-- Suheri
MATA pelajaran sejarah umumnya kurang diminati siswa. Sejarah, yang berisi peristiwa-peristiwa, nama tokoh, tahun, dan data-data masa lampau dipandang kurang menarik dan membosankan.
Pernyataan itu merujuk pada kesimpulan yang dibuat Johannessen (2003) yang menyebutkan bahwa keberhasilan pembelajaran sejarah rendah karena kurangnya relevansi dan keterlibatan atau ketertarikan yang dirasakan oleh pelajar.
Dengan nada serupa, White (1994) menyatakan masalah pengajaran sejarah tidak menarik walaupun telah menggunakan berbagai metode, seperti tugas kelompok, diskusi, bermain peran, simulasi, dsb. Cara-cara pembelajaran itu tidak cukup berhasil karena pelajar kadang-kadang tidak berminat atau mengganggap pembelajaran tidak serius.
Kedua pendapat di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa ada dua faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya pelajaran sejarah. Faktor itu, yakni (1) relevansi fakta sejarah dengan kekinian siswa dan (2) sejarah dipandang sebagai pelajaran tidak menantang (baca: kurang bergengsi) bila dibandingkan dengan pelajaran matematika, fisika, dan sains. Pelajaran sains umumnya dilombakan secara nasional, bahkan internasional.
Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa ahli memberikan beberapa solusi yang salah satunya adalah menggunakan karya sastra (puisi, cerpen, drama, novel, dll.) sebagai sumber pendamping buku teks dalam pembelajaran sejarah.
Sastra dan Sejarah
Pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan karya sastra atau karya sastra sebagai bahan pembelajaran sejarah dapat memperdalam pengertian pelajar tentang peristiwa penting dan juga kemungkinan mereka memahami cara hidup dan pandangan hidup orang di masa lalu (Percy, 1989 dan Sanchez & Mills, 2005). Pengertian penting itu bukan saja data kognitif (nama, tanggal, peristiwa, dsb.) dari bahan sastra, tetapi lebih jauh, pengetahuan tentang manusia, kehidupan, dampak, akibat serta tingkah laku manusia tersebut (tokohnya) terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Sebab, tokoh dalam sastra mempunyai sifat yang dianut di masa itu. Dengan demikian, sastra juga merekam dan melestarikan budaya, sistem pemerintahan, dan perkembangan.
Menurut George dan Stix (2000), pelajar cenderung lebih tertarik dengan karya sastra. Mereka melalui sejarah sebagai kenyataan yang ada hubungannya dengan mereka, yang relevan dengan kehidupan mereka. Sejarah dalam konteks ini adalah berupa cerita, peristiwa, fakta sejarah yang ditulis oleh pengarang/penyair, yang luput dalam uraian buku teks.
Pelajar biasanya lebih mudah membaca dan memahami sastra dibandingkan dengan buku teks. Buku teks sering dikriktik karena memberikan versi sejarah yang bersih atau hanya mengemukakan hal-hal tertentu, seperti peristiwa, tanggal, dan pelakunya. Sastra lebih mudah dipahami karena sastra memperlihatkan unsur pribadi dan emosi yang mewarnai peristiwa sejarah sehingga terasa lebih hidup bagi pelajar karena mereka dapat merasakan tokoh yang tengah dipelajari.
Dalam pembelajaran sejarah berbasis sastra, harus dipahami bahwa karya sastra yang digunakan bersifat pendukung buku teks dan hanya dipilih karya sastra yang relevan dengan peristiwa sejarah. Juga, dianggap penting oleh guru dan memberikan pandangan dan pemahaman yang berarti sesuai dengan umur dan pengalaman siswa (satuan pendidikan siswa, SD, SMP, SMA). Pemilihan karya sastra harus dilakukan sebab kemampuan membaca pelajar di suatu kelas tidak sama sehingga guru harus mempertimbangkan faktor bahasa karya sastra yang dipilihnya.
Sejarah dalam Karya Sastra
Sejak zaman pergerakan kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, setiap peristiwa sejarah selalu direkam dan dicatat oleh penyair/sastrawan dalam karyanya. Menyebut beberapa contoh, tentang patriotisme Pangeran Diponegoro dilukiskan Chairil Anwar dalam puisi Diponegoro, masa revolusi fisik dicatat Toto S. Bachtiar dalam Pahlawan Tak Dikenal, Krawang-Bekasi (Chairil Anwar), Soerabaya (Idrus), Gerilya (W.S. Rendra), Keluarga Gerilya (Pramudya A. Toer), dan pengarang lain yang akan sangat panjang bila ditulis satu per satu.
Taufik Ismail merekam peristiwa G30S/PKI yang terkumpul dalam antologi puisi Benteng dan Tirani, Karangan Bunga merupakan puisi yang menyentuh setelah penembakan Arief Rahman Hakim. Era Orde Baru dikritik W.S. Rendra dalam kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi, begitu pula Taufik Ismail mencatat dalam antologi Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Soal penembakan misterius (petrus) yang marak di tahun 80-an, Seno G. Ajidarma melukiskannya dalam kumpulan cerpen Penembak Misterius. Kerusuhan di bulan Mei 1999, Rendra mengabadikannya dalam puisi Sajak di Bulan Mei 1999 di Indonesia.
Barangkali merupakan hal yang menyenangkan bila dalam pembelajaran sejarah guru menyertakan puisi/cerpen yang terkait dengan kompetensi yang tengah dipelajari.
Guru sejarah dapat meminta bantuan guru bahasa dan sastra Indonesia untuk memberikan masukan terhadap puisi-puisi yang terkait dengan peristiwa sejarah dalam kompetensi dasar. Namun, harus diingat bahwa puisi/cerpen dalam pembelajaran tersebut hanyalah sebagai pendamping buku teks (materi) sehingga pembelajaran sejarah akan menjadi PAIKEM (pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Semoga. n
* Suheri, Guru SMAN 1 Sukadana, Lampung Timur
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Januari 2010
No comments:
Post a Comment