[JAKARTA] "Sastra menguatkan martabat dan jati diri bangsa!" Cuplikan kalimat itulah yang menjadi inti dari diterbitkannya delapan dari ratusan, bahkan ribuan karya sastra yang pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka (BP). Karya-karya klasik yang tergolong masterpiece ini merupakan warisan budaya nasional yang layak untuk dilestarikan. Karya sastra tersebut mengandung nilai kehidupan yang tinggi, terutama mengenai moral dan budi pekerti kehidupan masyarakat.
Sastrawan Taufiq Ismail membawakan karyanya saat peluncuran delapan buku seri sastra klasik berjudul "Indonesian Cultural Heritage" di Jakarta, Rabu (10/6). (Abimanyu)
Kedelapan karya sastra tersebut adalah Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Atheis (Achdiat K Mihardja), Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar), Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini), Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Idrus), Sitti Nurbaya (Marah Roesli). Semua karya tersebut dipadu dalam satu judul seri sastra klasik Indonesian Cultural Heritage.
Hal menarik yang yang dapat diamati adalah usia muda para sastrawan saat menuliskan karya sastra mereka ini. Saat itu, mereka berusia antara 20 hingga 42 tahun. Jika dilihat secara kualitas hasil karya, banyak yang tidak menyangka apabila para sastrawan tersebut masih berusia tergolong muda ketika menghasilkan karya sastra bermutu itu. Beberapa di antaranya, seperti Taufiq Ismail dan Achdiat K Mihardja, sekarang masih ada dan tetap konsisten serta eksis di dunia sastra.
Buku seri sastra klasik Indonesian Cultural Heritage tersebut dikemas dalam satu paket eksklusif dengan dilengkapi nomor seri, hologram, dan sertifikat untuk menjaga keaslian dan keistimewaannya. Bahkan, nomor seri buku diukir dalam sebuah pelat logam yang tertanam di setiap buku. Untuk buku bernomor seri 001 dan 002, dipersembahkan khusus bagi Presiden dan Wakil Presiden RI. Sedangkan nomor seri 003 sampai dengan 007 dilelang kepada siapa saja yang berminat.
Lebih istimewa lagi, sejumlah artis dan publik figur didapuk untuk menjadi ikon dari setiap judul karya, memasarkan, mengenalkan nilai moral, dan budi pekerti yang terkandung di dalam buku. Mereka adalah Cornelia Agatha (ikon buku Layar Terkembang), Maudy Koesnaedy (Salah Asuhan), Yuni Shara (Azab dan Sengsara), Andrea Aksana (Habis Gelap Terbitlah Terang), Tio Pakusadewo (Atheis), Lukman Sardi (Salah Pilih), Leo Vincent "Club 80's" (Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma), dan Happy Salma (Sitti Nurbaya).
"Keterlibatan para ikon ini diharapkan dapat membantu proses penyerapan nilai-nilai moral dan budi pekerti yang terkandung dalam setiap buku yang mereka bawakan, khususnya bagi para generasi muda. Agar maksimal, akan diadakan kegiatan roadshow di beberapa lokasi di Jakarta. Lokasi tersebut, antara lain Times Book Store, Kemang Village pada 11 Juli, Pejaten Village pada 25 Juli, dan UPH Festival Lippo Karawaci pada 15 Agustus," terang General Manager Balai Pustaka Firman Musirwan seusai konferensi pers di Taman Sanken, Museum Nasional, Jakarta, Rabu (10/6). [ISW/N-5]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 11 Juni 2009
1 comment:
slmt pg,sy menjual buku indonesian cultural heritage balai pustaka 8buku, segel 950rb, non segel 650rb.
hubungi deni 083892299249.
utk jakarta bs COD.tks
Post a Comment