Friday, June 19, 2009

Sastrawan Aceh: Sunyi di Tengah Keramaian

-- Anung Wendyartaka

KARYA-KARYA besar sering kali dihasilkan dari tempat-tempat yang jauh dari memadai. Tengok saja karya legendaris novel petualangan Old Shatterhand dan sobatnya orang Indian, Winnetou, karya Dr Karl May maupun tetraloginya Pramoedya Ananta Toer yang dihasilkan dari balik jeruji penjara. Masih banyak karya-karya besar dunia lain, terutama sastra, yang dihasilkan dari tempat yang jauh dari fasilitas memadai.

Mungkin hanya kebetulan saja apabila salah satu karya besar dalam dunia sastra di bumi Serambi Mekkah Aceh, yaitu Ensiklopedi Aceh, juga dihasilkan dari sebuah mess yang berbentuk rumah petak ukuran sekitar 3 x 5 meter. Rumah tanpa kamar itu terletak di dalam lingkungan Taman Budaya Aceh di kota Banda Aceh, Provinsi Nanggore Aceh Darussalam. Di tempat inilah, Lesik Keti Ara atau lebih dikenal dengan LK Ara (71), salah satu sastrawan Aceh, ditemani istrinya menyusun karya babon, yakni Ensiklopedi Aceh, dalam 2 tahun terakhir ini.

Di dalam rumah tanpa kamar yang merangkap fungsi sebagai kamar tidur dan ruang kerja yang disesaki dengan buku dan naskah, LK Ara, pensiunan penerbit Balai Pustaka Jakarta, sekarang tengah menyusun Ensiklopedi Aceh yang kedua. Ensiklopedi Aceh jilid satu dengan tebal lebih dari 460 halaman yang disusunnya bersama Merdi sudah terbit tahun 2008. ”Jilid 2 ini bisa lebih dari 1.000 halaman,” kata LK Ara menjelaskan.

Ensiklopedi Aceh merupakan pengembangan dari buku Seulawah: Antologi Sastra Aceh yang diterbitkan oleh Yayasan Nusantara Jakarta bekerja sama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias dan pemda tahun 1995. ”Jika pada Seulawah berisi karya-karya sastrawan Aceh dari Hamzah Fansuri pada awal abad ke-17 sampai sekarang, pada Ensiklopedi Aceh nama pengarang disertai riwayat hidup singkat, pencapaiannya, dan contoh karyanya yang berupa tulisan pendek, seperti puisi, hikayat diurutkan secara alfabetis. Karya berupa novel atau prosa tidak bisa dicantumkan karena akan menjadi terlalu panjang,” tandas LK Ara. Selain itu, Ensiklopedi Aceh juga memuat hikayat dan adat istiadat Aceh. ”Buat kita di Indonesia, sebenarnya hikayat adalah juga sastra atau bagian dari sastra. Tetapi, kalau di Aceh sini kalau disebut sastra saja orang belum tahu kalau ada hikayat di dalamnya. Oleh karena itu, dalam sampul ensiklopedi ini, saya tampilkan subjudul adat, hikayat, dan sastra.

Menggumuli sastra dan budaya memang sudah menjadi jiwa sekaligus jalan hidup LK Ara. Kendati sudah sepuh, semangat untuk terus berkarya di bidang sastra, terutama sastra Aceh, tetap menggelora di tengah minimnya fasilitas dan penghargaan yang memadai dari pemerintah maupun masyarakat. Sudah lebih dari 10 tahun semenjak pensiun dari Balai Pustaka tahun 1985, LK Ara yang juga dikenal sebagai penyair dan penulis cerita anak-anak ini dengan tekun mendokumentasikan syair Gayo yang biasanya didendangkan para seniman Gayo. ”Saya pernah dalam setahun di Takengon (Gayo) sendiri. Tiap hari tertentu mereka (penyair) itu saya undang ke tempat saya. Saya ajak ngobrol dan menyalin lirik-lirik mereka,” kata LK Ara. Ia lebih memfokuskan untuk mendokumentasikan lirik atau teks, bukan lagunya. ”Karena saya bukan penyanyi,” kata Ara. Syair Gayo yang disalin lewat rekaman kaset ini tebalnya sudah ribuan halaman. Padahal, teks tersebut masih dalam bahasa asalnya. ”Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia bisa 2 juta halaman lebih,” tandas Ara.

Usaha yang dilakukan LK Ara untuk mendokumentasikan syair Gayo selama puluhan tahun ini bukan tanpa halangan. Namun, berkat ketekunan, kesabaran, dan kecintaannya untuk melestarikan salah satu kekayaan budaya Aceh ini, persoalan-persoalan yang ada dapat teratasi. ”Penyair Gayo itu umumnya enggak hirau dokumentasi. Begitu selesai mendendangkan syair, enggak lagi terdokumentasi,” kata LK Ara. Hal inilah yang menjadi salah satu kesulitan LK Ara dalam mendokumentasikan syair Gayo. Contohnya, dalam mengumpulkan karya Teuku Yahya, ia harus rela mengunjungi istri Teuku Yahya, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, seperti tidak habis akal, LK Ara pun mencari murid-murid Teuku Yahya. ”Malam-malam ada yang datang, namanya Siti Juariah kalau tidak salah. Masih ingat lagu-lagu karya mendiang gurunya?” tanyanya. ”Oh, bisa,” jawab Juariah. Kemudian dia langsung berdendang. ”Dari situ salah satu contoh saya mengumpulkan syair Gayo,” tandas LK Ara.

LK Ara membedakan antara syair Gayo dan Didong. Menurut dia, kendati keduanya sama-sama didendangkan, Didong lebih membicarakan masalah duniawi. Sementara syair Gayo temanya lebih religius dan biasanya memakai tradisi Islam.

Dalam satu-dua bulan ini, salah satu buku yang berisi syair Gayo yang ia kumpulkan rencananya akan terbit. Selain itu, ada satu naskah sastra Gayo yang juga sudah siap terbit. ”Ini adalah salah satu dari sastra Gayo selain Didong, peribahasa, pantun, teka-teki atau kekitikan, teka-teki panjang yang disebut ulo-ulo dan sebuku atau seni meratap,” jelas LK Ara yang bersama K Usman, Rusman Sutiasumarga, dan M Taslim Ali ikut mendirikan Teater Balai Pustaka (1967). Selain itu, dulu ia juga pernah memopulerkan penyair tradisional Gayo atau Didong yakni, almarhum Abdul Kadir To’et pentas di berbagai tempat di Indonesia.

Dalam menyelesaikan karya-karyanya, LK Ara biasanya tidak pernah memasang tenggat waktu kapan akan selesai. ”Jadi, saya sesantainya dan seadanya saja. Kadang ada yang mau membantu, seperti dinas kebudayaan ada biaya sedikit. Hal ini bisa lebih mempercepat,” jelas Ara. Kendati hidup di tengah situasi yang kurang memadai untuk berkarya, seperti rumah tanpa kamar, jalan becek pada waktu hujan, dan minimnya honor yang diterima, LK Ara tetap teguh bekerja untuk menghasilkan karya-karya besar bagi dunia satra Aceh.

TA Sakti

Terus berkarya kendati hanya bermodal semangat dan kecintaan terhadap sastra Aceh seperti yang dilakukan LK Ara ini tidak jauh berbeda dengan yang dialami Teuku Abdullah atau yang lebih dikenal dengan TA Sakti. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Syiah Kuala, Banda Aceh, ini juga dikenal sebagai pelestari sastra Aceh seperti juga LK Ara. Berbekal kemampuan membaca huruf Arab Melayu (Pegon) dan kecintaannya terhadap sastra Aceh sejak tahun 1992, ia mulai mengalihaksarakan (transliterasi) naskah-naskah sastra Aceh ke dalam huruf Latin. ”Tujuannya biar orang Aceh bisa kenal lagi hikayat,” ujar TA Sakti.

Menurut TA Sakti, sebelum tahun 1960, hikayat masih sangat berpengaruh bagi masyarakat Aceh. ”Kalau mau memajukan orang Aceh itu lewat hikayat. Tulis hikayat sebagus-bagusnya, bagi orang Aceh itu akan berpengaruh. Tetapi, sekarang orang sudah tidak kenal hikayat lagi,” kata TA Sakti.

Awalnya, kegiatan TA Sakti melatinkan hikayat dan naskah Aceh lain itu hanya sekadar mengisi waktu luang. ”Ada naskah yang sudah dibuang di tempat sampah. Sudah tidak ada yang menyentuh lagi. Jadi saya sentuh, gara-gara tidak ada kegiatanlah, untuk mengisi waktu luang,” kata TA Sakti.

Saat ini TA Sakti yang pernah mendapatkan Bintang Budaya Parama dari pemerintah berkat jasanya melestarikan naskah-naskah kuno Aceh ini sudah berhenti mentransliterasi hikayat mengingat kondisi fisiknya yang semakin lemah. ”Sekarang ini mengetik satu halaman saja kaki saya sudah sakit. Kalau diteruskan terus bengkak. Jadi, berpikir pun tidak boleh terlalu berat,” kata TA Sakti. ”Kalau pergi ke mana-mana saya tergantung sama tukang RBT (rakyat banting tulang) atau ojek karena harus dipapah,” tutur TA Sakti.

TA Sakti menyalin hikayat sama sekali bukan demi uang. Bagaimana tidak, satu buku kecil/saku dengan hikayat ukuran 10,5 X 16 cm dan tebal sekitar 80 halaman ia jual ke toko buku seharga Rp 1.200,-. Biasanya ia mencetak paling banyak 1.000 eksemplar, sebagian besar malah hanya dicetak 500 buah. ”Saya kira semua (judul) kurang laku, amat kurang. Malah sudah tidak laku lagi. Bukan zamannya hikayat lagi,” kata TA Sakti. Dengan keuntungan hanya sekitar Rp 600,- per buku karena ongkos cetaknya saja sudah Rp 600,- per buku, itu pun kalau laku semua, ia hampir-hampir sama sekali tidak mendapat keuntungan materi. ”Saya malah rugi, buat ongkos RBT ke sana kemari dan beli kertas sudah harus nombok. Kalau bukan gara-gara kaki saya patah dan tidak ada kegiatan. Saya tidak akan mau,” tutur Sakti. Selain diterbitkan dalam bentuk buku saku, sebelum ini ia juga menyalin hikayat untuk koran lokal, Serambi Indonesia. ”Lebih kurang ada 1.000 hari dimuat, jadi tiap hari bersambung. Satu hari 2 judul. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi,” jelas TA Sakti.

Saat ini TA Sakti sudah tidak lagi menyalin hikayat lagi setelah sudah mentransliterasikan 25 judul hikayat, tambeh, dan nazam Aceh, seperti Hikayat Mendeuhak dan Hikayat Nabi Yusuf, serta lebih kurang 22.000 buku saku telah ducetak. Salah satu hikayat terakhir yang dibukukan oleh penerima penghargaan Kehati Award 2001 kategori ”Citra Lestari Kehati” berkat kumpulan hikayat yang bertema cinta lingkungan hidup, seperti Wajeb Tasayang Binatang dan Binatang Ubit Kadit Lam Donya, ini adalah hikayat Tambeh Tujoh Blah (2008). Juga tulisan mengenai salah satu sastrawan Aceh paling populer Syekh RIS Kruengraya yang meninggal tahun 1997.

Padahal, masih banyak bahan-bahan yang belum disentuh. Ada dua prosa Aceh yang belum ia sentuh dan bahan-bahan lain yang kemungkinan besar masih tersimpan di rumah-rumah orang.(bip/wen, Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Jumat, 19 Juni 2009

No comments: