Sunday, June 28, 2009

Filosofis Kekuasaan dalam Fiksi Epik yang Eksotik

Judul Buku : The Road To The Empire
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa
Cetakan : I/Desember 2008
Tebal : 586 hlm.

DALAM kata pengantar buku Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern, Maman S. Mahayana mengungkapkan bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa, selayaknya jika para novelis atau sastrawan pada umumnya ditempatkan sebagai "pejuang moral". Dengan keluasan wawasan, mereka--para novelis tersebut--berjuang terus demi mengangkat moral bangsa dan harkat manusia. Aspek pesan moral yang ingin disampaikan novelis lewat karyanya adalah kontribusi yang dimaksudkan tersebut.

Pada khazanah kesusastraan Indonesia, cukup banyak karya novel yang begitu sarat pesan moral khususnya pada periode awal perkembangan sastra. Sebut saja novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar yang ditempatkan sebagai novel pertama kesusastraan Indonesia modern. Meski pada perkembangan selanjutnya, muncul pula novel yang hanya mementingkan sisi estetika tanpa atau sedikit sekali unsur etika. Atau bahkan cenderung "seronok".

Padahal, sebagaimana diakui umum, novel (sastra) sebagai bahan bacaan cukup memengaruhi pemikiraan, sikap dan pola hidup pembaca secara masif. Nah, pada peran pejuang moral inilah novel epik Sinta Yudisia berjudul The Road to The Empire: Kisah Takudar Khan, Pengeran Muslim Pewaris Mongol, patut diletakkan. Meski secara setting tersurat sang pengarang mengambil wilayah Mongolia untuk menghidupkan tokoh-tokohnya tapi refleksinya dapat diangkat pada latar ke-Indonesia-an. Terlebih dengan situasi kekinian menjelang pesta demokrasi di republik ini.

Sebuah perjalanan panjang sekaligus alur memikat yang dirangkai sang pengarang harus dilalui Takudar, sang tokoh utama. Ia adalah pangeran kesatu dari 3 putra Tuqluq Timur Khan, penguasa imperium Mongolia, keturunan Jenghiz Khan. Menurut aturan kerajaan dan keinginan sang ayah, Takudar lah yang menjadi pewaris takhta berikutnya. Akan tetapi, sebagaimana kekuasaan dengan semua kenikmatannya tentu mengundang keinginan banyak pihak menguasainya. Dengan strategi politik yang berorientasi tujuan, mengenyampingkan cara mencapainya, mengalir berbagai konflik fisik dan batin para tokoh.

Orang-orang yang sebelumnya menjadi keluarga, sahabat, teman, nyatanya menjadi orang asing dan berada pada posisi melawannya. Takhta kerajaan dikuasai Arghun, adik keduanya, setelah kedua orang tua mereka dibunuh oleh pihak yang tak pernah jelas terungkap kasusnya.

Sesungguhnya, bukan karena tak memperoleh kedudukan sebagai raja yang menjadikan Takudar menjadi pengasingan dan memulai hidup berbeda. Tetapi bayangan kehancuran negeri leluhurnya adalah hal tersulit yang harus diperbaikinya. Penguasa ternyata tidak lagi mengayomi rakyat. Upeti ditarik begitu tinggi, sementara kesejahteraan hidup penduduk tidak diperhatikan. Pejabat terus berpesta pora dan menghabiskan kas negara. Kerusakan moral hampir merambah seluruh pejabat kerajaan. Dan puncaknya, penderitaan rakyat yang kian menyedihkan justru ditanggapi dengan rencana besar untuk terus melakukan ekspansi. Dengan alasan mengangkat kejayaan dan kebesaran imperium Mongol, penyerbuan ke semua penjuru mata angin dilakukan.

Tidak ada pilihan lain bagi Takudar selain melakukan perlawanan. Sebentuk jiwa kesatria diungkap pengarang pada perjuangan merebut kembali takhta kerajaan. Dan pada bagian inilah kekuatan novel The Road to The Empire hingga menjadikannya peraih IKAPI-IBF Award 2009 kategori fiksi dewasa terbaik.

Kemampuan Sinta untuk menyentak emosi pembaca sangat terbantu dengan diksi yang sangat indah tetapi tegas. Juga pemaparan detail perasaan masing-masing tokoh dalam tiap konflik. Kendati demikian, kehadiran cukup banyak tokoh pendamping menjadi sedikit kelemahan novel sejarah ini karena menyebabkan kesulitan pembaca mengingat semua tokoh. Belum lagi nama masing-masing tokoh sulit diingat. Juga pada ending, pengarang terlewat untuk menjelaskan kelanjutan nasib mereka. Sebagai sebuah karya sastra, The Road to The Empire telah berhasil menjadi media bercermin bagi setiap pembacanya. Merenungi kembali dan berupaya memperbaiki diri atas nilai filosofis kehidupan. Kekuasaan yang seolah menjadi kue mahal yang diperebutkan sejatinya hanyalah amanah yang begitu berat dijalankan. Saya pikir akan sangat baik novel The Road to The Empire direkomendasikan bagi para elite politik dan penguasa negeri ini.

Umi Laila Sari, pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Juni 2009

No comments: