Saturday, June 20, 2009

[Teroka] Negeri yang Suka Tertawa

-- Indra Tranggono

DRAMAWAN dan sineas Arifin C Noer pernah mengatakan: jangan sepelekan badut atau pelawak (joker) karena badut adalah ”raja kebudayaan”. Predikat itu bisa dimaknai: subyek yang memiliki otoritas kultural untuk membentuk dan membangun jiwa dan mental (karakter) masyarakat. Yakni, dengan estetika lawakan yang cerdas, visioner, dan elegan.

Memahami Srimulat bisa juga di dalam konteks cara pandang Arifin C Noer di atas. Grup lawak Srimulat kini memang sudah tidak berkibar lagi seperti pada tahun 1970-an hingga 1990-an. Namun, Srimulat tetaplah tonggak grup lawak di negeri ini. Grup yang didirikan Teguh Srimulat pada tahun 1950-an ini telah membuat Indonesia tertawa dan menyadarkan bangsa ini pada nilai kemanusiaan, seperti halnya yang terbaca dalam pesan Anwari dalam kutipan di atas. Dalam konteks itu, menurut Anwari, Srimulat telah menjadi subkultur (baca: kebudayaan khusus yang timbul karena faktor daerah, suku bangsa, agama, profesi, dan seterusnya).

Srimulat tampil di dalam masyarakat urban perkotaan dengan mengusung kultur Jawa Mataraman. Kata ”Mataraman” merujuk pada jejak kekuasaan Kerajaan Mataram Baru sejak era Hadiwijaya di Pajang Jawa Tengah, Panembangan Senopati di Kotagede Yogyakarta, Sultan Agung dan Amangkurat Agung di Pleret dan di Kerta Bantul, hingga Sunan Pakubuwono Surakarta dan Pangeran Mangukubumi/ Hamengku Buwono I di Yogyakarta.

Oase kaum urban


Kultur Jawa Mataraman, selain telah melahirkan kesenian klasik dan kesenian rakyat, juga kesenian lawak dengan genre dagelan mataram (Basiyo dan kawan-kawan) di wilayah Yogyakarta. Spirit dagelan mataram itu ”diadopsi” Srimulat secara populer. Memanfaatkan budaya pop/massa, Srimulat menemukan bahasa ungkap yang artikulatif dan komunikatif sehingga mampu membangun koneksitas yang intens dengan masyarakat urban perkotaan (Surabaya, Jakarta, Semarang, dan Surakarta).

Lawakan Srimulat menjadi oase di tengah ”gurun pasir” kehidupan kaum urban yang lebih lekat dengan kultur industri daripada kuyup dengan kultur agrarisnya.

Bagi masyarakat urban perkotaan yang berasal dari Jawa, Srimulat adalah ”bilik budaya” yang selalu perlu ditengok untuk melakukan (pinjam istilah Umar Kayam) konfirmasi nilai sekaligus pengukuhan: mereka merasa tetap menjadi bagian dari komunitas Jawa.

Adapun bagi publik di luar etnis Jawa, Srimulat menjadi wahana untuk rileksasi di tengah tekanan kehidupan kota yang keras. Publik Srimulat semakin meluas ketika Srimulat menemukan panggung barunya di televisi. Semula Srimulat tampil rutin di TVRI yang waktu itu menjadi satu-satunya media massa audio-visual; kemudian mulai merambah ke stasiun-stasiun televisi swasta.

Hilangnya tobong

Tobong atau gedung pertunjukan ketoprak atau lawak semacam Srimulat kini telah hilang seiring dengan makin menguatnya pragmatisme. Masyarakat kini semakin individual dan tidak terlalu membutuhkan kultur tatap muka secara langsung. Mereka lebih memilih internet dan televisi, termasuk untuk menyaksikan kesenian.

Seiring dengan keluarnya Srimulat dari dunia panggung maupun studio televisi, Indonesia tetaplah negeri yang suka tertawa. Bahkan untuk hal-hal yang konyol atau sengaja dibuat konyol. Buktinya, paket-paket acara komedi (tepatnya banyolan) cukup diminati penonton. Grup-grup lawak dari anak-anak muda pasca-Prambors DKI dan Bagito bermunculan dari audisi lawak televisi.

Juga muncul dagelan pop Extravaganza, Tawa Sutra, Opera van Java, Suami-suami Takut Isteri, dan lainnya. Pelaku atau pelawak-pelawaknya mencoba menggunakan resep: perpaduan antara humor/dagelan/kelucuan/kekonyolan dengan hal-hal yang sensasional, seperti tubuh wanita.

Lalu di mana Srimulat? Kelompok yang loyal pada jalur ideal sebuah lawakan itu? Secara pribadi pelawak-pelawak eks Srimulat mereka mungkin survive. Namun sebagai kekuatan kelompok yang menggetarkan dan historis, Srimulat kini tinggal kenangan.

Lawakan subversif

Indonesia memang masih menjadi negeri yang suka tertawa. Namun, kini tawa yang muncul benar-benar karena kekonyolan hidup sebenarnya. Bukan kekonyolan artifisial yang muncul karena kreativitas yang dihasilkan pelawak di atas panggung.

Karena itu, kritisisme dunia lawak sebenarnya adalah semacam tindakan ”subversif” para seniman lawak terhadap realitas formal, umum dan mapan yang ada di masyarakat. Tawa yang meledak pun tidak lagi sekadar impuls motorik yang fisikal, dan hanya berisiko mengguncang atau mengencangkan perut. Dalam lawak subversif itu ada gelombang energi yang diam-diam bergerak dan menjalar dalam pikiran, dalam hati, dalam kemanusiaan, sehingga orang bukan hanya mengalami katarsis, tetapi juga tercerahkan.

Krisis lawak

Saat ini, lawak(an) cenderung hanya menjadi komoditas industri yang kurang tertarik pada kritisisme. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kritisisme dalam kesenian, termasuk lawak, tidak lagi dibutuhkan karena sudah ”diwakili” pers yang bebas dan forum-forum lain. Sebagian masyarakat lain menganggap kritisisme dalam kesenian dibutuhkan dalam setting masyarakat.

Kebutuhan itu muncul karena kritisisme dalam kesenian memiliki pola ungkap estetik dan simbolik yang mampu menyentuh emosi dan kognisi publik. Hal itu lahir dari proses transformasi estetik dengan kemampuan atau daya gugah yang tinggi. Kapasitas semacam ini terbukti lebih kuat dan efektif ketimbang misalnya pernyataan-pernyataan sloganistik dari kalangan politik, akademis, atau aktivis sosial.

Maka, ketika politik macet dan hanya menjadi jagat ”jual-beli” kekuasaan, seni lawak perlu tampil dengan semangat dasarnya yang kritis, cerdas, visioner, dan elegan.

Seni lawak mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya. Pada pemuliaan manusia. Peran semua yang berkepentingan dibutuhkan. Dan mesti segera dimulai. Andakah yang pertama?

* Indra Tranggono, Cerpenis dan Pemerhati Kebudayaan, Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 20 Juni 2009

2 comments:

Bambang Haryanto said...

(1)

Yth. Mas Indra Tranggono
di Jogjakarta


Salam humor.

Semoga sehat-sehat adanya. Salam kenal. Salut dan terima kasih untuk artikel inspiratif Anda di kolom Teroka (Kompas, Sabtu, 20 Juni 2009). Ketika rasanya dunia komedi kita semakin sepi dan kurang menarik untuk dibicarakan, juga ketika komediannya lebih suka ngacir menjadi legislatif, maka artikel Anda tersebut menerbitkan kegembiraan bagi saya pribadi. Ujud kegembiraan itu adalah dengan menuliskan obrolan ngalur-ngidul ini.

Saya tergelitik pada isi alinea terakhir Anda. Kira-kira, menurut Anda, siapa yang pantas sebagai fihak "yang pertama" sebagai penyandang misi mengusung "seni lawak yang mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya ?" (Wah, ini alinea berat bagi saya).

Dalam pemahaman saya, ketika Anda sebelumnya telah menyebut acara ExtraVaganza dan Tawa Sutra dll-nya, bukan ? Apakah kehadiran mereka masih "kurang" dalam kacamata Anda sebagai "penyandang misi seni lawak yang mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya ?"

Bagaimana tentang sajian Effendi Gazali, Butet, Iwel dan teman-teman yang menghadirkan satir politik sejak 4-5 tahun lalu itu ? Mengapa Anda nampak belum berkenan menyebut-nyebut kiprah mereka ? Apakah mereka itu justru telah Anda golongkan sebagai fihak yang berhasil mengusung misi "seni lawak yang mampu menjadi medium yang akan mengembalikan publik pada esensi kemanusiaannya ?"

Atau justru mereka semua itu dalam kategori "belum" menurut pandangan Anda, sebab di akhir artikel Anda masih mengharapkan ada fihak mampu tampil sebagai "yang pertama" ?

Bukan menggugat Anda lho Mas Indra. Saya hanya ingin memperoleh pencerahan lebih komprehensif atas wawasan Anda mengenai hal ini.

(Berlanjut ke hal. 2)

Bambang Haryanto said...

(2)

Bagian 2 :

Dan maaf, Anda nampaknya fans berat Srimulat bila ditilik dari isi artikel Anda itu. OK. Saya juga fans Srimulat di tahun 80-an. Lalu, menurut visi Anda, apakah memang harus menghidupkan kembali lawakan model Srimulat itu lagi sekarang ini ?

Kalau benar, mungkin ini kabar bagus. Untuk Srimulat ini, kelompok penerbitan Jawa Pos sedang punya gawe upaya "menghidupkan" Srimulat tersebut. Bahkan saya pernah baca iklan mereka, upaya merekrut pelawak-pelawak baru untuk kelompok yang mereka sebut sebagai Neo Srimulat.

Di blog saya, Komedikus Erektus, saya telah ikut menulis usul-usil mengenai ikhtiar Jawapos menghidupkan Srimulat ini. Yang jelas, koran Jawapos, akhir-akhir ini juga terus memuat laporan acara Srimulat keliling di kota-kota Jawa Timur. Sekilasan, nampak tak ada yang "berubah" dari Srimulat Neo ini.

Bagi saya, semoga ikhtiar Jawapos itu sukses adanya. Lawak memang wajar untuk tampil secara beragam. Stevie Ray dalam bukunya Stevie Ray's Medium Sized Book of Comedy (1999) telah menulis apa yang ia sebut sebagai piramid komedi. Urutan terbawah sampai teratas : komedi fisik, obscenity & profanity, storyline, language, imitation, character contradiction dan satir.

Semua sajian komedi dari masing-masing tujuh tingkat piramid ini, tentu saja, layak untuk hidup guna memenuhi kebutuhan audiensnya masing-masing. Yang pantas dikemukakan lagi dan lagi terkait upaya memperindah dan meningkatkan kualitas isi lanskap komedi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang, menurut saya, adalah bunyi keprihatinan kronis seorang intelektual humor terpandang di Indonesia : Arwah Setiawan almarhum.

Saya tidak tahu apa cita-cita beliau itu pernah ia jalankan ketika masih hidup. Dalam bukunya, Humor Zaman Edan (Jakarta : Grasindo, 1997 : 379) ia berujar : "Betapa pun pentingnya pelawak atau komediwan untuk menyukseskan suatu pertunjukan komedi, tetapi kalau pertunjukan itu tidak didasarkan pada naskah cerita yang jenaka dan rapi, pertunjukan tersebut niscaya tidak akan dinikmati oleh para pemirsa….Keberhasilan suatu pertunjukan komedi memang bertumpu pada penulisan naskah komedi yang jenaka, rapi dan masuk akal…Untuk itu perlu diadakan lomba penulisan naskah komedi."

Mas Indra Tranggono sebagai intelektual di kancah kebudayaan, termasuk komedi, suatu saat semoga kerso berbicara dengan memakai "kacamata" Mas Arwah ini satu .

Sebagai contoh, kan stasiun-stasiun TV (utamanya TPI) selama ini hanya mencari pelawak, bukan ? Mengapa mereka tidak tertarik untuk "nurturing" para penulis komedi pada saat yang sama ? Sekadar info, saya juga pernah ikut audisi API-4 di Yogya (2007) dan gagal di seleksi pertama.

Sekian dulu, mas Indra. Mohon maaf bila obrolan saya ini hanya ulangan hal-hal yang telah Anda maklumi selama ini. Terima kasih untuk atensi Anda.

Salam humor,


Bambang Haryanto
Peminat humor/komedi di Wonogiri
HP : +6281329306300