Friday, June 26, 2009

"Tarian Terakhir", Idealisme yang Akhirnya Tergerus

"TARIAN Terakhir” sesungguhnya tengah memeriksa (kalau bukan membongkar) diktum filosofis dari kredo kesenimanan mendiang Suyatna Anirun yang berbunyi, ”Kita (orang teater) ini seperti para biksu, berkeliling jalan kaki ke mana-mana menyuarakan kemanusiaan sambil membawa cawan pengasihan untuk sekadar bertahan hidup.”

Begitulah pentas ”Tarian Terakhir” ini berawal. Sejatinya ia adalah kumpulan lima lakon Herry Dim yang kini sedang dalam proses penerbitan. Namun, di tangan sutradara Fathul A Husein, ia menjadi pentas teater yang reflektif.

Digelar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (25/6) malam, ”Tarian Terakhir” menjadi pentas teater yang berbeda. Penonton pun melebur bersama para pemain. Seolah apa yang tersaji di sana tak jauh dari hati kita, hidup kita, keseharian kita.

Bertutur tentang sepasang seniman tua (diperankan Mohamad Sunjaya dan Ine Arini) yang sepanjang hayatnya berlumur karya dan pengabdian tulus tanpa pamrih pada dunianya.

Maka selayaknya nasib seniman pertunjukan tari atau teater negeri ini, keduanya tergerus kodrat ketidakberuntungan duniawi atau materi yang parah, hingga nyaris meruntuhkan fondasi paling dasar dari totalitas ”keimanan seni”-nya.

Setelah diombang-ambing kebimbangan, seniman laki-laki tua merasa tak pernah bisa membahagiakan istrinya dan menyerah pada kemanusiaannya: merampok dan tewas diterjang peluru.

Pesan getir

Sebuah suguhan yang sederhana, tetapi berbeda. Fathul A Husein dengan kreatif mengambil bentuk-bentuk transformasi pentas yang lain, yang berani mencerabut kandungan naratif yang secara bersahaja masih menonjolkan realitas dramatik.

”Lakon ini dalam bentuknya yang tidak eksplisit justru menyembunyikan magma lokalitas budaya yang adalah cerminan diri kita sesungguhnya dan seyogianya menjadi destinasi kita untuk ’pulang’ kepadanya,” katanya.

Teks ”Tarian Terakhir” di tangan Fathul A Husein jadinya semakin mewadahi tumpang tindih lintas biografi dengan interteks penggalan sajak ”Pada Senja Pukul Lima” milik Frederico Garcia Lorca, penyair/dramawan yang ”dilenyapkan” oleh rezim fasis Spanyol.

Satu hal menarik disajikan dengan teknik semacam penyajian wayang kulit ketika seniman tua merampok, dikejar-kejar polisi, dan akhirnya menyerah tertembus timah panas. Adegan tersebut digambarkan di sebuah layar dan penonton pun melihat bayang-bayang.

Misteri naratif yang ditampilkan dalam fragmentasi gerak yang bersifat metafora bahkan simbolis itu membenturkan kita pada kenyataan. Ya, kenyataan sebuah kehidupan....(ELOK DYAH MESWATI)

Sumber: Kompas, Jumat, 26 Juni 2009

No comments: