-- William E Aipidely*
Menyelami Manuver Taufik Kiemas (KOMPAS/ PRIYOMBODO)
• Judul: Jurus & Manuver Politik Taufiq Kiemas: Memang Lidah Tak Bertulang • Penulis: Derek Manangka • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama • Cetakan: I, 2009 • Halaman: xix + 175 halaman • ISBN: 978-979-22-5145-6
KIPRAH politik Taufik Kiemas yang biasa disapa TK adalah representasi politisi pragmatis. Sinisme semacam ini rupanya mendapatkan pembenaran dalam catatan Derek Manangka ini. Namun, benarkah jurus politik TK menggambarkan realitas itu? Ataukah sejarah politik Indonesia sedang disulam seorang TK?
Sebagai politisi yang pernah mengalami ”manisnya” penjara politik, ketertindasan keluarga, dan pengerdilan peran politik parpol semasa Orde Baru, TK tumbuh menjadi politisi kawakan. Ia melewati semua bentangan kekuasaan, dari Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Perjalanan panjang itu membuat jurus dan manuver politik TK dapat menjadi cermin pepatah ”tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan”.
Sekilas, kesimpulan seperti ini menimbulkan bias. Namun, Derek Manangka yang jurnalis cukup berhasil memotret jurus dan manuver politik TK yang terpapar dalam 36 kisah. Gaya bertutur Derek membantu pembaca menilai sosok TK secara lebih jernih.
Ketika politik dilihat sebagai arena perebutan kekuasaan, kepentingan, dan pengaruh, maka prestasi politisi dapat diukur dari ketiga diktum itu. Ketiga diktum ini sekaligus memberikan preferensi ihwal jurus dan manuver politik TK. Sepak terjang TK di belantara politik kontemporer Indonesia lebih kurang berkisah tentang pergulatan tersebut.
Perjuangan politik akan terasa memberikan warna jika meraih kekuasaan. Dengan kekuasaan, seorang politisi dapat menorehkan visi politiknya. Kelihatannya, TK dan Megawati Soekarnoputri, seperti dalam catatan Derek Manangka, sejak 1992 mulai menelusuri jalan itu saat mereka menjadi anggota MPR/DPR mewakili PDI. Pada 1992 itu pula berlangsung peristiwa politik yang krusial bagi perjalanan politik TK dan Mega, yakni kongres PDI untuk memilih ketua umum.
Menjelang pemilihan, dua mantan tokoh PSI—Thalip dan almarhum Subadio—mendatangi Mega dan TK agar Megawati maju dalam perebutan kursi ketua umum. ”Nak Mega, kalau bukan sekarang kamu maju, kamu tidak akan punya kesempatan lagi. Kesempatan itu tidak selalu ada.” Megawati akhirnya menjadi ketua umum. Sayang, Pak Subadio keburu meninggal dan tidak sempat menyaksikan Megawati menjadi Presiden RI (hlm 6-7).
Membujuk Mega
Masih dalam soal kekuasaan, tidak banyak khalayak yang tahu bagaimana peran TK membujuk Mega untuk menerima posisi menjadi wakil presiden (hal 83-84). Demikian pula ketika TK membujuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk meninggalkan istana setelah istrinya ditetapkan MPR menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Pada titik ini, hanya seorang politisi yang mempunyai kekuatan lobi mumpuni yang sanggup meredakan ketidaknyamanan Gus Dur terhadap Megawati. ”Gus Dur yang menjadikan Mega sebagai wakil presiden, berarti Gus Dur juga mempersiapkan Mega menjadi presiden. Logikanya, Gus Dur tidak keberatan kalau Gus digantikan oleh wakil,” ujar TK (hlm 101).
Dalam konteks politik sebagai arena kepentingan, TK mampu secara sempurna mempraktikkan sabda politik ini. Keberhasilan TK menjadi Ketua MPR periode 2009-2014 adalah bukti TK amat licin, piawai, dan intuitif dalam melakukan manuver politik. Bagaimana tidak! TK pernah menyamakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai jenderal yang berperilaku anak kecil. TK pula yang menjadi salah satu inisiator anggota DPR beroposisi dengan pemerintahan SBY dengan jurus ”gertakan dan provokasi”.
Dalam analisisnya, Sukardi Rinakit menyebutkan, taktik seperti ini hanya dimiliki seorang politisi yang amat paham dengan kultur politik Indonesia yang melodramatik (hlm ix). Memori kolektif khalayak belum juga kering, TK kembali berbuat ulah dengan berkoalisi bersama Partai Demokrat dan melupakan oposisi. Publik terkaget-kaget dengan jurus politik TK.
Dalam buku ini, seorang fungsionaris Partai Demokrat berkata, ”Kegigihan TK memperjuangkan obsesinya itu patut diakui dan diberi acungan jempol.” Sebuah apresiasi tentang kualitas TK sebagai politisi kawakan yang membuka ruang pada sejarah politik Indonesia. Mungkinkah TK akan memimpin MPR dan memecat Presiden Yudhoyono? Gonjang-ganjing politik akhir-akhir ini membuat kita menanti-nanti apakah intuisi politik TK akan berakhir di Sidang Istimewa MPR.
Kalau Akbar Tandjung disebut politisi yang memiliki pengaruh teramat kuat di Golkar, predikat semacam itu juga layak disandang TK. Di bab pengantar, Sukardi Rinakit menjuluki TK sebagai politisi yang bukan sekadar kembang kertas. TK adalah politisi yang memiliki pengaruh dan berakar di tubuh PDI-P.
Banyak fakta kita temukan dalam catatan Derek, antara lain, kisah perpecahan petinggi PDI-P dengan Megawati dan pengalaman pribadi Derek ketika mengikuti Musyawarah Kerja Nasional PDI-P di Bali (hlm xiv-xv).
Karakter personal
Seperti catatan Derek, TK ringan tangan dalam menolong orang lain dan tulus dalam berelasi. Sesungguhnya, inilah kekuatan TK, sekaligus salah satu jurus politik TK membangun karier politiknya. Pengaruhnya yang amat kuat di PDI-P sesungguhnya menegasikan kekuatan-kekuatan itu. Jurus-jurus politik TK sesungguhnya berakar pada karakter personalnya: baik hati, mudah percaya, loyal, pekerja keras, dan tangan yang suka memberi. Dalam bahasa Sukardi Rinakit, TK menghidupi diktum Plus-Minus Nol, sebuah diktum orang pergerakan, yang sesungguhnya harus dihidupi para politisi muda jika ingin bertahan dalam pusaran permainan politik.
Gaya hidup TK ini sempat diprotes putrinya, Puan Maharani. Namun, bagi TK, membantu orang sudah menjadi kewajiban karena hal itu sama dengan kita membuang apa yang ada pada kita. ”Orang perlu makan, tapi juga perlu buang kotoran. Dengan kita membuang, ada tempat kosong yang perlu diisi” (hlm 50).
Soal mengampuni, TK dan keluarga Soekarno mengalami pengalaman ditindas. Ia juga pernah dipenjara. Namun, bagi TK, tidak ada kata dendam.
Dari perspektif komunikasi pencitraan, buku ini sesungguhnya terlambat dipublikasikan. Kisah-kisah inspiratif TK dan Mega bisa menjadi sumbu dan kekuatan untuk menarik dukungan pemilih saat pilpres. Sayang, kisah-kisah ini tidak terpublikasi secara kuat.
Jika kita menelusuri jurus-jurus politik TK di buku ini, bukan tidak mungkin sejarah baru praksis politik kontemporer Indonesia sedang diukir oleh seorang Taufik Kiemas.
* William E Aipidely, Konsultan Komunikasi & CSR; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM
Sumber: Kompas, Minggu, 10 Januari 2010
No comments:
Post a Comment