Judul : Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia, Kisah Tujuh Perempuan Tionghoa Korban Diskriminasi
Penulis : Rebeka Harsono dan Basilius Triharyanto
Penerbit : KPG, Jakarta
Cetakan : Pertama, November 2008
Tebal : 123 halaman
SEBAGAI manusia yang berhati, pastinya akan teriris tatkala menyaksikan kesemenaan terhadap sesama. Tanpa memandang latar belakang, warna kulit, dan entah sederet predikat apa yang kerap dijadikan tumbal dalam pembedaan itu. Kini, dalam buku Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia, Kisah Tujuh Perempuan Tionghoa Korban Diskriminasi, Rebeka Harsono dan Basilius Triharyanto mengetengahkan keresahan pengalaman perempuan Tionghoa dalam segenggam bacaan yang bisa dilahap dalam waktu singkat.
Kedua penulis itu menarasikan tujuh getir-pahit perempuan Tionghoa menghadapi ketatnya penyeleksian (baca: diskriminasi) yang dilakukan birokrasi. Adalah perihal sah-tidaknya keturunan Tionghoa, khususnya di kawasan Cina Benteng dalam melakukan seleksi administrasi kependudukan. Hal ini disebabkan sulitnya mengurusi pembuatan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Kepahitan yang dirasakan lebih menohok karena penolakan yang dilakukan oleh birokrasi bukan semata sebab ke-Tionghoa-annya. Akan tetapi, terganjal masalah dana "penyuplai" kelancaran pembuatan, semisal akta kelahiran, yang kebanyakan kasusnya ditangani kedua penulis buku ini.
Buku ini, sesuai penuturan Rebeka merupakan "teks" pergulatannya dalam memandu para perempuan Tionghoa miskin dalam memperoleh haknya sebagai warga negara Indonesia. Tak kurang dari empat tahun lamanya, Rebeka live in di perkampungan Cina Benteng. Ini dilakukan untuk memotret secara lebih dekat dan tentunya tanpa sekat yang membutakan dalam merangkum satu kesimpulan tentang mereka. Bahwa peranakan China ada yang terpinggirkan dan sepatutnya dibela.
Meskipun buku ini adalah hasil penelitian, pembaca tak akan dibuat serasa membaca narasi yang menjenuhkan. Malahan, pembaca diajak berfantasi dalam permenungan dan penggambaran layaknya menamatkan gugusan cerita. Sehingga tak akan bosan karena gaya penulisan yang digunakan tengah mencoba merambah pada jurnalisme sastrawi, oleh karena itu enak dinikmati.
Buku ini kritik yang ditujukan kepada pemerintah dalam merespons tiap dengus kegelisahan warganya dalam mengurus perihal kependudukan. Ini terlihat jelas pada pengalaman San Nio ketika mengurus KTP. Ia harus merelakan agamanya dipindah menjadi Islam hanya karena biaya yang dibebankan pada warga non-Islam jauh lebih mahal dibandingkan pribumi Islam. Islam sebesar Rp5.000, sedangkan non-Islam Rp350 ribu.
Hal ini menjadi suatu tragis karena agama hanya dijadikan alat pelancar bagi warga Tionghoa di satu sisi, kendati tak menafikan keterbatasan uang yang dimiliki. Sementara di sisi lain, dijadikan alat pengeruk timbunan rupiah bagi birokrat tatkala warga Tionghoa berkeras mempertahankan agama yang dipeluknya.
Tak semata kepada birokrat kritik ditujukan, hadirnya buku ini, meskipun secara lirih sejatinya juga mengorek sisi negatif kehidupan Tionghoa miskin. Karena di beberapa pembahasan disebutkan bahwa tak sedikit kemiskinan yang mendera mereka itu juga disebabkan oleh ulah mereka sewaktu masih (lebih) berkecukupan daripada sekarang. Sisi negatif itu terlihat tatkala mereka berhamburan dengan uangnya yang dimiliki dengan penyalahgunaan masuk-keluarnya uang.
Rebeka mencatat ada banyak faktor mengapa kondisi ekonomi mereka sedemikian terpuruk. Adalah sikap hura-hura suami para perempuan Tionghoa dengan menjajakan uangnya seenak perut. Cokek dan judi menjadi menu utama dalam kehidupan. Dengan kata lain, ketimpangan yang menimpa mereka juga akibat aksi yang mereka lakukan. Sepatutnya pula dijadikan bahan permenungan.
Dengan menghadirkan dua sisi hal sekaligus, yakni keterpurukan warga Tionghoa dan sebab yang menjadikan mereka begitu, Rebeka dan Triharyanto sejatinya tengah menjajaki kejujurannya dalam mengambil "potret". Layaknya hasil pemotretan, gambar yang tampak adalah apa yang dijadikan bidikan. Baik-buruk ditampilkan, sehingga kadar manipulasi semakin tipis.
Tak hanya menarasikannya, kedua penulis juga menyertakan lampiran-lampiran yang berisi data penduduk yang didampingi LADI, satu lembaga yang membidani lahirnya gerakan antidiskriminasi. Ini sekaligus bukti bahwa tak hanya tujuh orang yang dibina dalam penyelesaian masalah kependudukan, akan tetapi puluhan. Data itu seolah menegaskan keseriusan mereka mengadvokasi tindak ketidakadilan birokrat.
Ahmad Khotim Muzakka, penikmat kajian perempuan, tinggal di Semarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 7 Juni 2009
No comments:
Post a Comment