Kahot”

-- Godi Suwarna*

DALAM hidup ini, sungguh saya tidak pernah bercita-cita menjadi dewan juri apa pun juga. Apalagi menjadi dewan juri lomba kesenian yang sering nian bikin ribut di akhir kegiatannya. Namun, takdir menentukan lain. Nyatanya, berulang kali saya menjadi juri macam-macam pertandingan kesenian. Mulai dari lomba joget modern antar-ABG, lomba kabaret, lomba busana, lomba mengarang, lomba dongeng, lomba merayu pacar, lomba teater. Dan, tentu saja, yang paling sering adalah menjadi juri lomba baca puisi.

Namun, akhir-akhir ini, menjadi juri baca puisi pun sungguh siksaan lahir-batin bagi orang tua macam saya. Sekali lomba, pesertanya bisa ratusan. Berjam-jam duduk mencangkung dan bergeming serupa patung Sphinx, dengan wajah sedingin es batu, menilai para peserta di pentas yang begitu cepat berganti-ganti orang, adalah siksaan tersendiri bagi konsentrasi dan tulang-tulang tua saya. Istirahat hanya pada waktu ”isoma”, itu pun cuma sebentar saja, tak jarang dilanjut dengan pegal dan terbungkuk-bungkuk sampai larut malam, dan bisa berhari-hari. Makanya, sekarang mah saya sering kali terpaksa menolak permintaan ngajurian baca puisi.

Lain dengan ngajurian lomba baca puisi yang selalu pakepuk, di lomba teater malah bisa ngajurian sedikit lebih santai. Biasanya, setiap kelompok diberi waktu unjuk gigi di pentas sekurang-kurangnya satu jam. Dewan juri jadi lebih banyak punya waktu untuk menilai, menimbang-nimbang. Selain itu, lampu auditorium selalu padam. Jadi, Yang Mulia Dewan Juri Teater tidak selalu jadi pusat perhatian dan ketegangan para penonton dan peserta, tidak selalu harus tampak berkerut kening tanda serius, atau pura-pura serius, seperti dalam lomba baca puisi. Lantaran duduk di tempat gelap itulah juri teater bisa sedikit mengendurkan konsentrasi, ngobrol dengan panitia, atau malah terkantuk-kantuk, bila penampil jauh dari harapan.

**

Setelah sering menerima order juri teater tingkat kampusan, Dadi P. Danusubrata, dedengkot Teater Sunda Kiwari (TSK), meminta saya menjadi juri Festival Drama Basa Sunda (FDBS) yang pertama, yaitu pada 1990. Sejak itu, selama FDBS dilaksanakan, sayalah yang paling sering nangkring, duduk di kursi gelap dewan juri, sejak pesertanya cuma belasan kelompok teater, dengan waktu penyelenggaraan yang tak lebih dari seminggu, hingga yang terakhir, 2008, yang pesertanya mencapai 70 group dari berbagai kota di Jawa Barat, dengan waktu pelaksanaan sampai 20 hari nonstop. Dengan senang hati saya selalu memenuhi permintaan TSK untuk ngajurian, lantaran bagi saya FDBS itu banyak pulunganeunana.

Dari tahun ke tahun jumlah peserta FDBS terus meningkat dengan amat meyakinkan. Ratusan anak muda Sunda, anggota dari puluhan kelompok teater di Jawa Barat, bahkan pernah ada peserta dari Banten dan Yogyakarta, berbulan-bulan mempersiapkan diri, berlatih habis-habisan untuk bertarung di gedung kesenian Rumentang Siang.

Pada saat pelaksanaan lomba, bukan cuma mereka yang berlaga di atas pentas yang wajib diamati. Persiapan masing-masing grup sebelum pentas menjadi sesuatu yang juga menarik untuk disimak; bagaimana anak-anak muda itu berdatangan dengan truk yang penuh bermuatan segala jenis barang untuk properti, atau berjejalan dalam mobil elf, lantas tidur bergeletakan di lantai, atau begadang di seantero Rumentang. Suasana yang penuh dengan semangat juang anak-anak Sunda dari berbagai kota, berbagai kalangan, berbagai latar belakang. Para ”mujahid” yang berjihad demi budaya warisan karuhun. .

Dengan ngobrol-ngobrol santai di luar acara lomba, saya banyak mendengar berbagai pengalaman peserta dalam mempersiapkan garapan. Ada seorang sutradara yang terpaksa menjual motornya, lantas menjual kalung emas istrinya untuk membiayai garapan. Amang Bunga Mawar, sutradara Teater Bolon, Tasikmalaya, setiap hari berkeliling kota naik sepeda belasan kilometer, dari madrasah ke madrasah, untuk melatih awak pentasnya. Padahal, Teater Bolon yang anggotanya memang masih ”bolon-bolon”, akan sulit bersaing dengan aktor dan aktris jalebrog. ”Kami tidak mengincar piala, kami cuma ikut ngareuah-reuah saja,” kata Amang Si Mawar Hitam.

**

Sayangnya, kegiatan yang mulia dan meriah macam FDBS ini selalu luput dari perhatian para tokoh dan pemerintah. Selama ini, untuk urusan dana, misalnya, ternyata masih bergantung kepada kebaikan hati orang perorangan, belum jadi kebijakan pemerintah, belum ada rengkolna dalam APBD atau apa. Padahal, dengan banyaknya kelompok teater pelajar yang menjadi patandang di FDBS, biasanya lebih dari setengah dari jumlah keseluruhan peserta, sudah sewajarnya apabila Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, melalui dinas BPBD (Balai Pengembangan Bahasa Daerah), turut serta menjadi penyandang dana.

Ketika FDBS 2008 tengah berlangsung dengan serunya, seorang Kadisbudpar Jabar saat itu, bukannya memberi dorongan, beliau malah berkomentar sangat miring di sebuah harian; bahwa teater Sunda sudah ketinggalan zaman, baik mutu pementasannya maupun isi naskah-naskahnya. Padahal, beliau cuma nongol saat acara pembukaan FDBS, tidak pernah sekali pun melongok orang berlomba. Keruan saja, pernyataan gegabah seperti itu sungguh sangat menggemparkan. Peserta, panitia dan sejumlah seniman simpatisan lainnya murang-maring di Rumentang. Dadi P. Danusubrata yang bergodeg dan berkumis lebat serupa Jante Arkidam, sampai meneteskan air mata, lantas tersedu-sedu, mungkin saking geram campur sedih yang mendalam.

Bisa dimengerti bila para mujahid itu berang. Komentar Kadis Budpar Jabar sungguh jauh dari kenyataan yang terjadi di arena lomba. Menurut pengamatan saya sebagai juri ”kahot” FDBS, justru dari tahun ke tahun, selain jumlah peserta yang semakin bertambah, kualitas garapan para patandang pun terasa terus meningkat. Pada setiap FDBS, berbagai wanda teater diperagakan oleh patandang, mulai dari yang realis sampai yang absurd, sesuai dengan pilihan naskah yang disediakan panitia, jauh dari kesan ketinggalan mode. Selain itu, predikat jawara tidak selalu diraih oleh jebolan sekolah teater, atau cuma oleh kelompok yang berdomilisi di Bandung. Dari tahun ke tahun, nama-nama asing, wajah-wajah baru, terus bermunculan sebagai yang terbaik; sutradara, aktor dan aktris, penata artistik, penata musik.

**

FDBS ke 11 akan dilaksanakan Maret 2010. Perhelatan dua tahunan TSK ini mungkin akan memecahkan rekor MURI-nya sendiri sebagai festival terlama di Indonesia. Puluhan grup sudah mendaftar, ratusan anak muda di pelosok Tatar Sunda mulai mengasah diri, sementara panitia pasti masih terpontang-panting mencari dana. Sebagai calon terkuat dewan juri, meski belum dilamar oleh TSK, saya pun mulai melakukan pemanasan; memperkuat daerah sekitar pinggang, agar pada saatnya nanti, posisi duduk puluhan hari tidak menjadi siksaan. Bila tiada aral melintang, saya siap memecahkan rekor ngajurian. Dengan FDBS yang akan datang, semoga pecah pulalah rekor honor ngajurian.

Sebagai calon kuat dewan juri, saya merindukan lagi bentuk pergelaran seperti yang diperagakan oleh kelompok Teater Serang dengan sutradara Dadie R.N., Juara 1 FDBS ke 3 tahun 1994. Pergelaran yang begitu kental dengan logat Serang-nya yang khas, matak dedengeeun. Penampil yang total menyerap budaya Sunda-Banten. Saya merindukan karya sutradara Yayan Suryanata alias Atep, Teater Lorong, Subang, yang selalu menggarap adegan-adegan dengan detail dan hidup. Menanti garapan Giri Mustika, sutradara Teater Toonel, yang apik serta cerdas menyiasati kejanggalan naskah. Saya masih penasaran dengan garapan sutradara TTM (Teater Tarian Mahesa) Gusjur Mahesa, pendekar asli dari Trowulan, Majapahit, yang pada FDBS 2008 telah mengalahkan semua sutradara jawara dari Pajajaran.

**

Tahun berganti. Kini, FDBS telah menjadi ajang ”berlebarannya” awak-awak teater di Tatar Sunda, telah menjadi tradisi untuk saling unjuk gigi, saling berbagi kabisa dan pengalaman. Setelah berlatih berbulan-bulan, setelah berlomba puluhan hari, mereka akan berkumpul dalam suasana duduluran pada malam penutupan festival yang meriah, yang selalu digarap dengan sangat mengesankan oleh TSK, lebih menarik dari pengumuman pemenang FFI (Festival Film Indonesia), meski dengan dana kurat-karet.

Semoga dalam FDBS ke 11 yang akan datang, tidak ada lagi seorang pejabat lancung nan lancang macam Kadis Budpar Jawa Barat, yang telah menyakiti hati sekian banyak anak muda pewaris budaya Sunda!***

* Godi Suwarna, penyair Sunda, juri.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Januari 2010

No comments: