Friday, June 26, 2009

Australia, Imigran, dan Studi Indonesia

-- Wim Tangkilisan

TERJADI kerusuhan di Melbourne, ibukota Negara Bagian Victoria dan di Sydney, New South Wales, dua kota terbesar di Australia. Kerusuhan terjadi karena ribuan mahasiswa asal India di berbagai perguruan tinggi di Melbourne dan Sydney berdemonstrasi, karena sering menjadi sasaran kekerasan, misalnya dari kelompok asal Lebanon.

Berita kerusuhan di Australia disusul isu-isu pencegahan, penahanan, dan pengadilan terhadap imigran gelap asal Sri Lanka, Afghanistan, dan Irak. Imigran korban peperangan di ketiga negara itu sering mencoba masuk ke Australia dengan menyewa perahu-perahu motor di Nusa Tenggara Timur.

Mengapa banyak orang bermigrasi ke Australia? Jawabannya, perang Irak, Lebanon, Sri Lanka, dan Afghanistan mengakibatkan terjadi tekanan-tekanan terhadap warga ketiga negara itu. Australia sebagai negeri yang kaya, diyakini bisa memberikan perbaikan nasib bagi mereka. Dengan penduduk 21 juta, sejahtera, dan berpenghasilan tinggi (pendapatan per kapita US$ 28.000), Australia masih memerlukan tenaga kerja untuk mendukung industrinya. Tiap tahun setidaknya 80.000 imigran datang ke sana, dan setengah di antaranya dari Asia. Akibat krisis global, Canberra harus menahan masuknya imigran ini.

Mahasiswa India mengamuk, karena merasa penanganan terhadap kekerasan yang mereka alami lamban. Logis, bila protes karena keresahan terhadap mahasiswa perantauan, merembet ke India. Kantor berita prancis Agence France Presse 10 Juni 2009 mengindikasikan, insiden itu bisa mempengaruhi hubungan India-Australia. Sudah sejak lama (1973) Australia menghapuskan white policy - kebijakan mengutamakan warga kulit putih, meskipun kritik mengenai nasib penduduk asli-Aborigin, yang jumlahnya 200.000 jiwa, sering memojokkan Canberra.

Kerusuhan antara mahasiswa India dan etnik keturunan Lebanon menimbulkan kekecewaan mahasiswa Asia, karena merasa polisi lambat mengatasinya. Kritik itu meluas ke India dan luar negeri. Namun, menurut media Asia 10 Juni lalu, Kepala Polisi Victoria Robert Redfern membantah bahwa para perusuh yang melawan mahasiswa India membawa pisau dan senjata.

Penentangan terhadap Asia pernah dilancarkan oleh Pauline Hanson (1998). Hanson menentang wanita Asia pertama Helen Sam-ho sebagai kandidat anggota parlemen Partai Liberal. Akhirnya Sam-ho mundur, namun Hanson dikecam karena prokulit putihnya itu. Inilah kontradiksi masa lalu dalam white policy dan derasnya migrasi, meski Australia telah mencabut kebijakan yang mengutamakan kulit putih sejak 1973.

Kelabakan

Menghadapi pesatnya imigran pencari suaka, kesejahteraan bahkan keadilan, Australia jadi kelabakan. Gugus tugas AL-nya siaga di pantai-pantai Northern Territory untuk menahan arus imigran ilegal. Direktur Center for Immigration and Multicultural Studies di ANU, Canberra, James Jupp, awal Juni 2009 menyatakan: "Ada anggapan kita berada di tempat yang keliru (Australia berbudaya Eropa di Asia); dikelilingi jutaan dan jutaan orang Asia, yang terus membanjiri kita!"

Ucapan akademisi ini berulang, termasuk provokasi Pauline Hanson. Pada era Perang Dingin, paradigma politik luar negeri Australia adalah Threat from the North. Frase "Bahaya dari Utara" berdasarkan paradigma Blok-Barat (AS-Barat dan Australia) versus Blok Soviet (dan Tiongkok). Pada dekade 1980, pra-glasnost dan perestroika Mikhail Gorbachev, paradigma itu eksis. Bahkan, dua partai utama (Buruh dan Liberal), yang bergantian memerintah menganggap Indonesialah "bahaya dari utara". Buktinya, Presiden Soekarno mengambil alih Irian Barat, memprovokasi Kalimantan Utara dan mengobarkan kampanye 'Ganyang Malaysia", serta pada pemerintahan Soeharto, Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia.

Bagaimanapun, ada capaian-capaian signifikan dalam memperbaiki hubungan bilateral RI-Australia, selain kinerja Kedubes RI di Canberra, serta konsulat-konsulatnya di Sydney, Perth, Adeleide, dan Darwin.

Kemesraan politik RI-Australia dulu ditopang melalui tiga KTT historis Presiden Soeharto-PM Gough Whitlam, di Townsville, Wonosobo, dan Denpasar, awal 1980-an. KTT itu juga menghasilkan bantuan sapi untuk melestarikan sapi Indonesia.

Kontroversinya, demonstrasi anti-RI masa itu gencar, sementara studi mengenai Indonesia di berbagai perguruan tinggi Australia tetap berjalan, termasuk pembakuan pelajaran bahasa Indonesia di SD, SMP, dan SMA. Bahkan prapergolakan mengakhiri integrasi RI- Timor Timur, Canberra dan Jakarta menandata-ngani piagam kerja sama bersejarah. Penandatanganan bernilai ekonomis tinggi antara Indonesia-Australia itu, untuk melakukan survei dan eksplorasi migas di Celah Timor.

Pada 1987, di atas pesawat Royal Australian Air Force (RAAF) di atas udara Timor Gap, Menlu RI Ali Alatas bersama mitranya Menlu Australia Gareth Evans menandatangani kerja sama eksplorasi migas di perairan Celah Timor. Nilai migas laut dalam perbatasan kedua negara, sebelum Timor Leste merdeka 20 Mei 2002, tercatat US$ 100 miliar untuk 10 tahun eksplorasi. Namun, sejarah berputar dan mengubah semuanya, karena demokratisasi di Timor Leste.

Era Perang Dingin ditutup, dan sejak PM John Howard (2000-2008), bahkan setelah PM Kevin Rudd menjabat 2008, hubungan Australia-Indonesia mencapai kulminasinya. Ingat Australia donator tetap RI dengan bantuan sekitar A$ 45 juta/tahun. Nilai perdagangan dengan ASEAN, sebesar US$ 7,5 miliar (tahun 2000), dipastikan meningkat.

Membela HAM

Australia konsisten membela HAM, meski ada warga dan tokohnya yang masih prosupremasi kulit putih. Australia adalah negeri impian bagi warga Asia, karena punya industri, lapangan kerja, serta perguruan tinggi bermutu. Dalam perspektif Jakarta, studi Asia dan klasik Indonesia sejak lama diperankan oleh universitas-universitas terkemuka Australia. Misalnya, untuk sains dan teknologi, terdapat Royal Melbourne Institute of Technology.

Untuk politik, sejarah dan budaya Indonesia, Universitas Sydney memiliki Department of Malay dan Indonesian Studies dan Department of Government berikut Universitas Nasional (ANU) di Canberra, ACT, perguruan tinggi terkemuka di Adeleide (Australia Selatan), serta di Perth-Australia Barat. Menyadari letaknya dekat dengan Indonesia dan Asia, maka studi kawasan ini dibakukan Australia.

Politik sering menghadang, namun pendidikan tinggi, sosial budaya dan ekonomi membuat hubungan Indonesia-Australia pesat dan bermutu. Perguruan tinggi terkemuka Universitas Melbourne, Monash, Sydney, New South Wales, Queensland mengintensifikasi studi politik, ekonomi dan seni-budaya Indonesia. Indonesianis terkemuka negeri kanguru, antara lain, Prof Herbert Feith, Prof Peter Worseley, Prof Andrews, Prof Arndt, Prof James Fox, Prof Jamie Mackie, Johani Jones dan Elisabeth Legge, David Hill dan James Castle menyusul para akademisi muda. Mereka cermat menghayati, menganalisis semua perkembangan Indonesia. Banyak pula ahli peternakan Indonesia lulusan Australia, karena keunggulan Australia dalam peternakan.

Pada 1980-an, terungkap dorongan bahwa mempelajari Indonesia klasik tak perlu jauh-jauh ke Universitas Leiden atau Frij Universiteit, Belanda. Sydney, Melbourne, Adeleide, Perth, dan Brisbane menyediakan bahan-bahan hingga guru besar Indonesia klasik. Bahasa-bahasa Asia dan Indonesia menjadi pelajaran wajib, karena kedekatan Australia dengan Asia. PM Kevin Rudd pun lancar berbahasa Mandarin.

* Wim Tangkilisan, Pemimpin Umum Suara Pembaruan

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 26 Juni 2009

No comments: