Jakarta, Kompas - Pendidikan tinggi dirasakan semakin elitis dibandingkan tahun 1980-an hingga 1990-an. Kesertaan masyarakat dari kalangan tidak mampu mengecil. Biaya kuliah yang semakin tinggi menjadi hambatan utama bagi orang miskin untuk bisa duduk di bangku kuliah.
Kenyataan itu terlihat dari kajian disparitas angka partisipasi kasar (APK) berdasarkan latar belakang ekonomi siswa.
Dengan melihat data sensus penduduk nasional tahun 2003-2008, disparitas APK perguruan tinggi antara siswa yang berasal dari keluarga kaya dan miskin sangat tinggi.
Akses orang termiskin duduk di jenjang perguruan tinggi pada tahun 2008 baru mencapai 4,19 persen. Adapun akses orang terkaya sudah mencapai 32,4 persen meski turun sekitar 3 persen. Sementara dari kelompok terkaya kedua, terjadi kenaikan sekitar 1 persen.
Secara nasional, APK perguruan tinggi tahun ajaran 2009/2010 baru mencapai 17,93 persen dari total jumlah pemuda usia kuliah. Jumlah pemuda usia kuliah, 19-24 tahun, sekitar 28 juta orang.
”Saya melihat perguruan tinggi semakin elitis bagi orang miskin. Pada tahun 1980-an hingga 1990-an, orang miskin yang kuliah jumlahnya bisa di atas 10 persen. Berarti kondisi sekarang semakin memprihatinkan bagi orang yang tidak punya duit,” kata pengamat pendidikan Darmaningtyas yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (12/9).
Menurut Darmaningtyas, akses masuk ke bangku kuliah di kalangan siswa miskin menurun drastis memasuki tahun 2000-an. Pasalnya, pada masa itu perguruan tinggi negeri mulai membuka jalur-jalur masuk khusus yang pada kenyataannya lebih mudah diakses siswa kaya.
Logika PTN yang membuka jalur masuk khusus agar terjadi subsidi silang, kata Darmaningtyas, tidak tepat. Pendidikan tinggi bukan perseroan terbatas yang memberikan layanan berbeda sesuai kemampuan ekonomi.
”Perguruan tinggi itu memberikan pelayanan dan hak warga negara, tidak membedakan kaya dan miskin. Dalam pendidikan, aksesnya mesti sama. Yang dibedakan itu dalam soal pajak orang miskin dan kaya yang nantinya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan,” ujar aktivis di Taman Siswa tersebut.
Oleh karena itu, pendidikan tinggi sekarang, terutama PTN, mesti murah. Untuk itu, pemerintah harus meningkatkan alokasi anggaran untuk tingkat pendidikan tinggi.
Selain itu, penerimaan mahasiswa mesti terbuka dan serentak. Jangan sampai ada hambatan teknologi buat siswa dari daerah terpencil dengan diberlakukannya sistem online.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengakui, akses pendidikan di jenjang menengah dan tinggi masih timpang antara yang miskin dan kaya. Namun, Nuh menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh diskriminatif. Karena itu, upaya untuk meluaskan akses masyarakat ke semua jenjang pendidikan terus ditingkatkan. (ELN)
Sumber: Kompas, Senin, 13 September 2010
No comments:
Post a Comment