SIAPAKAH cendekiawan? Siapakah intelektual? Merekalah orang yang ahli di bidang ilmu tertentu tetapi keluar dari ranah kepakaran mereka dan mendarmabaktikannya untuk kepentingan yang lebih luas. Merekalah intelektual cendekiawan yang tidak terbenam dalam menara gading, tetapi keluar dari kepompong, kata Antonio Gramsci. Merekalah yang membaktikan hidupnya untuk berpikir demi kepentingan umum, tulis Vaclav Havel. Merekalah kelompok inti dalam masyarakat yang menjalankan etos mesu budi atau asketisme intelektual, kata Sartono Kartodirdjo. Bagaimana cara ilmuwan-cendekiawan memberikan sumbangan kepada masyarakat? Sebagai ilmuwan, cendekiawan membuat analisis, melihat masalah secara holistis, tak berpihak, semata demi kepentingan orang banyak, menawarkan solusi, termasuk mendudukkan persoalan. Mereka menjadi pendamping masyarakat yang bingung oleh perubahan cepat dunia sekeliling.
Harian umum Kompas sejak awal terbitnya, 28 Juni 1965, menyediakan halaman khusus untuk penulis luar. Ruangan ”demokratis” itu dimaksudkan untuk mendorong berkembang suburnya bunga di kebun perdebatan secara intelektual. Oleh karena itu, visioner sifatnya, bersemangat serba terbuka-pluralistis sebagai salah satu nuansa demokratisasi.
Para penulis berkesempatan mengeksploitasi tidak sekadar sebagai intelektual pada bidang keahlian atau disiplin ilmu, tetapi juga sebagai cendekiawan yang meramaikan perjalanan demokratisasi Indonesia.
Para kolumnis Kompas tak hanya dari kaum intelektual yang berasal atau memperoleh brevet kesarjanaan. Dengan memuat pemikiran mereka, Kompas memberikan tempat bagi terealisasinya tugas kecendekiawanan.
Di samping mereka yang aktif, produktif, dan setia sebagai kontributor, Kompas menghargai ilmuwan-cendekiawan yang setia, asketis, serta produktif menekuni dan mengembangkan pemikiran untuk perkembangan keilmuan dari waktu ke waktu, dalam kurun waktu yang panjang.
Cendekiawan kelompok kedua itu relatif kurang dikenal. Mereka melakukan mesu budi, ulah asketisme intelektual seperti yang ditunjukkan tokoh semisal Mahatma Gandhi, Mohamad Natsir, dan IJ Kasimo, sekadar menyebut tokoh. Mereka politisi yang keluar dari arus utama berburu, melanggengkan dan melestarikan kekuasaan. Apa yang mereka tunjukkan adalah mengurus dan me- manage kekuasaan untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Mereka melaksanakan apa yang disebut Eddy Kristiyanto OFM (Sakramen Politik Mempertanggungjawabkan Memoria, Lamalera, 2008) sebagai sakramen politik.
Kesempatan merayakan HUT dipakai untuk bersyukur dan berterima kasih. Kompas memberikan apresiasi dengan nama Penghargaan Kompas bagi Cendekiawan Berdedikasi. Pada HUT ke-44, penghargaan diberikan kepada Kartono Mohamad, Liek Wilardjo, Maria Sumardjono, Saparinah Sadli, dan Sjamsoe’oed Sadjad. Penghargaan tahun lalu diberikan kepada MT Zen, Sayogyo, Thee Kian Wie, Soetandyo Wignyosoebroto, dan Satjipto Rahardjo. (STS)
Sumber: Kompas, Kamis, 25 Juni 2009
No comments:
Post a Comment