-- Atep Kurnia
BAGAIMANA priayi Sunda dahulu kala berpuasa? Kita dapat menelusurinya dari bahan-bahan pustaka berbahasa Sunda. Upamanya, saya membuka-buka kitab Kenang-kenangan (1936) buah tangan P.A.A. Achmad Djajadiningrat; memoir Sjarif Amin, Keur Kuring di Bandung (1983); Dogdog Pangrewong (1931) karya G.S., terutama dalam cerita Guguyon Bulan Puasa; dan tentu saja Ramadhan di Priangan (1996) karya Haryoto Kunto.
Dari penelusuran itu, saya mendapatkan beberapa benang merah yang dapat mempertautkan antara puasa dan priayi Sunda. Pertama-tama, yang terbaca adalah seputar kebiasaan priayi berpuasa. Kedua, berhubungan dengan keabangan priayi ketika berhadapan dengan puasa. Terakhir, yang terpikir oleh saya adalah hak istimewa (privilege) priayi menjelang Lebaran.
Mengenai kebiasaan priayi Sunda berpuasa saya timba dari buah tangan P.A.A. Djajadiningrat, Kenang-kenangan. Buku ini cukup detail ketika menggambarkan proses menjelang, mengisi, dan mengakhiri puasanya kalangan priayi Sunda, yang diwakili oleh kaum menak Serang, tempat P.A.A. Achmad Djajadiningrat dibesarkan.
Karena bagian dari kenangan masa kecil, dalam uraiannya pun dimulai ketika anak-anak kecil mengikuti puasa pada 1880-an. Menurut dia, bulan Puasa membawa berkah bagi kalangan anak-anak priayi Sunda. Karena pada hari-hari biasa, mereka tidak diperkenankan makan malam bersama-sama orang tuanya, melainkan selalu sesudahnya. Menginjak puasa, kebiasaan tersebut berubah. Anak-anak menak boleh makan bersama orang tua mereka. Apalagi, pada bulan suci Ramadan para priayi dan kalangan orang yang berada banyak yang menyimpan makanan dari Mekah, misalnya kurma, madu arab, dan mentega arab (samin), juga buah-buahan kering, seprti kismis dan tin.
Selain itu, anak-anak menak pun diperkenankan meminta makanan tertentu untuk berbuka. Kira-kira pukul 11.00 adalah saat-saat anak menak memohonnya. Begitu juga tergambar jenis makanan untuk buka hingga sahur. Demikian urutannya: untuk buka, teh dan kue; sekitar pukul 19.00 makan gulai, dan lain-lain; antara pukul 21.00-22.00 makan penganan; antara pukul 2.00-3.00 makan lengkap.
Seusai Tarawih disambung mikra: membaca Alquran bahkan hingga saur. Setelah itu, jemaah disuguhi teh dan kue. Setiap tamat membaca Alquran, pada malam 15 hari bulan Puasa (qunut), dan mamaleman dihidangkan nasi dengan gulai. Yang istimewa adalah malam kelima belas, karena tidak makan nasi melainkan ketupat. Bentuknya macam-macam. Ada yang berbentuk burung, huruf Arab, dan lain-lain.
Malam ke-21 hingga ke-29 pun istimewa, karena selalu penuh dengan hidangan. Terutama maleman salikur. Di tengah halaman depan diletakkan pohon pisang. Di sekeliling pohon tersebut ada meja-meja dari anyaman bambu. Pelita dipasang. Orang-orang miskin dipanggil berbuka di sana. Di atas meja itu telah terhidang berbagai makanan. Pada malam itu pun anak-anak tidak boleh menyulut mercon.
**
"Tuan Adipati! Apa ini ambtenaar-ambtenaar semuah turut puasa seperti orang Kaum?"
"Tentu, Tuan. Tapi coba saya mau priksa," lahir Kangjeng Dalem, tuluy mariksa ka priayi-priayi. "Wadana-wadana jeung salianna! Naha paruasa?"
Percakapan di atas saya kutip dari buku Dogdog Pangrewong (1930), kumpulan cerita pendek pertama yang berbahasa Sunda. Namun yang menarik, kutipan yang saya ambil berasal dari salah satu cerpen yang khusus mengetengahkan latar belakang Ramadan, Guguyon dina Bulan Puasa.
Dari percakapan yang mengetengahkan dialog antara Asisten Residen dan seorang bupati di tatar Sunda tadi, ada yang patut kita pikirkan. Mengapa, misalnya, pengarang -- dengan meminjam "kacamata" orang asing yang sudah terbiasa hidup di lingkungan menak, seorang asisten residen -- membedakan pandangan atas puasanya menak dengan orang-orang kaum? Apakah hal ini mencerminkan pandangan dunia (world view) golongan menak yang "menganggap remeh" hal-hal yang bersifat ritual. Atau dengan kata lain, apakah pernyataan tersebut bisa jadi menggambarkan kadar pemahaman priayi Sunda atas Islam?
Barangkali dalam batas tertentu, tesis Geertz mengenai keabangan para priayi yang bertolak belakang dengan kaum santri mendekati kebenarannya. Kutipan tadi pun menemui konfirmasinya masih dalam cerita tersebut, tetapi letaknya sebelum bagian dialog antara petinggi kaum kolonial Belanda dan petinggi pribumi. Kenyataan yang dihidangkan adalah "kelucuan" seputar "bocor puasanya" tokoh juru tulis dengan wedana.
Seorang juru tulis tertangkap basah berbuka puasa bersama istrinya oleh wedana, pada suatu siang. Esok harinya, saat juru tulis hendak menyerahkan berkas-berkas yang harus ditandatangani wedana, dia melihat kucing yang datang menjilati sarikaya, dan kopi susu yang masih mengepul. Ketika ditanya soal kopi susu, Juragan Wedana menjawab,
"Huss! Eta mah tangtu ajang … ajang juraganana," lahir juragan wadana bari gumujeng. "Puguh poe ieu mah batal, Ulis, rada ruy-rey teu ngareunah badan!"
"Sumuhun dawuh; sapertos jisim abdi mangkukna tea."
"His, ari kitu mah, atuh sasalaman ngaranna. Ngan ulah rea beja ka nu sejen bae, bisi moal aya nu puasa! …"
Namun, bisa juga tidak sampai berhubungan dengan keabangan priayi, bila mengingat judul yang diberikan pengarang pada cerita pendeknya, Guguyon Bulan Puasa. Apakah dengan judul demikian, ditambah keterangan pengarang di awal antologi tersebut yang menyatakan memaksudkan tulisan-tulisan dalam buku tersebut sebagai pelipur lara, bisa menjawab ketidakabangan priayi Sunda manakala berpuasa Ramadan. Jawabannya, silakan kita bersama-sama pikirkan.
**
terakhir, yang terpikir oleh saya adalah hak istimewa priayi menjelang Lebaran. Dalam hal ini terpaut dengan pakaian dan makanan yang "harus" disediakan bagi mereka sebagai bentuk bakti.
Terkait dengan pakaian untuk Lebaran priayi, keterangan P.A.A. Achmad Djajadiningrat pun menjadi relevan. Dalam Kenangan-kenangan, dia mengenangkan tentang pakaian yang harus dipakai bupati ketika Lebaran tiba. Katanya, pakaian yang harus dipakai priayi paling atas di kalangan menak atas itu, berjumlah tiga pasang: pakaian haji, pakaian kebesaran, dan pakaian kesatria zaman dulu. Betapa mewah.
Satu lagi adalah kikiriman dari cacah-somah-bawahan kepada golongan priayi, berupa makanan. Dalam hal ini, kita dapat menimbanya dari pengalaman Haryoto Kunto dalam bukunya, Ramadhan di Priangan (1996). Haryoto Kunto, seraya mengenangkan keluarganya saat Lebaran juga menyebutkan perihal kebiasaan ibu dan ayahnya yang menjadi kepala stasiun kereta api di Cibatu, Garut, setahun sekali harus "sowan" ke Kabupatian Garut, seraya membawa kikiriman berupa makanan Lebaran buatan ibunya.
Demikian pula yang terjadi pada Rachmatullah Ading Affandie (RAF). Dia pun memotret kikiriman makanan kepada priayi dalam Dongeng Enteng ti Pasantren (1961). Di dalam salah satu dari kumpulan cerita "ringan" ini, sang ajengan mengirimi ikan kepada menak-menak, ketika dia memanen kolamnya menjelang Lebaran.
Jumlah kikiriman tersebut menunjukkan status menaknya. Konsekuensinya, menak paling tinggi seperti bupati tentu memperoleh kiriman yang paling banyak. Yang menarik, istilah tersebut pun berbeda ketika dikenakan bagi kalangan asing, seperti bangsa Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya. Istilahnya bagi mereka adalah panganter, buah tangan "kerajinan" Belanda mengelompok-kelompokkan orang.
Atep Kurnia, bergiat di Rumah Baca Buku Sunda.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 5 September 2010
No comments:
Post a Comment