Saturday, June 06, 2009

Memperalat Kebudayaan

-- Radhar Panca Dahana

PADA misi purbanya, kebudayaan sebenarnya tidak lebih dari usaha manusia untuk survive, mempertahankan diri (spesies)-nya. Pada masa kemudian, katakanlah di masa yang disebut modern, kebudayaan menjadi upaya manusia memuliakan dirinya, dengan kesadaran ia adalah spesies terunggul, setidaknya di Bumi.

Di kurun akhir ini, keunggulan spesies itu mengalami ujian amat berat, saat berbagai fenomena alam—juga rekayasa kebudayaannya sendiri—menunjukkan indikasi teruji akan adanya semacam big bang baru yang berpotensi memusnahkan hingga 75 persen populasi dan hampir seluruh harta peradabannya. Tampaknya misi kebudayaan, dalam jangka dekat, tak tertolak akan kembali pada kondisi purbanya.

Dalam pemahaman ini, semua gerak, aktivitas, hingga ambisi hidup manusia tak terhindarkan dari kewajiban untuk mempertimbangkan kerja-kerja kebudayaan. Kerja yang memberinya dasar eksistensial dan orientasi hasilnya. Namun, kesadaran atau obligasi peradaban ini, malangnya, belum mengisi alam kognisi kita, terutama para elite di segala dimensi; pihak yang sebenarnya menentukan kerja-kerja itu.

Di bagian politik, para penguasa atau pemimpin bangsa tampaknya kewalahan sekadar untuk menjelaskan pemahaman yang cukup komprehensif tentang hal itu. Terlebih saat mereka harus mengelaborasinya ke dalam sebuah strategi (kebudayaan) atau program-program konkret yang harus dilakukan. Dialog yang terjadi antara para budayawan dengan para calon presiden dan calon wakil presiden di Jakarta beberapa waktu lalu melukiskan kenyataan itu.

Kebudayaan lebih dipahami hanya sebagai sebuah kompleks pernyataan dan produk yang dapat teramati, bahkan terukur, baik dalam produk keras maupun lunak. Kebudayaan sebagai karya seni adalah bias pemahaman utama. Lebih jauh kebudayaan terkoleksi dalam bentuk bangunan, artefak, ilmu, syariat agama, atau teknologi. Dengan kata lain, kebudayaan mengalami materialisasi hingga ke tempatnya yang paling sempit: komodifikasi. Satu bentuk apresiasi kasar yang menempatkan kekuasaan lebih sebagai perangkat yang dapat dikooptasi atau diperalat untuk meneguhkan kekuasaan.

Kebudayaan dalam pemaknaan seperti ini sebenarnya tidak lebih dari cara mengerikan yang pernah dilakukan rezim Soeharto, yakni saat seluruh ekspresi dan produksi kultural kita dibakukan sekaligus dibekukan hanya untuk etalase kegenitan yang didistribusi secara murah meriah mengelilingi pentas-pentas selebratif ke penjuru dunia. Kita pun mafhum, kebudayaan dalam gerak dan apresiasi itu sebenarnya sudah teperdaya. Kebudayaan adalah hidup yang sudah menjadi mayat, menjadi zombi.

Kebudayaan proses

Hal yang lebih substansial namun dilenakan oleh para pelaku kekuasaan ada di wilayah di mana kebudayaan menjalani geraknya yang paling dinamis: proses. Wilayah di mana semua kerja budaya masih ada dalam tahap pencarian, pertukaran, penemuan, dan pembentukan. Tahap yang masih bersifat abstrak, dan kalaupun ada output-nya, ia masih berupa kode-kode atau simbol-simbol dasar.

Dalam tahap atau ruang ini, yang dapat dilakukan—oleh siapa pun—tidak lain adalah keterlibatan. Sikap apresiatif yang berjarak, bahkan menjadi penonton, lebih- lebih bermaksud memperalat atau memperdayanya, akan membuat kerja dan produk kebudayaan itu sendiri menjadi berjarak, bahkan teralienasi dari realitas diri sang apresiator/penonton/pemerdaya.

Maka, sebuah kerja kebudayaan yang sifat dasarnya adalah imanen dan semesta—bagi seluruh manusia yang dilingkupi maupun melingkupinya—sewajarnya menyertakan semua elemen kerja dari sebuah bangsa, termasuk dari para penyelenggara negara. Penafian afirmasi historis itu justru akan membuat negara terasing dari kerja sejarah ini; merendahkan bahkan melumpuhkan kemampuan atau potensi-potensi terbaiknya.

Wajar dan alami pula karenanya bila pemerintah atau penguasa (politik, ekonomi, dan sebagainya) turut berupaya agar proses kebudayaan dapat berlangsung dengan caranya yang terbaik. Cara yang sebenarnya sudah diwariskan oleh bangsa- bangsa di nusantara ini, yang sudah memiliki kurun—menurut banyak catatan—lebih dari dua milenia.

Dalam arti ini, adalah obligasi alamiah bagi pemerintah untuk melengkapi proses itu dengan infrastruktur kebudayaan (kesenian tentu di dalamnya) yang mencukupi, ruang ekspresi yang kondusif, apresiasi (hingga ke tingkat penghargaan material) yang sepadan pada karya/produk maupun pelaku/produsennya, dan seterusnya. Dan akan menjadi hal progresif bila mereka terlibat langsung dalam proses itu, menggunakan atau mengekspresikan diri lewat simbol-simbol artistik yang dihasilkannya.

Penafian atau penegasian atas obligasi—yang sebenarnya konstitusional—ini tidak hanya memberi ancaman bagi pemerintah itu sendiri (bukan semacam ancaman konyol yang dianggap berasal dari seniman, misalnya), tetapi juga menjadi sumber kecemasan bagi cara hidup kita sebagai bangsa. Penempatan yang dominatif dari satu sektor pembangunan, katakan ekonomi, adalah jalan terbaik untuk terjadinya hal itu.

Senyum itu

Melalui adagium klasiknya yang menyatakan: ekonomi lebih dulu dicukupkan sebelum kebudayaan digenapkan, sektor ekonomi sebenarnya sejak lama menjebak negara-negara ketiga (berkembang) dalam krisis yang berulang. Sementara realitas hidup berbudaya kita yang cukup panjang mengajarkan sebuah fakta: kebahagiaan—juga sebagai akhir perjuangan ekonomi, di antaranya—tidaklah semata karena limpahan harta.

Bagaimana hidup dapat tersenyum dalam pundi-pundi yang disimpan kecemasan dari kekikiran bahkan kedustaan koruptif? Tidakkah senyum itu dapat timbul saat kita leluasa beraktualisasi, menjalankan ritus mental-intelektual-spiritual, yang disediakan antara lain oleh agama, adat, dan seni? Meski hanya sekadar nasi-ikan-sambal di piring makan siang, atau pondok, TV 14 inci, dan sepeda motor cicilan kita miliki?

Apakah petani, buruh, guru, seniman, siapa pun dari mayoritas bangsa ini harus didera dan dihela oleh nafsu jadi kaya raya, jadi orang yang punya kuasa pada orang lain (lebih dari diri sendiri)? Saya kira, rakyat banyak itu tak membutuhkan siksa ideologi ekonomi semacam itu. Apa yang lebih mereka, kita, butuhkan adalah sebuah senyum di bibir kehidupan kita.

Di manakah senyum itu, di bibir kehidupanmu?

* Radhar Panca Dahana, Sastrawan; Tinggal di Tangerang

Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Juni 2009

No comments: