Thursday, June 25, 2009

Buku: Kembalikan Pancasila sebagai Dasar Negara

PADA era reformasi ini, kata Pancasila nyaris tidak pernah terdengar. Membicarakan Pancasila seolah-olah membicarakan sesuatu hal yang telah menjadi sejarah atau membicarakan masa lalu, sesuatu yang sudah ketinggalan zaman. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun seakan membenarkan hal itu.

Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Pancasila yang ke-61, 1 Juni 2006, ia mengatakan, ”Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, wawasan kebangsaan, stabilitas, pembangunan, kemajemukan, dan lain-lain. Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis.”

Padahal, sebagian besar rakyat Indonesia masih mengidealkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila. Itu dicerminkan oleh hasil survei nasional bertajuk ”Islam dan Kebangsaan” yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada tahun 2007.

Demikian tulis As’ad Said Ali dalam bukunya Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, yang diterbitkan Pustaka LP3ES Indonesia, Februari 2009.

Ia memaparkan, pemaksaan pemahaman tentang Pancasila sesuai dengan kehendak penguasa Orde Baru menjadikan Pancasila dilihat sebagai alat politik Orde Baru. Dengan demikian, dengan ambruknya Orde Baru dilanda gelombang reformasi, dengan sendirinya Pancasila pun mulai dilupakan.

Jika saja Pancasila dibiarkan berkembang seperti pada masa sebelumnya, di mana penjabaran sila-silanya terus didiskusikan dan dimasyarakatkan secara apa adanya, diperkirakan Pancasila akan menjadi andalan untuk menjaga keutuhan NKRI. Tidak akan ada yang mempersoalkan apakah Pancasila masih relevan atau tidak? Tidak ada yang mengkhawatirkan Pancasila sebagai dasar negara sudah dilupakan. Sayang, hal itu hanya pengandaian dan yang terjadi adalah kebalikannya.

Peremajaan pemahaman

Banyak pihak kemudian mengusulkan perlunya melakukan peremajaan (rejuvenasi) atau revitalisasi pemahaman atas Pancasila. Alasannya, hasil survei nasional yang diadakan LPIM, seperti yang dikutip di atas, memperlihatkan bahwa sudah mulai terjadi kemerosotan pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila meskipun tingkat penerimaan masyarakat masih cukup tinggi. Bila gejala itu dibiarkan, apalagi ditambah dengan gejolak sosial politik yang tak kunjung usai, penerimaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Pancasila dapat semakin merosot. Bila itu terjadi, dapat menjadi pemicu krisis kebangsaan yang jauh lebih serius.

Dalam kaitan itulah, menurut As’ad Said Ali, penyegaran pemahaman baru mengenai Pancasila kian relevan. Agenda baru itu bukan sekadar soal bagaimana rakyat Indonesia dapat kembali menghafal Pancasila secara baik dan benar. Jauh lebih penting dari itu adalah upaya sungguh-sungguh agar Pancasila dapat menjadi doktrin operasional yang dapat memecahkan masalah kebangsaan dan kenegaraan. Itu bukan tugas mudah. Kerumitan dalam mengurai doktrin menjadi kebijakan operasional pasti akan berlangsung.

Persoalan bersumber dari tiga faktor penting. Pertama, Pancasila sudah terlalu lama terseret dalam berbagai kepentingan politik yang menjadikan wajah Pancasila babak belur persis rezim yang menyalahgunakannya. Kedua, norma-norma yang dikandung Pancasila terkadang tidak mudah diterjemahkan menjadi kebijakan nyata. Umpamanya, hubungan antara agama dan negara serta konsep ekonomi Indonesia yang selalu diperdebatkan sepanjang sejarah republik ini. Ketiga, dalam mencari pemahaman baru akan Pancasila, tidak mudah menepis pengaruh-pengaruh global.

Namun, kendala-kendala tersebut tidak perlu menyurutkan langkah kita. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengambil pelajaran penting dari pengalaman masa lalu dan bukan sekadar menyalahkannya. Beragam kekayaan gagasan sesungguhnya bisa diambil dari perjalanan bangsa ini.

Debat di dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, umpamanya, adalah langkah awal sangat penting untuk mendalami makna-makna implisit, atau suasana kebatinan, dalam proses perumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Gagasan-gagasan cerdas di dalam sidang tersebut dapat ditafsirkan dan diberikan muatan baru serta tidak harus dipahami secara lateral.

Kedua, pemetaan dan respons kita terhadap persoalan mutakhir kebangsaan dan kenegaraan seharusnya berangkat dari pemahaman substantif konstitusi dan dasar negara.

Dasar negara dan konstitusi yang kita pahami secara substantif tersebut dapat menjadi prisma dalam menatap masa depan. Prosesnya tentu harus dilakukan secara dialogis. Kekinian dan kelampauan dijembatani oleh suatu proses pemahaman yang koheren. Dari situ kita dapat meneguhkan sikap. Sikap ini bisa tegak berdiri kalau kita dapat membangun argumen yang kuat, sahih, dan operasional bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa yang layak dipertahankan. Pancasila berguna tidak hanya bagi keutuhan bangsa, sebagaimana doktrin klasiknya, tetapi juga bermanfaat secara nyata dalam menjaga masing-masing komunitas, individu, dan kelompok. Di samping itu, ideologi bangsa (dalam hal ini Pancasila) dapat menjadi landasan untuk membangun kehidupan multikultural berkarakter Indonesia. Hanya dengan cara seperti itu, Pancasila dapat kontekstual dengan semangat zaman.

Hadirnya buku ini tentunya harus disambut baik. Selain waktunya yang tepat, yakni di saat orang seakan sudah melupakan Pancasila, isinya juga sangat lengkap. Melalui buku ini, As’ad Said Ali mengupas habis Pancasila sampai ke akar-akarnya, mulai dari kelahirannya sampai perkembangannya dari masa ke masa. Dengan demikian, orang yang membacanya akan mempunyai gambaran yang lengkap mengenai apa itu Pancasila dan apa manfaatnya bagi masa depan bangsa dan NKRI.

Kariernya di Badan Intelijen Negara (BIN), di mana ia dipercaya menjadi Wakil Kepala BIN dan penempatannya di berbagai negara Timur Tengah (1983-1990) menjadikan As’ad Said Ali seseorang uang berpikiran terbuka. (JL)

Sumber: Kompas, Kamis, 25 Juni 2009

3 comments:

asfien said...

Memang benar pancasila semakin tenggelam di telan oleh zaman,namun dalam kenyataan memang pancasila hanyalah slogan belaka dan menurut praduga saya dlm kenyataan pancasila tidak pernah di terapkan di negeri ini secara murni dan konsekwen,coba kita lihat lintasan sejarah negeri ini pada ORDE LAMA lebih di arahkan pd demokrasi liberal dg NASAKOM-nya Sukarno dg system multi partai yg membingungkan spt skrg ini dan brakir pd revolusi dan korban nyawa manusia.
Pada ORDE BARU negeri ini lebih di arahkan pd KAPITALISME dg program utang luar negeri yg pd kenyataanya hanya menguntungkan konglomerat yg brakhir pd krisis moneter,
Pada ORDE REFORMASI spt skarang ini negeri kita lebih di arahkan pd demokrasi liberal dg adanya system multi partai dan ekonomi kapital dgn tumbuh suburnya kapitalisme.
Jadi dapat di simpulkan bahwa hakekat REFORMASI usaha untuk kembali pd ORDE LAMA dg liberalisme-nya,dan ORDE BARU dg kapitalismenya,bgmana menurut anda..!

psikology and theology of ALKITAB said...

bagi saya pancasila harus dikembalikan dalam suatu kuota dan essensi yang benar ketika pancasila itu diresmikan oleh para bapak2 bangsa kita... Kita hidup bukanlah dengan 1 pihak RAS,suku,agama saja tapi mesti terjadi kebersamaan sekalipun kita negara yang beraneka ragam... jadi kalau yang mulai memaksakan kehendak nya pribadi / golongan tertentu,itu mungkin berarti dia tidak mengerti apa itu PANCASILA?

FAUZAN COMPUTER said...

Kembalikan Pancasila sebagai Dasar Negara saja

Sesuai dengan ide, gagasan Ir Soekarno yang disampaikannya dalam pidatonya “Lahirnya Pancasila” dalam sidang BPUUPKI pada 1 Juni 1945, bahwa Pancasila itu hanya sebatas “Philosophische grondslag”, “Weltanschauung”, Dasar Negara Indonesia Merdeka, maka kembalikanlah Pancasila itu hanya sebagai Dasar Negara saja, bukan sebagai Dasar Moral. Nasionalisme, demokratisme, sosialisme, komunisme, Islam adalah “Weltanschauung”.

Selama empat belas tahun pertama sejak Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1958, hampir boleh dikatakan bahwa Pancasila dikenali hanya terbatas sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

Pada awalnya Pancasila itu adalah formulasi (perumusan) dari gagasan Ir Soekarno yang diperkenalkannya pada hari keempat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945 tentang dasar Indonesia Merdeka yang kemudian diterima dalam Piagam Jakarta, dan yang selanjutnya direvisi dalam Pembukaan UUD-45.

Baru sejak tahun 1978 secara sistimatis dan terencana, dikembangkan konsep Pancasila sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai ajaran Moral Bangsa Indonesia, sebagai Asas Moral bagi kehidupan bangsa Indonesia. Mulai dari kehidupan berpolitik, berekonomi, sampai kehidupan pribadi dan berkeluarga diatur, berapa jumlah anak, bagaimana isi dakwah setahap demi setahap diarahkan, diatur, ditata oleh negara.

Setelah ditetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal, maka disini pancasila berperan mengatur sikap dan tingkah laku orang Indonesia masing-masing dalam hubungannya dengan Tuhan Yang maha Esa (Ketuhanan Yang maha Esa), dengan sesama manusia (Kemanusiaan yang adil dan beradab), dengan tanah air dan nusa bangsa Indonesia (Kebangsaan atau Nasionalisme), dengan kekuasaan dan pemerintahan negara (Kerakyatan), dan dengan negara sebagai kesatuan sosial dalam rangka realisasi kesejahteraan (Keadilan Sosial). Dalam hubungan ini sementara pengamat mempertanyakan apakah negara/pemerintah, MPR berhak mengatur, membina hati nurani masing-masing individu ?

Dalam wilayah, daulah, negara yang berpenduduk Muslim, maka konsekwensi logisnya yang layak diberlakukan adalah Hukum Islam (Simak antara lain KH Firdaus AN : “Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi”, Pedomaan Ilmu Jaya, 1992, hal 32-33. Sayangnya KH Firdaus AN tak memiliki kemampuan (kepemimpinan, leadership) untuk mewujudkan, merealisasikan idenya agar “Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Tak Berulang lagi”).

Dalam hubungan ini, menurut pandangan KH Firdaus AN “Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh BPUUPKI”. Dengan kata lian telah terjadi penyimpangan, sekaligus pengkhianatan terhadap Islam” (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28 Januari 1999, hal 3).

Yang ideal, di Indonesia cukup memiliki dua buah partai politik, Yaitu Partai Islam dan yang satu lagi Partai Pancasila. Di negara-negara besar yang matang demokrasinya cuma ada dua partai politik. Dengan itu rakyat mudah menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan. Bagi yang tidak setuju ideology Islam silakan masuk partai Pancasila, dan yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam (idem, hal 186). Dengan demikian bisa pula diatasi gerakan jihad yang dicap sebagai teroris. Semua yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslim diberikan kesempatan berjuang secara demokratis (musyawarah mufakat) dalam sidang DPR/MPR, seperti yang pernah ditawarkan oleh Soekarno pada sidang BPUUPKI pada 1 Juni 1945 yang dikenal dengan hari Lahirnya Pancasila.

(BKS11105301630)