-- Veven Sp Wardhana*
BUTET Kartaredjasa, Raja Monolog van Jogjakarta itu, bisa jadi sedang berada dalam situasi sebagaimana yang dialami Hamlet, Pangeran Denmark, terutama seusai berpentas-monolog dalam acara Deklarasi Pemilu Damai 2009. Dalam acara gelaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu malam, 10 Juni 2009, di Jakarta itu, Butet Kartaredjasa menggelontorkan berbagai peristiwa faktual dan aktual sebagai sebuah kritik: tenaga kerja wanita Indonesia yang pergi ke luar negeri dengan wajah berseri, tetapi balik ke Tanah Air naik peti mati; pesawat militer yang tanpa ditembak pun bakal jatuh sendiri; kesalahan daftar pemilih tetap ala KPU yang konsisten terus-menerus tak disengaja; pengadilan koruptor bagi hanya bekas menteri; juga lembaga survei yang mirip resto cepat saji: yang bisa menyediakan menu popularitas nomor satu, menu menang satu putaran juga bisa—semua sesuai ongkosnya. Ringkasnya: yang dikemukakan Butet bisalah dianggap sebagai ketidakberesan manajemen pemerintahan.
Sementara Hamlet—dalam repertoar Hamlet karya pujangga Inggris William Shakespeare (1564-1616)—mengundang para aktor keliling untuk mementaskan The Murder of Gonzago di hadapan Raja Claudius dan Permaisuri Gertrude. Dengan pentas sandiwara yang dijuduli sendiri, The Mousetrap, Hamlet bertujuan: ”menyadarkan petinggi negeri akan adanya ketidakberesan”—lepas bahwa ketidakberesan itu dilakukan Claudius-Gertrude, masing-masing paman dan ibu kandung Hamlet sendiri.
Saya tak hendak mengulang klise bahwa melalui kesenian bisa disampaikan kritik, sentilan, sindiran, pasemon, dan sebangsanya atau dalam bahasa pengagung sejati sakralisasi karya seni: kesenian bisa ditunggangi kritik dan pasemon dan sentilan, tetapi saya hendak menegaskan bahwa kesenian—termasuk yang bermuatan kritis—sangat sah untuk ditampilkan dalam lingkungan istana atau peristiwa kenegaraan. Sandiwara keliling dalam kisah Hamlet itu diundang bermain dalam ruang kerajaan, bukan sebatas di hadapan raja penguasa yang ”turun” ke gedung kesenian atau macam presiden dan/atau wakil presiden—lengkap dengan jajaran kabinet dan pasukan pengawal—yang ”berkenan” datang ke gedung bioskop sinepleks menyaksikan Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan lainnya.
Maknanya, tak ada yang salah dengan lokasi pentas kesenian. Juga tak ada yang perlu dipermasalahkan dengan pentas monolog dalam ”acara kenegaraan” Deklarasi Pemilu Damai 2009—di gedung Hotel Bidakara yang juga kerap dipakai untuk perhelatan perkawinan. Dengan demikian, menganggap pentas monolog Butet Kartaredjasa tidak empan papan alias tidak tahu tempat—terjemahannya: pentas seni harus di gedung kesenian, pentas politik harus di panggung politik, tak bisa keduanya dipertemukan—jadi mengingatkan pada pola politik orde Soeharto yang tak membolehkan adanya muatan politik dalam dakwah atau dalam khotbah jumatan di masjid atau khotbah Minggu di gereja hanya diperkenankan muatan keilahian. Dunia jasmani harus dipisahkan dari ukhrawi, dunia keagamaan harus sungguh-sungguh dipilah dari dunia politik, hablun minannas tak boleh berkelindan dengan hablun minallah....
Dengan begitu, logikanya: jangan ada buku sastra—apalagi yang model-model besutan Rendra, Wiji Thukul, N Riantiarno—dalam rak buku di Istana Negara; atau jangan nyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dan Harry Roesli di panggung tujuhbelasan—sebetapapun itu adalah lagu Jangan Menangis Indonesia, yang sangat menyayat lantaran sebegitu prihatinnya Harry Roesli menatap banyaknya tragedi di negeri ini.
Tak ada yang salah dengan kesenian dalam istana atau acara keistanaan mestinya. Merujuk peristiwa monolog Butet Kartaredjasa dalam Deklarasi Pemilu Damai 2009 (kok tak disebutkan Deklarasi Pemilihan Presiden Damai 2009, ya?), yang mungkin memancing masalah adalah karena pentas itu diminta oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, salah satu kandidat presiden-wakil presiden. Bukan tim Mega-Prabowo yang salah mengorder, melainkan kitalah yang justru salah karena menganggap langkah Butet yang melayani ”monolog pesanan” itu sebagai sesuatu yang salah; apalagi mengingat beberapa hari sebelumnya Butet juga melayani ”monolog pesanan” tim pasangan kandidat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, lengkap dengan brifingnya.
Jika dikabarkan tim Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto tampak tertawa dan bertepuk tangan—tak sebagaimana kelompok SBY-Boediono—saat Butet bermonolog, setidaknya ada dua kemungkinan musabab. Pertama, tim Mega-Prabowo tak paham bahwa diri mereka pun kena sasaran sentilan monolog tersebut ketika Butet menyatakan bahwa di zaman Soekarno, Pancasila digali, di zaman orde baru Pancasila dimanipulasi, di zaman reformasi Pancasila dianggap basi, dan sekarang Pancasila sepertinya tak diamalkan lagi. (Pemerintahan Presiden Megawati berada dalam era reformasi!). Jikalaulah kelompok Mega-Prabowo bukannya tidak paham, tentulah mereka punya hati yang lapang untuk disindir disentil di-semon-i. Sama persis dengan sindiran Butet terhadap pakaian Prabowo yang diinginkan dan dikatakan Prabowo sendiri: ”Pakaian pemimpin itu tidak berbeda dengan pakaian sopirnya atau rakyatnya,” yang kemudian disambung Butet: seharusnya bukan saja pakaian pemimpin yang tak beda dengan pakaian rakyatnya, ”akan lebih bagus lagi kalau ’nasib rakyat’ juga sama dengan ’nasib pemimpin’-nya”.
Kemungkinan kedua dari tak terbukanya senyum kelompok SBY-Boediono atas monolog Butet adalah: adanya anggapan bahwa Butet yang sudah dibrifing tim SBY-Boediono hendaknya tidak menyuarakan (suara) kandidat pesaing. Artinya, ini tak sebatas adanya sangkaan tunggal bahwa karena yang ”memesan” Butet adalah tim Mega-Prabowo pastilah sentilannya hanya ditujukan untuk pesaing Mega-Prabowo. Lebih tegas lagi, ini serupa dan sekaligus sama dengan kasus artis dangdut yang sudah diorder untuk kampanye partai politik tertentu dianggap haram jika juga melayani order naik pentas kampanye partai politik lain dan lawan. Itu sebabnya dulu Raja Dangdut Rhoma Irama senantiasa dihalangi perizinan pentasnya oleh jajaran birokrasi orde Soeharto karena pernah berpentas untuk kampanye Partai Persatuan Pembangunan, lawan politik Golongan Karya, partai pemerintah.
Persoalannya, akhirnya, bukan pada sah tidaknya Butet Kartaredjasa atau umumnya seniman berpihak pada salah satu kandidat, melainkan: ketika seniman bisa dan mau ”dipesan” apakah itu juga identik mereka bisa dan mau ”dikuasai” oleh pihak sponsor. Pujangga Jawa, R Ng Ronggowarsito, pun ternyata tetap melakukan kritik yang monumental amenangi djaman edan yang juga ditudingkan kepada penguasa atau kerajaan yang mem-maecenas-i hidupnya.***
* Veven Sp Wardhana, Senior Advisor di Lembaga Kerja Sama Teknis Jerman (GTZ) untuk Good Governance in Population Administration (GG PAS)
Sumber: Kompas, Minggu, 21 Juni 2009
No comments:
Post a Comment