[JAKARTA] Budayawan Frans Magnis Suseno mengatakan, feodalisme para pendidik menghambat perkembangan karakter anak didik. Jika pendidik membuat anak menjadi penurut dengan nilai-nilai penting, tenggang rasa, dan tidak membantah, maka karakter anak tidak akan berkembang.
Frans Magnis Suseno (Dok Sp)
"Kalau kita mengharapkan karakter, anak itu harus diberi semangat dan didukung agar ia menjadi pemberani, berani mengambil inisiatif, berani mengusulkan alternatif, dan berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Ia harus diajarkan untuk berpikir sendiri," kata Magnis pada sarasehan nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa di Jakarta, Kamis (14/1).
Menurut dia, orang yang mempunyai karakter adalah orang yang mempunyai keyakinan dan sikap, dan dia bertindak menurut keyakinan dan sikapnya itu. Keyakinan itu, kata dia, termasuk suatu kejujuran dasar, kesetiaan terhadap dirinya sendiri, dan perasaan spontan bahwa ia mempunyai harga diri, dan bahwa harga diri itu turun apabila ia menjual diri.
"Ia tahu apa itu tanggung jawab, dan bersedia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia bukan orang 'bendera' yang selalu mengikuti arah angin. Ia bisa saja fleksibel, tawar-menawar, mau belajar, dan berkembang dalam pandangannya," katanya.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh mengatakan, sekolah mulai dari TK sampai dengan perguruan tinggi memiliki peran penting sebagai agen penyebar virus positif terhadap karakter dan budaya bangsa. Tidak ada yang menolak tentang pentingnya karakter dan budaya, tetapi jauh lebih penting bagaimana menyusun dan menyistemasikan, sehingga anak-anak dapat lebih berkarakter dan lebih berbudaya.
Mantan Mendiknas Yahya Muhaimin mengatakan, pengembangan karakter bangsa lebih ditekankan kepada kegiatan internalisasi atau penghayatan dan pembentukan tingkah laku. [M-17]
Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 15 Januari 2010
No comments:
Post a Comment