Jakarta, Kompas - Meski secara nasional angka putus sekolah mengalami perbaikan, di 19 provinsi angka putus sekolah di tingkat SMP masih cukup tinggi. Hal ini tecermin dari angka partisipasi kasar untuk tingkat SMP yang di bawah pencapaian nasional sekitar 98,11 persen.
Angka partisipasi kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapa pun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia di jenjang pendidikan tertentu.
Pencapaian rata-rata angka partisipasi kasar di jenjang SMP/MTs secara nasional 2009/2010 mencapai 98,11 persen atau di atas target 95 persen. Artinya, masih ada sekitar 1,89 persen penduduk usia SMP yang tidak sekolah. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah siswa SMP sederajat sekitar 12 juta siswa.
Sementara anak usia SMP yang tidak menikmati bangku pendidikan SMP, sebagian tersebar di 19 provinsi, termasuk Jawa Barat. Provinsi lainnya adalah Papua Barat yang APK-nya 79,59 persen, Nusa Tenggara Timur (79,91), Papua (89,74), Kalimantan Barat (82,11), Kalimantan Selatan (86,76), dan Kalimantan Tengah (89,45). Adapun yang hampir mendekati rata-rata nasional adalah Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Banten, Lampung, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.
Biaya dan akses
Ade Irawan, Ketua Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, di Jakarta, Selasa (7/9), mengatakan, persoalan akses ke pendidikan dasar umumnya karena kendala biaya sekolah. Hingga saat ini upaya menghilangkan hambatan bagi warga untuk mendapat pelayanan pendidikan paling tidak pada tingkat SD dan SMP atau sederajat masih belum tercapai.
Penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch selama 2006-2008 memperlihatkan bahwa sekolah masih membebani orangtua dengan beragam biaya. Pungutan ada mulai dari proses penerimaan murid hingga kelulusan.
Pada 2005, total rata-rata biaya sekolah yang dikeluarkan orangtua pada tingkat SD sebesar Rp 3,5 juta per tahun. Pada 2008 meningkat menjadi Rp 4,7 juta per tahun.
Program bantuan operasional sekolah belum efektif. Sebab, dari sisi alokasi dana yang disediakan masih jauh dari kebutuhan.
Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, pencapaian rata-rata nasional tersebut tidak menggambarkan pembangunan pendidikan yang merata. Pendidikan masih timpang di banyak daerah, baik dari segi kualitas, ketersediaan sarana dan prasarana, maupun guru.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, dalam memandang keberhasilan pencapaian pendidikan dasar nasional tetap tidak bisa mengabaikan kondisi riil di level provinsi hingga kabupaten/kota. Untuk itu, peningkatan akses wajib belajar sembilan tahun harus bisa diselesaikan secepatnya. (ELN)
Sumber: Kompas, Kamis, 9 September 2010
No comments:
Post a Comment