DALAM sebuah esai yang ditulisnya, yang terhimpun dalam buku Setelah Revolusi tak Ada Lagi, esais Goenawan Mohamad yang juga dikenal sebagai ktitikus sastra yang mumpuni di negeri ini mengatakan, "puisi Sapardi Djoko Damono adalah suara-suara kegelisahan dan kesenyapan" (2001). Suara itu, yang muncul dalam bukunya yang pertama Dukamu Abadi, yang terbit pada akhir 1960-an itu, muncul kembali dalam bukunya yang diberi judul Kolam (2009).
Kedua buku tersebut diterbitkan dan diberi ilustrasi sampul buku oleh pelukis Jeihan Sukmantoro. Adapun yang membedakan buku pertama dan buku selanjutnya, dalam hal ini, Kolam, Sapardi mengalami kemajuan dalam hal mengolah kata, sehingga adakalanya pada satu sisi dalam antologi ini, Sapardi menggunakan kekuatan prosa untuk membangun citraan-citraan visual dalam mengekspresikan kegelisahan dan kesenyapan dengan berbagai variasinya.
Petikan puisi ini menunjukkan hal itu: Bayangkan seandainya yang kau lihat di cermin pagi ini/ bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit/ berawan, yang menabur-naburkan angin disela-sela bulunya// dalam petikan puisi yang diberi judul "Bayangkan Seandainya" itu, kita disuguhkan sejumlah imaji (daya bayang) yang secara visual wujudnya bisa kita lihat dan kita indra, yakni mu lirik (kamu), cermin, burung, awan, angin, langit, dan pagi yang menunjuk pada waktu.
Peristiwa ini sesungguhnya merupakan peristiwa sehari-hari, namun menjadi istimewa dan menyentak kesadaran kita, secara hermeneutika, ketika kita menyadari bahwa langit yang tebentang di atas kita itu sudah bukan langit sebuah wilayah yang bebas polusi. Bahwa keserakahan manusia, tidak hanya merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak alam dan lingkungan hidupnya. Kegelisahan Sapardi dalam konteks yang demikian adalah kegelisahan terhadap apa dan bagaimana alam ini akan berkembang, bila manusia secara terus-menerus merusaknya, bila demikian adanya maka kesenyapan yang muncul adalah kematian.
Hermeneutika memberikan kebebasan kepada kita untuk menafsirnya semacam itu, setelah kita terlebih dahulu memahami sejumlah imaji yang ditulis Sapardi Djoko Damono dalam puisi tersebut, baik secara teks dn konteks. Manusia dengan demikian tidak hanya larut berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri, tetapi dengan tradisi dan kebudayaan di mana ia tinggal. Dalam konteks inilah daya intelektualitas bekerja. Berkaitan dengan itu dalam pemahaman saya, ketika seorang penyair tengah menulis puisi, sesungguhnya ia tengah menafsir pengalaman puitik yang berkelebat dalam batinnya, yang kemudian divisualkan dalam berbagai bentuk pengucapan yang dipilihnya, dan kita sebagai pembaca sesungguhnya telah melakukan tafsir atas tafsir. Itu sebabnya Gadamer, salah seorang tokoh filsafat hermeneutika dari Jerman mengklaim bahwa hermeneutika sebagai sesuatu yang universal.
Puisi yang ditulis Sapardi Djoko Damono memiliki nilai semacam itu, meski pada awalnya merupakan pengalaman pribadi, nyatanya bisa menjadi pengalaman komunal, karena ada sinyal yang bisa ditangkap atau nyambung dengan pengalaman puitik yang tersedia di hati pembacanya. Dengan demikian, puisi tidak hanya mengandung nilai-nilai filosofis, tetapi juga nilai-nilai estetik. Kemampuan Sapardi dalam mengolah estetika memang tidak diragukan lagi, hal itu bersatu pada kemampuannya dalam membangun daya bayang, yakni citraan-citraan visual yang sulit kita duga, yang membuat kita terperangah dibuatnya.
Kutipan puisi di bawah ini menunjukkan hal itu: Daun yang membusuk di dasar kolam itu masih juga/ tengadah ke ranting pohon jeruk yang dulu melahirkannya./ Ia ingin sekali bisa merindukannya. Tak akan dilupakannya hari/ itu menjelang subuh hujan terbawa angin memutarnya perlahan..// Puisi yang diberi judul "Kolam Di Pekarangan" semula dengan indah berkisah soal daun proses kerinduan daun jeruk yang gugur, dan kembali merindukan sang ranting untuk terus tumbuh. Di dalam larik-larik puisi ini terkandung pula, satu peristiwa bagaimana ajal telah merengut daun jeruk. Apa sebab, karena Sapardi dalam puisi ini menggunakan majas personifikasi, yakni daun jeruk yang tengadah, dan merindukan.
Puisi ini, diakui atau tidak, bisa ditafsir secara religius. Keinginan manusia untuk senantiasa berdampingan dengan Yang Mahakuasa, dalam berbagai teks, konteks, dan zaman yang menyertainya selalu ada. Dalam puisi-puisi sufisme yang ditulis penyair Persia klasik seperti Rumi dan Sana`i, digambarkan dengan jelas dengan simbol-simbol yang mudah dicerna pada satu sisi. Tetapi, tidak demikian dengan Sapardi, kerinduan itu disembunyikan dalam majas, dan simbolisasi manusia yang berkehendak itu digambarkannya dengan daun jeruk. Ini membuktikan, Sapardi Djoko Damono memang bukan penyair kemarin sore. Ia sudah malang melintang, ia mampu mengangkat pengalaman yang luput kita perhatikan, jadi pengalaman yang mengejutkan, dan universal sifatnya.
Bahasa dengan demikian dalam kehidupan manusia dewasa ini, tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk mentransformasikan buah pikiran, gagasan, maupun perasaan-perasan estetik dalam sebuah teks yang dituliskan, baik berupa karya sastra, esai, maupun teks iklan, yang di dalamnya mengandung citra, majas, metafora, dan simbol. Adapun yang disebut teks dalam kaitan tersebut harus merupakan teks yang bertalian maknanya, yang adakalanya disebut juga sebagai sintaksis teks.
Dalam konteks tersebut, imajinasi mempunyai peran yang cukup penting dalam merealisasikan gagasan, ide, dan perasaan estetik yang ditulis dalam bentuk karya sastra maupun teks-teks lainnya dengan tujuan agar si pembaca (penerima) bisa memahami dan menangkap dengan cepat buah pikiran, gagasan, perasaan-perasaan estetik yang dipancarkan oleh teks yang dibacanya dengan penuh gairah.
Sebagaimana dikatakan H. Tedjoworo, secara umum yang dimaksud dengan istilah imajinasi adalah "daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindaraan)."
Imajinasi adalah daya untuk membentuk gambaran. Maka gambaran yang dimaksud adalah gambaran yang tengah atau telah dibayangkan di dalam kepala untuk kemudian dikonkretkan dengan media seluas-luasnya. Jika ia berkaitan teks sastra atau teks-teks lainnya, dalam hal ini teks iklan, maka gambaran itu diwujudkan dengan lewat bahasa figuratif (majas), simbol, dan metafora ditambah gambaran visual (untuk iklan).
Daya membentuk gambaran itulah pokok soal dalam imajinasi. Oleh karena itu, proses mengimajinasikan selalu merupakan proses membentuk gambaran tertentu, dan itu terjadi secara mental, yang di dalamnya melibatkan persoalan-persoalan psikologis agar si pengirim dan penerima imajinasi bisa sejajar dalam gelombang yang sama hingga transformasi ide, gagasan, perasaan-perasaan estetik bisa terkomunikasikan dengan baik. Puisi yang ditulis Sapardi Djoko Damono dalam buku terbaru ini, ada dalam konteks yang demikian. Paling tidak dalam halaman yang serba terbatas ini, begitulah saya menafsir Sapardi Djoko Damono, penyair tua yang hingga kini menulis puisi, sebagaimana Goenawan Mohamad, dan Rendra. (Soni Farid Maulana/"PR")***
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 14 Juni 2009
No comments:
Post a Comment