Sunday, September 26, 2010

Merayakan Tradisi Seni Lukis

-- Benny Dwi Koestanto

DELAPAN seniman ikut ambil bagian dalam pameran lukisan Integritas Jiwa Tampak di Bentara Budaya Bali (BBB), Gianyar, Bali, 23 September-3 Oktober 2010. Di tengah kencenderungan wacana dan pasar seni rupa kontemporer, pameran itu menjadi semacam ”perayaan” kembali seni lukis yang mengedepankan tradisi, ritual, sekaligus bakat dan keterampilan senimannya.

Para seniman itu adalah Ipong Purnama Sidhi, Made Budhiana, Sutjipto Adi, Nyoman Erawan, Nyoman Sujana Kenyem, Ida Bagus Purwa, Ni Nyoman Sani, dan Rudy Sri Handoko. Total lukisan yang ditampilkan berjumlah 23 buah. Bertindak sebagai kurator adalah Arif Bagus Prasetyo. Pameran itu dibuka oleh seniman Bali, Popo Danes, Kamis (23/9).

Direktur Eksekutif Bentara Budaya Efix Mulyadi mengungkapkan, kegiatan itu memang didasari oleh keprihatinan yang disebutnya sebagai keprihatinan awam terhadap kecenderungan wacana dan pasar seni rupa yang melulu merujuk pada kata kontemporer.

”Ada semacam ketidakadilan. Jika Anda (seniman) tidak memiliki ’KTP’ kontemporer, maka Anda tidak masuk ke dunia kontemporer. Apakah predikat sebagai seniman kontemporer itu benar-benar ’menghantui’ mereka, sehingga membuat mereka bertanya kapan mendapatkan predikat demikian,” kata Efix.

Menurut Efix, pertanyaan itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan turunan. Seperti bagaimana memosisikan sensibilitas personal, bakat dan keterampilan tangan, spiritualitas sang seniman, sehingga mereka yang masih tekun dengan semua itu pantas disebut kuno dan bahkan tidak memiliki masa depan.

Arif Bagus Prasetyo mengatakan, di era postmodern seni lukis beserta tradisi melukis modern yang memuliakan otonomi ekspresif individual dilecehkan sebagai medium yang telah lapuk: sebuah ragam seni rupa kedaluwarsa yang meromantisir sang seniman dan berlagak seolah-olah seni adalah perjuangan heroik. Kabar kematian itu makin terasa nyaring di tengah kenyataan bahwa lukisan sebagai medium analog, yang dulu sangat berwibawa, kini semakin tersaingi oleh berbagai medium digital canggih— fotografi, film, video, komputer, teknologi cetak, dan internet.

Skeptis

Bagi mereka yang skeptis, seni lukis masih bertahan sampai sekarang bukan karena mampu menjawab perubahan zaman, melainkan karena berbagai pihak tak henti-henti mempromosikannya: museum, galeri, kolektor, kurator, kritikus, pengamat, akademi seni rupa, ataupun balai lelang.

Seorang pelukis tidak menyalin realitas, tetapi mengungkapkan penghayatannya terhadap realitas. Penghayatan inilah yang mentransendenkan bahan mentah medium lukis, mengangkat harkat materi lukis yang tak bermakna menjadi kehadiran yang bermakna, meniupkan ruh pada lukisan. Mengutip Donald Kuspit dalam The Painterly Figure, kata Arif, transendensi diri, properti-properti fisik medium seni lukis modern menggerakkan perasaan-perasaan terdalam kita, ”menjelaskan” kedalaman kita kepada kita. Hal-hal itulah yang antara lain menjadi alasan pemilihan tema pameran.

”Delapan peserta pameran ini adalah pelukis yang percaya kepada pentingnya merawat tradisi melukis. Dengan cara masing-masing, mereka menjaga integritas seni lukis sebagai medium fisis, optis, dan historis yang digeluti pelukisnya dengan intim dan sungguh-sungguh. Pada karya-karya mereka, ”jiwa tampak” bukan saja terbaca pada gagasan dan pemikiran, tetapi juga pada properti-properti fisik lukisan, di tiap-tiap corak kuas yang ada,” kata Arif.

”Melukis adalah menyebarkan kegelisahan dalam bentuk karya. Kegelisahan itu macam-macam, dilihat dari sisi psikologis, misalnya, yang ditampilkan dengan karakter ekspresi tertentu berhadapan dengan realitasnya,” kata Erawan.

Ia menampilkan tiga karya, yakni Furious, Shocking, dan Suspicious. Ketiganya menggabungkan abstrak dan realis dalam karya berukuran cukup besar. Furious, misalnya, berukuran 3 meter x 4 meter. Bakat dan kemampuannya menjadi seorang realis, kata Erawan, menguatkan nuansa abstrak dalam karyanya.

Menurut Arif, dalam proses berkarya Ipong, Erawan, dan Purwa dengan intens menginterograsi realitas diri manusia di tengah medan kemelut daya-daya yang opresif dan destruktif. Karya mereka memelihara kesetimbangan halus antara imajinasi yang hangat dan kalkulasi yang dingin. Karya Adi menyegarkan tradisi melukis dengan mengangkat teknik drawing (pensil pada kanvas) yang membutuhkan keterampilan, ketelatenan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Sementara itu, lukisan Rudy memperlihatkan suatu ekspresi realistik yang dihidupkan oleh tegangan-tegangan perasaan sang pelukis, dan juga memperkaya tradisi melukis dengan menjelajahi medium lukis yang tidak lazim (kopi pada kanvas).

Rudy mengaku tidak alergi dengan penggunaan teknologi. Ia, misalnya, menggunakan proyektor untuk memastikan tingkat presisi atas sketsa yang telah digambarnya dalam ukuran kecil. Menurut dia, kemampuan dan bakat sang seniman tetap terejawantahkan ketika melukis dalam setiap kanvas.

Sumber: Kompas, Minggu, 26 September 2010

No comments: