-- Suhatri Ilyas
BAHASAN kali ini berkenaan dengan ketelitian atau ketepatan kita dalam berbahasa. Dalam hal ini, faktanya tak jarang kita menggunakan unit-unit bahasa yang sesungguhnya salah secara kaidah. Tetapi, karena digunakan terus-menerus dan sesama pengguna bahasa telah saling paham maksud (makna)-nya, kasalahan itu seperti telah jadi kebenaran. Artinya, kesalahan itu terus digunakan sebagai suatu kebenaran.
Kasus ini menjadi topik kali ini karena juga terjadi di media massa, apalagi di masyarakat. Bahasan kasus ini memang terutama terinspirasi dari kisah ketika saya pergi ke sekolah anak saya dalam mengantarnya. Salah satu orangtua yang juga mengantar anaknya ketika itu bertanya, "Bapak itu (menunjuk ke salah satu guru yang lewat tak jauh dari tempat kami berdiri) mengajar apa, sih?" Yang ditanya menjawab, "Oo mengajar matematika!"
Selanjutnya, muncul kalimat-kalimat yang kira-kira berbunyi, "Saya kira dia mengajar kimia", dan lain sejenisnya. Pokoknya, bapak itu mengajar matematika, mengajar kimia, dan lain-lain. Saya sebagai pemerhati bahasa-yang entah mengapa sensitif apabila menemukan hal seperti ini-sesungguhnya agak kebingungan juga menyadari hal itu. Betapa tidak, "Bapak itu mengajar kimia, Bapak itu mengajar matematika".
Awalan /me-/ dalam bahasa Indonesia bisa berarti 'melakukan atau memberikan' sesuatu yang menjadi kata dasar imbuhan /me-/ tersebut kepada objek yang ada dalam suatu kalimat sehingga si objek-dalam hal ini kata dasar /ajar/, jadi /mengajar/-menjadi "bisa" atau "lebih bisa/pintar". Jadi, kalau "mengajar matematika" mestinya berarti "matematika" menjadi bisa atau lebih pintar'. Nah.
Ini dapat kita bandingkan dengan kata kerja lain yang menggunakan awalan /me-/, seperti /membawa/ dan /memukul/. Karena kata kerja ini berarti 'melakukan perbuatan terhadap sesuatu', maka kalimat ini menghendaki adanya objek (kalimat transitif). Jadi lengkapnya kalimat ini mestinya 'membawa buku' atau "memukul beduk'. Sama seperti halnya 'mengajar' itu, mestinya ada objek mengajar, yaitu "siswa", jadi harusnya mengajar siswa kelas tiga, misalnya.
Dengan demikian, kalau ingin mengetahui pelajaran apa dalam pertanyaan sang ibu tadi, harusnya adalah "Bapak itu mengajarkan apa?" Jawabnya adalah bapak itu mengajarkan matematika, bukan "Bapak itu mengajar matematika". Rasanya tak mungkin si bapak guru bisa membuat sang matematika jadi bisa atau jadi lebih bisa.
Ini dalam konteks linguistik (ilmu bahasa) kita berbicara dalam konteks semantik yang berkaitan dengan arti akhiran /kan/ dalam kata kerja yang digunakan dalam kalimat. Dalam hal ini, ada ada dua, yaitu kausatif dan benefaktif (menghendaki adanya objek menjadi seperti kata predikat dan menghendaki adanya objek kedua atau objek yang diuntungkan). Contohnya, (kausatif) Perbuatannya mengotorkan lembaga yang dia pimpin; (benefaktif) Uang itu dia gunakan untuk membelikan rumah buat istri keduanya.
Nah, dalam konteks bahasa pers, kehadiran /kan/ sering diabaikan. Padahal, jika ada objek kausatif (menjadi seperti kata dasar predikatnya) atau benefaktif (ada objek kedua yang diuntungkan dalam kalimat tersebut), seharusnya kehadiran /kan/ itu wajib. Jadi, tidak bisa 'Bapak itu mengajar matematika', tapi 'Bapak itu mengajarkan matematika'; atau bukan 'Pejabat itu membeli rumah untuk istri gelapnya, tapi 'Pejabat itu membelikan rumah untuk istri gelapnya'. Ya, kan?
* Suhatri Ilyas, penyelaras bahasa
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 6 Juni 2009
No comments:
Post a Comment