-- Hardi Hamzah*
FILM 2012 yang kemudian menghebohkan itu ternyata boomerang effect dari perilaku komunitas keagamaan kita sendiri. Asumsi ini dibangun, berdasarkan sintesa kritis terhadap punahnya folklor-folklor yang berbau agama. Dalam agama Protestan, kita mengenal beruf. Beruf yang dikenal dalam sekte kalvinis adalah perwujudan dari keinginan untuk meyakini sesuatu yang fakta.
Demikian pula halnya dengan folklor-folklor yang bernapaskan islami. Di Sumatera Barat ada adang-adang ketika bayi akan ditidurkan, di NTB ada rantema, belum lagi di Aceh, Sumatera sampai dengan mocopat atau serat yang sering dilantunkan dalam kidung Jawa.
Kidung-kidung di atas merefleksikan nuansa keagamaan yang kemudian berpuncak pada motivasi beragama secara baik, dus tidak ritual semata. Dalam khazanah masyarakat Indonesia hebohnya film 2012, hanyalah indikator dari ketidakberhasilan kita mentransformasikan semangat agama dalam realita sosial, utamanya kaum muda.
Paradigma agama, lebih tampil dalam bentuk gincu, dalam arti pemoles yang sama sekali lepas hubungannya dengan amar makruf nahi mungkar. Itulah sebabnya ketika film 2012 diputar, kita seakan terkejut, bahkan melarang proses dunia teknologi dan komunikasi yang pada gilirannya menyumbat nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dalam perspektif ini, mau tidak mau kita harus berbicara tentang perbenturan antara Timur dan Barat. Perbenturan yang telah lama menjebak hubungan antara generasi muda dan dunia maya, dan hubungan antara norma-norma agama yang disosialisasikan oleh orang tua kita, atau ekstremnya lagi para ulama terjebak dengan dogma-dogma agama.
Agama sebagai variabel kontrol, ditransformasikan dalam semangat kebersamaan insidental, temporer. Tentu kemudian tidak menyentuh spirit motivasi untuk mengaktualisasikan agama sebagai ruang publik bagi kehidupan menyongsong kebudayaan dan peradaban baru menyusul millennium development goal (tujuan pembangunan milenium).
Yang terlihat dewasa ini, adalah boomerang effect dari sikap (attitude), perilaku (behavior), budaya (culture), dan peradaban (civilize) yang sama sekali merampas seluruh anasir-anasir kehidupan generasi muda.
Maka, yang muncul di permukaan "dialektika aneh". Paradoks antara agama sebagai budaya yang berbaur dan teknologi komunikasi dan merengkuh seluruh norma-norma generasi muda, di satu pihak. Di pihak lain kita tidak bergaya bertekuk lutut atas nama modernisasi yang ekuivalen dengan westernisasi, khususnya di kalangan kaum muda.
Ali Sariyati, pemikir Iran yang amat terkenal, itu menjelaskan kepada kita bahwa perlawanan terhadap Barat harus langsung berbenturan antara people power dan equipment (senjata). Sariyati, agaknya ekstrem dalam menghadapi pembentukan peradaban di masa depan.
Perbenturan antara Timur dan Barat, dalam kajian agama dan modernisasi yang kemudian kita harapkan menjadi suatu kebudayaan, tidaklah harus membuka ruang spiritual yang ekstrem, tetapi bagaimana mengadopsi beberapa aspek penting yang krusial bagi kebudayaan itu sendiri.
Sebagai contoh, folklor-folklor yang disinggung di muka di tulisan ini, bisa bersenyawaan dengan Timur dan Barat, dus tidak berbentur. Koreografer yang diintrodusir Jalaludin Rumi, kemudian tarian Aceh, Minang, bahkan toraja yang mengaktualisasikan menguatnya Timur atas Barat itu sendiri, manakala ditransformasikan secara signifikan, membuka kelonggaran sendiri untuk tumbuhnya harmonisasi budaya.
Artinya proses budaya dalam siklus spirit keagamaan, hendaknya kita mulai pula dengan menggali kembali folklor-folklor yang islami, tentu dengan memadukannya dengan komposisi daerah dan harmonisasi Barat, generasi muda kita tidak terlalu cakap dalam memilah-milah semangat westernisasi. Karena itu, pengenalan folklor-folklor yang islami dalam konteks harmonisasi antara Timur dan Barat, sangat boleh jadi akan memunculkan derajat kebudayaan yang sarat dengan semangat keagamaan.
Rasionalitas teologi ketimuran, sebagaimana yang diperkenalkan Abu A'la Almaududi dalam tulisannya What Islam Stand For, jelas memberi pelajaran bahwa ritme spiritual dalam terminologi Islam yang kafah akan mendorong inherenitas perilaku Islam dalm konteks realitas kebudayaan universal.
Sementara, Ibnu Rusd, juga tokoh pemikir yang spektakuler, menawarkan suatu etos perilaku dalam dimensi kebudayaan Islam, meski sayangnya buku-buku dibakar di Kordova, yang kemudian kita dipenetrasi oleh Alghazalian dan Wahabian yang kerap berbenturan dengan Barat.
Barat, dalam spirit human material, dapat pula kita ambil berbagai ornamen yang antisipatif bagi generasi muda, kendati ini juga membutuhkan filterisasi. Namun, soalnya sekarang; apakah kemampuan rais, harakah, dan beberapa kelompok yang menyebut dirinya sebagai pasukan Allah dapat secara cerdas mengantisipasi "ruang kerja" spirit westernisasi lewat budaya maya.
Tindak lanjut dari, tiang pancang agar tak terjadi perbenturan Timur dan Barat, yang patut kita aktualisasikan adalah folklor-folklor yang islami dan folklor-folklor agama lainnya, tentu yang mampu menyikapi dan menyifati derasnya arus kebudayaan Barat yang cenderung menggeser horizon generasi muda.
Keterjebakan kita, yang selalu saja merupakan folklor-folklor keagamaan, simultan pula menggeser ruas kehidupan anak bangsa ke arah yang lebih bersemangat untuk menstimulasi diri dalam larutan topeng-topeng kebudayaan Barat. Tentu, Barat tidak semuanya jelek, itu semua kita tahu, tetapi jika kebudayaan Barat kemudian memburamkan spiritualitas kita, bangsa yang pluralis ini perlu mengkaji ulang folklor-folklor Islam.
Episentrum utama sehingga tidak terjadinya perbenturan Timur dan Barat dalam konteks spiritual, untuk kemudian meneruskannya menjadi budaya dan peradaban. Sudah saatnya, kita meletakkan pilar pada rasionalitas folklor-folklor yang islami, tentu mulai dari embrio, identifikasi, dan pengkajian ulang folklor-folklor keagamaan. n
* Hardi Hamzah, Peneliti madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Science (Inciss)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Januari 2010
No comments:
Post a Comment