Sunday, January 17, 2010

Polemik Industri Pertambangan

-- Yoseph Riang

Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dengan beberapa revisi, terdapat pelbagai usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dalam konteks Flores dan Lembata, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan memberikan izin usaha pertambangan kepada perusahaan asing dan domestik.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Belakangan, usaha tersebut menuai kritik keras dari berbagai kelompok masyarakat. Buku ini mendokumentasikan pelbagai reaksi, aksi, dan pertimbangan seputar masalah pertambangan tersebut. Pertanyaan pokok yang diajukan di sini, apakah keberadaan pertambangan di Flores- Lembata berbuah berkah ataupun justru kutuk, dirangkai sekaligus menjadi judul buku ini.

Secara implisit terdapat latar kesadaran umum dari para penulis di sini bahwa masyarakat dan pemerintah dalam era otonomi daerah hendaknya senantiasa mengarah pada idealisme kesejahteraan bersama. Caranya adalah dengan mengerahkan segenap upaya dan sumber daya yang dimiliki daerah. Tentu saja pembangunan tersebut mengabdi pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan lahir dan batin masyarakat.

Di tengah usaha menuju kesejahteraan tersebut, terdapat berbagai peluang yang disediakan oleh arus kebudayaan global dengan keterbukaannya di berbagai bidang. Globalisasi, dalam pelbagai refleksi, adalah kekuatan yang mengandung berbagai ambivalensi. Selain menyediakan peluang, di dalamnya terdapat pelbagai aspek yang melahirkan sejumlah tantangan terhadap usaha ke arah kesejahteraan otentik.

Komodifikasi

Salah satu bentuk tantangan yang menjadi ciri dominan kebudayaan global adalah persaingan bebas yang ditentukan oleh hukum dan rasionalitas pasar. Rasionalitas pasar berasal dari sistem kapitalisme ekonomi yang melahirkan ”masyarakat komoditas” (meminjam bahasa pemikir kritis, Marcuse), di mana seluruh hidupnya dipusatkan pada usaha memperganda keuntungan ekonomi. Akibatnya, pelbagai nilai direduksikan ke dalam nilai ekonomi.

Di sinilah terjadi proses ”komodifikasi”, yaitu menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang berfungsi mendatangkan keuntungan ekonomis, termasuk hal-hal yang bernilai secara budaya, mistik, atau transenden. Singkatnya, rasionalitas kapitalisme global mereduksikan segala nilai ke dalam satu aspek saja, yaitu ekonomi, dengan slogan tersirat ”Apa pun yang terjadi, bisnis yang utama”. Jalan bagi makna dan nilai menjadi tertutup, kecuali nilai ekonomi semata.

Dalam kerangka otonomi daerah dan usaha peningkatan kesejahteraan, globalisasi sering diserap dalam aspek yang paling destruktif, yaitu melalui pelbagai kekuatan kapital dan modal. Konsekuensinya, di satu sisi lahir persilangan antara kekuatan kapital dan modal dengan cita-cita politik ideal, yaitu kesejahteraan masyarakat. Namun, rasionalitas kapital dan modal hanya berpusat pada satu aspek, yaitu ekonomi. Karena itu, setiap cita-cita kesejahteraan politik yang hanya mengandalkan kapital dan modal secara rasional akan menghasilkan kesejahteraan ekonomis semata.

Bahkan, kini disadari bahwa kesejahteraan ekonomi yang disangka dapat dihasilkan oleh kapital dan modal justru menambah radikalitas kemiskinan. ”Tidak ada masyarakat berkecukupan yang dibawa oleh kapitalisme”, demikian filsuf dan sosiolog Jean Baudrillard mengkritik pemikir ekonomi JK Galbraith. Yang ada hanyalah ”masyarakat pertumbuhan”, di mana modal senantiasa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, kuantitas dan kualitas kemiskinan terus bertambah di antara proses pertumbuhan tersebut. Alhasil, miskin di Flores berarti masih bisa makan tiga kali sehari, sedangkan miskin di Jakarta berarti makan susah payah dua kali sehari. Karena itu, setiap cita-cita sosial dan politis tentang kesejahteraan yang hanya memerhatikan ”pertumbuhan ekonomi” tanpa mempertimbangkan pelbagai aspek lain dari kehidupan manusia sesungguhnya bersifat ideologis, utopis, dan ahistoris. Hanya merupakan retorika politik yang memuat rasionalitas komoditas, yaitu rasionalitas keuntungan semata bagi segelintir orang.

Polemik

Dalam kesadaran itulah buku ini ditulis. Selain sebagai bentuk kepedulian, keterlibatan dan partisipasi sosial politik para penulis juga dapat dilihat sebagai contoh destruktif kapitalisme global dalam konteks otonomi NTT. Terutama dalam ruang lingkup pembahasan yang khusus, yaitu persoalan industri pertambangan di Flores. Dengan mempelajari berbagai bukti dan fakta negatif mengenai usaha pertambangan di dunia serta mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan dan budaya, terdapat kesamaan nada dalam keseluruhan isi buku. Penolakan terhadap usaha pertambangan di Flores-Lembata.

Buku ini merupakan hasil investigasi Jaringan Advokasi Tambang Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan gereja Katolik melalui Komisi JPIC. Isinya, memaparkan pelbagai persoalan seputar investasi pertambangan di Flores dan Lembata. Semisal, persoalan lokasi, proses masuknya investor yang tidak diketahui masyarakat, dan kurangnya sosialisasi tentang industri pertambangan dengan berbagai dampaknya. Selain itu, juga konsekuensi hak asasi manusia yang diakibatkan oleh pencaplokan hak ulayat atas tanah.

Ditulis dengan gaya berpolemik (karena usaha pertambangan sendiri telah menjadi polemik di Flores-Lembata), buku ini dapat dipergunakan dalam pelbagai cara baca. Selain dapat dibaca dalam konteks ketegangan di antara ekspansi kekuatan kapital ke dalam dinamika otonomi daerah, juga sebagai dokumentasi berbagai berita dan aksi industri pertambangan Flores-Lembata.

Bagi yang ingin memahami persoalan pertambangan dalam konteks politik dan otonomi daerah, terdapat tulisan George Junus Aditjondro. Ia sekaligus juga menggagas peran gereja sebagai kekuatan civil society yang penting dalam konteks NTT. Baginya, ”Gereja perlu mengubah orientasi diakonia, dari ’diakonia palang merah’ yang menunggu jatuhnya korban ke ’diakonia palang pintu’ demi mencegah jatuhnya korban, dengan mendidik warga gereja terhadap dampak sosio-ekologis sektor pertambangan dari tahap eksplorasi sampai dengan produksi” (hal 323).

Mungkin, kelemahan buku ini ialah tiadanya tulisan dari pemerintah atau para pegiat tambang, sebagai pembelaan terhadap usaha pertambangan. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih bebas menilai. Namun, karena buku ini mengedepankan realisme tambang ketimbang idealisme pertambangan, analisis rasional ketimbang perkiraan sekilas serba optimis, fakta-fakta ketimbang janji-janji muluk, serta pertimbangan dari pelbagai aspek kehidupan manusia ketimbang aspek ekonomi dan keuntungan semata (yang juga terasa meragukan dalam konteks tambang), maka kelemahan ini dapat dipandang secara positif, yaitu sebagai bentuk kejelasan opsi perjuangan para penulis dan editor dalam polemik tambang, termasuk juga kejelasan opsi penulisan buku.

Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk?

tampak bukan saja soal berkah (aspek positif) atau kutuk (aspek negatif) dalam konteks pertambangan yang dapat ditemukan dalam buku ini. Kekayaan perspektif dan bidang kajiannya memperluas pemahaman tentang berbagai aspek sosial-politik yang lebih luas, yang dibuka oleh para penulis melalui masalah tambang.

* Yoseph Riang, Putra Lembata, kru KMK-L

Sumber: Kompas, Minggu, 17 Januari 2010

No comments: