Saturday, January 23, 2010

Teater DPR

-- Jakob Sumardjo*

DALAM pertunjukan teater, seorang mahasiswa yang menjadi raja dapat memaki-maki dosennya yang menjadi prajurit. Dan, Indonesia adalah sebuah panggung sandiwara.

Waktu kita selama ini habis disita oleh teater semacam itu, bagaimana seorang wakil presiden diperlakukan sebagai pesakitan oleh anggota-anggota DPR yang katanya terhormat. Teater itu hanya nyata selama di panggung. Setelah turun panggung, ganti dosen yang mencaci-maki mahasiswanya untuk waktu yang lebih lama, dan berdampak sistemik bagi mahasiswa itu.

Bedanya sangat jelas, seorang presiden, wakil presiden, menteri itu menjadi seperti dirinya melalui proses panjang. Dalam teater, seorang pemulung yang gagah dapat disulap menjadi seorang patih, tetapi seorang pemimpin bangsa tidak dapat disulap semacam itu, kecuali dalam sebuah kudeta. Seorang kolonel bisa tiba-tiba menjadi presiden.

Sebagian besar anggota DPR adalah nama-nama yang sebelum duduk di sana hampir tidak dikenal publik. Mungkin dikenal oleh organisasi partainya, tetapi jelas tidak dikenal secara luas di masyarakat. Dan, tiba-tiba, seperti pemulung yang menjadi patih, mereka mencecar wakil presidennya dalam pertunjukan teater bangsa ini. Mereka ini tokoh tanpa proses. Mereka adalah produk tanpa proses dan sebentar lagi mereka akan memanggil presidennya untuk diperlakukan sama.

Bangsa ini menyatakan dirinya sebagai bangsa yang ramah, santun, berbudi luhur, kenyataannya paradoks, kita bisa lebih barbar dari bangsa mana pun. Seorang presiden dan wakil presiden yang dipilih mayoritas rakyat, di Indonesia, dapat dibentak-bentak oleh wakil-wakil rakyat. Wakil rakyat dapat lebih berkuasa dari rakyat yang diwakilinya. Dalam dunia calo atau broker, hal ini lazim terjadi, pemilik barang justru dikuasai oleh wakil atau perantara si pemilik.

Negara ini adalah negara percaloan, negara ”markus” (makelar kasus). Kita sudah tidak memiliki etika kenegaraan. Ibaratnya seorang guru besar yang dijadikan bulan-bulanan mahasiswanya semata-mata karena dia mengajarkan metode ilmiah yang tidak lazim. Semata-mata karena cara berpikir yang berbeda. Ternyata bangsa ini masih menginginkan cara berpikir yang seragam untuk mengatasi semua masalah. Karya ilmiah yang salah hanya dapat diadili dengan karya ilmiah yang lain dan bukan dengan menganiaya profesornya.

Bangsa dan negara yang usianya hampir 70 tahun ini belum menemukan jati dirinya yang stabil. Kalah dengan Vietnam yang baru merdeka 30 tahun yang lalu karena mereka lebih stabil jati dirinya, sosialisme. Budaya bernegara telah mereka capai sejak berdirinya. Rakyat telah paham negara dan bangsa semacam apa yang akan mereka hidupi.

Indonesia adalah pendulum ideologi negara. Sejak tahun 1950, kita menganut sistem pemerintahan demokrasi parlementer. Presiden dan wakil presiden cuma simbol negara, mirip raja-raja Eropa. Eksekutif dijalankan perdana menteri yang ditunjuk simbol negara. Periode 1950-1959 memang DPR begitu besar kekuasaannya sehingga mampu meng-impeach perdana menteri. Itulah sebabnya, hampir dua tahun sekali kita ganti pemerintahan. Gajah bertempur dengan gajah dan rakyat terinjak-injak di bawahnya.

Kekacauan pemahaman

Mengalami zaman yang ”tidak nyaman” ini, maka sejak tahun 1959, presiden yang berkuasa, bahkan dinamakan demokrasi terpimpin yang berlangsung sampai zaman presiden Soeharto. DPR dan MPR mati kutu, tahun 1998 pendulum bergerak sebaliknya, kembali pada kekuasaan DPR yang nama-namanya dipilih rakyat seperti halnya presiden. Resminya masih menganut presidensial, tetapi praktiknya seperti kita lihat dalam teater berlakon ”Bank Century” ini. Kita tak usah kaget kalau muncul lakon-lakon lain yang lebih seru.

Hak angket DPR adalah warisan zaman parlementer Indonesia 1950-1959. Dalam zaman sentralisasi presidensial, hak ini sama sekali tak muncul. Tak pernah MPR dan DPR menanyakan kebijakan eksekutif negara, bahkan selalu menyetujui dan menyanjungnya. Siapa berani mengoreksi Soekarno pada zaman mereka? DPR dan MPR mati kutu dan jadi yes man. Setelah reformasi, bandul kenegaraan berayun sebaliknya, DPR menjadi no man. Itulah yang terjadi sekarang.

Apakah sebenarnya hak angket itu? Bertanya atau mendakwa. Dialog atau pengadilan? Kalau akhirnya hanya menyebarkan ketidakpercayaan rakyat kepada eksekutif, akhirnya memang impeachment presiden. Ini amat berbahaya melebihi bahaya zaman parlementer. Dulu yang dimaksulkan cuma perdana menteri yang setiap saat dapat diganti. Namun, sekarang ini kepala negara yang harus diganti.

Presiden itu harus dipilih kembali lewat pemilihan umum. Negara ini akan bubar karena pemilihan umum akan dilakukan setiap tahun karena begitu mudahnya menjatuhkan kepala negara seperti menjatuhkan perdana menteri zaman dulu. Dan, sumbernya adalah DPR yang penuh tokoh tanpa proses ini.

Angket memang menanyakan kebijaksanaan eksekutif yang dianalisis dapat membahayakan bangsa dan negara. Apakah hak angket juga meliputi kebijaksanaan keliru yang sudah dilakukan? Apakah ini bukan wewenang yudikatif? DPR adalah ”pengadilan” pre-factum, sedangkan yudikatif pengadilan post-pactum. Kekacauan pengertian hak angket dapat menjalar ke mana-mana akibat juga mengurusi dosa masa lalu person eksekutif.

Indonesia bukan negara teater, Indonesia negara dan bangsa beneran. Dibunuh di atas panggung itu sangat berbeda dengan dibunuh di luar panggung. Memaki di atas panggung bisa berbeda sekali dengan memaki di luar panggung. Jadi, mana panggung mana realitas?

* Jakob Sumardjo, Esais

Sumber: Kompas, Sabtu, 23 Januari 2010

No comments: