-- Afthonul Afif
KOTA-KOTA besar di Indonesia sekarang ini sedang terancam oleh laju pertumbuhan penduduk yang semakin tak terkendali. Kita tidak bisa lagi menyebut pertumbuhan penduduk alami (faktor natalitas) sebagai satu-satunya penyebab karena faktor urbanisasi ternyata memberikan urunan yang jauh lebih signifikan.
Semakin vitalnya kedudukan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi sejak dekade 1980-an membuat urbanisasi melaju tanpa kendali. Kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, semakin kepayahan dalam memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganya. Ruang perkotaan yang semakin sempit ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata membuat kota-kota besar di Indonesia masih harus bergelut dengan kemiskinan.
Sebagai ruang aktivitas warganya, kota memiliki luas wilayah yang relatif tetap, bahkan berkurang. Artinya, tanah-tanah yang semula menjadi permukiman penduduk sekarang telah beralih fungsi menjadi pusat perkantoran dan perdagangan. Konsekuensinya, kota tidak mampu lagi menyediakan tempat hunian layak bagi penghuninya.
Hitungan di atas kertas menunjukkan bahwa Indonesia dalam waktu 25 tahun mendatang membutuhkan sekitar 1 juta hektar luas lahan guna menampung pertumbuhan penduduk kota yang semakin tak terkendali (Santoso, 2006:48). Hal ini mustahil jika dilihat dari kondisi ruang perkotaan yang semakin mengerut dan strategi pengembangan kota-kota sekarang ini yang semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar.
Disparitas yang menganga antara ketersediaan ruang perkotaan dan pertumbuhan penghuninya yang melaju tanpa kendali secara sosial berdampak pada munculnya fenomena kepadatan (density) dan secara individual akan menimbulkan fenomena kesesakan (crowding).
Jika kesesakan berlangsung dalam waktu yang lama, kesejahteraan subyektif individu (subjective well-being) akan terancam yang dapat berujung pada gangguan-gangguan psikologis, seperti stres dan depresi.
Adaptasi
Untuk tetap mampu bertahan dalam ruang sosial yang sumpek, secara naluriah individu akan mengembangkan mekanisme adaptasi berbasis sumber daya yang dimilikinya.
Dalam kajian psikologi lingkungan (environmental psychology) dikenal dua model adaptasi terkait dengan kepadatan spasial ini. Pertama, pendekatan teritorialitas. Pendekatan ini berorientasi pada pembentukan kawasan geografis untuk mencapai tingkat privasi optimal. Usaha yang lazim digunakan adalah dengan merekayasa pengesetan (setting) lingkungan atau pindah ke lokasi lain. Keterbatasan pendekatan ini adalah bersifat statis—tidak ekspansif—karena berbasis pada struktur ruang yang definitif.
Kedua, pendekatan keterampilan diri. Pertama-tama individu mempersepsi kesesakan sebagai ketidaknyamanan yang muncul dari kehadiran orang lain dalam jumlah yang tidak dapat dikontrol sehingga membatasi kebebasan geraknya. Dengan begitu, yang paling penting dari pendekatan ini adalah pengesetan kembali struktur kognitif individu agar muncul persepsi baru yang lebih positif terhadap kehadiran orang lain di sekelilingnya.
Kota yang sehat
Parameter umum yang dapat dijadikan acuan, apakah sebuah kota itu nyaman dihuni atau tidak, terletak pada sejauh mana kota tersebut memiliki daya dukung bagi aktivitas warganya. Semakin kota memiliki daya dukung yang tinggi bagi aktivitas warganya, maka kota tersebut dapat dikatakan sebagai kota yang sehat. Sebaliknya, jika sebuah kota itu mengisolasi dan menghambat aktivitas warganya sehingga tidak nyaman untuk dihuni, kota tersebut adalah kota yang sakit.
Kota yang sehat adalah tempat bermukim yang nyaman bagi warganya. Sebuah kota yang sehat memiliki visi pembangunan yang bertumpu pada pencapaian-pencapaian yang jelas dan terukur (Santoso, 2006:103). Pertama, memiliki standar kenyamanan (standard of livability) yang tinggi.
Kedua, memiliki manajemen perkotaan yang mampu menjaga keutuhan kawasan per kawasan. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan setiap kawasan sebagai langkah awal untuk menjaga keutuhan lingkungan perkotaan secara keseluruhan.
Dan akhirnya, ketiga, memiliki institusi khusus yang dapat memobilisasi sumber-sumber pendanaan pembangunan permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan sampai batas tertentu terlepas dari mekanisme pasar. Nah kini, tinggal kita melihat, bagaimana dengan keadaan kota-kota yang kita miliki? Adakah kota-kota itu memiliki semua visi tersebut? Atau jauhlah panggang dari api? Jauhlah kota dari pemanusiaan yang sejati.
* Afthonul Afif, Alumnus Psikologi Klinis Program Pascasarjana UGM; Menekuni Kajian Psikologi Perkotaan
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Januari 2010
No comments:
Post a Comment