-- Raini MP Hutabarat
SUATU kali saya menanggapi fesbuk, istilah gaul bagi facebook, seorang teman yang juga senior saya di kampus ketika masih kuliah. Teman itu kemudian membalas dengan menuliskan kode D. Serta-merta ”D” saya artikan sebagai diam. Saya merasa sakit hati. Ketika itu saya terbilang orang baru di lingkungan media jejaring sosial, jadi belum paham benar maksud kode-kode yang digunakan.
Sejak itu, tiap kali membuka fesbuk, saya agak cemas bila ”bertemu” dengan teman itu. Lama-lama saya sadar, ternyata banyak yang menggunakan kode D di ruang komentar. Saya tanya adik saya apa arti ”D”. Ternyata artinya: tertawa lebar.
Kehadiran ponsel dan media jejaring sosial—fesbuk dan twitter—harus diakui telah ikut mendorong munculnya ragam bahasa tersendiri. Istilah populernya bahasa alay, akronim dari anak lebay, yakni bahasa tulis berupa campuran bahasa gaul lisan, bahasa asing khususnya Inggris, singkatan, kode, angka, dan visualisasi. Bahasa ini berkembang di kalangan remaja, namun dalam pergaulan media jejaring sosial juga digunakan orang dewasa bahkan lansia. Semakin lama bahasa ini kian berkembang sehingga seorang dewasa yang telat memiliki akun, seperti saya, perlu waktu adaptasi sebentar. Bahasa alay pada dasarnya memanfaatkan bahasa prokem anak muda Ibu Kota, ragam bahasa yang berkembang di akhir 1980-an, dan kemudian jadi ragam bahasa media jejaring sosial yang khas. Dalam pergaulan media jejaring sosial, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar malah membuat orang tampak aneh, kaku, dan lucu.
Di sini saya tak hendak menganalisis faktor penyebab pemunculan bahasa alay, apalagi mengangkat contoh kasus demi kasus yang bertaburan di media jejaring sosial. Tentu saya ikut prihatin karena bahasa alay banyak digunakan kalangan remaja, kelompok usia yang masih harus belajar disiplin berbahasa. Menurut data Kemenkominfo, pengakses internet terbanyak adalah remaja, mencapai 64 persen. Indonesia berada di peringkat tiga dunia sebagai pengguna media jejaring sosial (26 juta), setelah Amerika Serikat (130 juta) dan Inggris (28 juta). Bayangkan, 26 juta dari 234,2 juta penduduk Indonesia (Data BPS 2010) menggunakan bahasa alay, kendati frekuensi penggunaannya terbanyak di kalangan remaja. Bisa disimpulkan, selama media jejaring sosial dan SMS ponsel digunakan, bahasa alay akan terus berkembang.
Prinsip bahasa alay sederhana: yang penting teman-teman menangkap pesan yang disampaikan. Meski bahasa prokem juga tak seragam karena tergantung kepada daerah, misalnya bahasa prokem Tegal, masih ada aturan tak tertulis dalam penggunaannya. Penggunaan partikel untuk menekankan emosi tertentu (deh, nih, dong, sih) dan sisipan (-ok- pada bapak menjadi bokap, pada nyak jadi nyokap) masih bisa ditelusuri.
Dalam bahasa alay, orang bebas menyingkat bahasa resmi, Indonesia maupun Inggris, menambah unsur visual, angka, tanda, dan kode. Biasanya dalam menyingkat kata, unsur vokal dihilangkan, dan tatkala semua kata disingkat, teman harus paham. Tahu sama tahu.
Beberapa contoh bahasa alay: ”Aq ke rmhx hr ni” (aku pergi ke rumahnya sore hari ini), ”mkcih, ya” (terima kasih, ya), ”otw ke rmh” (on the way ke rumah), ”gapapa” (tidak apa-apa), ”))” (kode untuk senyum, sering ditulis pada akhir komentar, misalnya ”I luph u:))”), ”P” atau ”Piiis” (peace artinya ”damai, jangan marah, dong”). Masih banyak lagi.
Kesimpulan apakah yang bisa dipetik dari bahasa alay? Pemeo ”bahasa menunjukkan bangsa” tampaknya tak lagi berlaku, digeser pemeo ”bahasa menunjukkan media”.
Rainy MP Hutabarat, Cerpenis
Sumber: Kompas, Jumat, 17 September 2010
No comments:
Post a Comment