Sunday, September 05, 2010

Mudik, Kesemestaan, dan Pesta

MUDIK, inilah kesibukan setiap orang dalam beberapa hari ke depan menjelang Idulfitri. Sejenis kesibukan yang dipatuhi saban tahun sehingga mudik menjadi fenomena budaya yang menarik, ketika jutaan orang Indonesia yang tinggal di kota-kota besar bergerak serentak menuju ke kampung halaman. Semuanya hanya demi satu maksud, merayakan hari sakral di tempat di mana dulu mereka berasal. Memaknai kembali kebersamaan, meneguhkan kembali kesadaran pada identitas primordial, kekerabatan, nilai-nilai kolektif, dan segala sesuatu yang sebelumnya menjadi ikatan, yang nyaris tak pernah ditemukan dalam realitas budaya urban.

Oleh karena itu, kampung halaman di situ tak lagi melulu dipahami sebagai ruang fisik geografis, melainkan juga menjadi ruang yang merepresentasikan pemaknaan ihwal konsep waktu. Waktu yang tak melulu hanya hari dan besok pagi, tetapi juga hari kemarin yang menjadi asal. Kampung halaman adalah ruang masa lalu, tempat dari mana seseorang berasal.

Kesadaran ini pun lantas berkorelasi dengan penafsiran ihwal kesakralan Idulfitri, puncak dari proses pembersihan jiwa saat manusia lahir kembali dan mencapai fitrahnya sebagaimana awal mulanya. Awal mula inilah yang dimetaforakan dan dipersonifikasikan pada kampung halaman, orang tua, keluarga, dan seluruh kerabat. Seluruhnya itu, seperti disebut Mircea Eliade, merupakan kesakralan yang melampaui hal-hal yang sifatnya duniawi.

"Mudik itu ternyata bisa dilihat sebagai prinsip kesemestaan dari masyarakat kita, yaitu prinsip keterhubungan antara masa lampau-kini-dan tempat menyemai harapan untuk masa datang. Hal ini rupanya sangat mendasar. Oleh karena itu, betapa mahal, sulit, bahkan berisiko tinggi pun tetap ditempuh," ujar perupa Herry Dim.

Memang, mudik Lebaran sebagai perjalanan kembali ke kampung halaman selalu membuat banyak orang rela melakukan apa pun. Gerak serentak para pemudik membuat hukum ekonomi berubah, kenaikan harga-harga dan fasilitas transportasi yang serba terbatas. Akan tetapi, itu tak pernah mengurangi keinginan untuk hadir di kampung halaman.

"Semua orang berusaha bahkan berjuang untuk mudik. Tidak praktis. Mungkin tidak ekonomis. Akan tetapi, agama dan kekeluargaan bukanlah pasar saham atau kalkulasi politik," ujar penyair Agus R. Sarjono.

Oleh karena itu, mudik bisa disebut sebagai upaya menghadirkan tubuh di kampung halaman. Jika menurut Agus R. Sarjono mudik sebagai pesta maka tubuh mesti hadir di tengah pesta tersebut. Pesta ketika tubuh berada di tengah momen silaturahmi kesemestaan. Hadirnya tubuh di kampung halaman tak bisa diwakilkan oleh kecanggihan alat komunikasi apa pun.

Ini, menurut Herry Dim, membuktikan kehadiran tubuh di dalam suatu ruang kesemestaan itu memang tak bisa diganti kecuali oleh kehadiran itu sendiri. Ini pula yang menjadi ciri kebanyakan masyarakat kita yang kemudian mendasari cara pandang, cara berpikir, dan cara di dalam mengambil keputusan. Ringkasnya lagi "mudik" itu memperlihatkan bahwa kita sesungguhnya tak mengenal cara pandang ontologis, masa lalu dan masa kini tidak saling terpisah dalam posisi berhadapan seperti halnya "aku dan kau", melainkan berada di dalam satu dimensi kesemestaan.

"Perhatikan pula gramatika hampir seluruh bahasa di nusantara dan bahkan kemudian tampak pula pada bahasa Indonesia, itu tidak mengenal pemisahan antara kemarin, kini, dan yang akan datang. Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan pengertian sempurna dan tidak sempurnanya suatu sistem bahasa, melainkan berhubungan dengan sifat dasar yang kemudian tercermin di dalam sistem bahasanya," ujarnya.

Mudik dan kehadiran tubuh dalam kesemestaan kebersamaan pun lalu menjadi upacara. Semacam upacara tahunan manusia urban untuk kembali bersilaturahmi dengan waktu lampau.

"Masyarakat berpencar dari kampung halamannya masing-masing untuk bersekolah, bekerja, atau berdagang di daerah lain. Bagaimanapun, dibutuhkan "pesta" dan "momen" tertentu untuk semua yang berpencar itu pulang dan berkumpul lagi. Pesta dan momen apa lagi yang lebih besar dari Lebaran? Di momen magnetis itulah, semua terpanggil berkumpul kembali, keluarga, sahabat, kenangan-kenangan lama, pencapaian-pencapaian baru," ucap penyair Agus R. Sarjono.

Kampung halaman, menurut dia, adalah "rumah" tempat seseorang bisa bertetangga dengan kehidupan. Oleh karena itu, posisi kampung halaman sebagai "rumah" mengisyaratkan juga adanya tambatan keluarga, perkerabatan, dan lain-lain yang harmonis. Tanpa ini, tak ada orang yang sudi bersusah payah mudik ke suatu tempat hanya karena dia dilahirkan di sana.

Akan tetapi, Agus R. Sarjono menolak pandangan jika fenomana mudik Lebaran selalu dianggap berhubungan dengan spirit primordialisme. Apalagi, jika spirit primordialisme itu diartikan secara negatif sebagai chauvinisme kedaerahan yang fanatik dan sempit, yang kerap kali dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Fenomena mudik sama sekali bukan fenomena politis, melainkan fenomena kultural.

**

MUDIK Lebaran seolah menegaskan dikotomi antara kampung halaman sebagai ruang sakral dan kota dalam pengertian ruang profan. Mungkin saja benar, tetapi tampaknya tidak sesederhana itu. Pada bagian yang lain, meneguhkan kembali kebersamaan sebagai ruang asal identitas tidaklah selalu menekan pada ruang fisik seperti kampung halaman tetapi bisa juga lebih berfokus pada di mana orang-orang dicintai berada.

Dalam konteks kekinian, ketika teknologi informasi menjadi "panglima", dikotomi kampung halaman dan kota adalah jarak yang semakin kabur. Keduanya hanya dibedakan oleh jarak fisik, tetapi tidak secara kultural. Teknologi informasi dan budaya tontonan mengusung selera, orientasi, dan tabiat budaya saat kampung halaman tidak lagi dihidupi oleh etos desa seperti dulu. Kampung halaman kini, tak sedikit yang dihuni oleh orang-orang desa dengan mental dan orientasi budaya kota.

Di tengah perubahan inilah, kerap diam-diam muncul pertanyaan, benarkah mudik Lebaran masih memiliki relevansi dengan kesadaran kampung halaman sebagai ruang kesemestaan antara manusia urban dan waktu lampau yang diandaikan menjadi identitas asal?

Dalam pandangan Herry Dim, di sinilah letak masalahnya. Paling tidak, berkaca pada pengalaman personalnya, kampung halaman dia rasakan menjadi tempat yang menyimpan semacam energi sekaligus ruang untuk membaca kembali diri sendiri. Memasuki kampung halaman, dalam situasi semacam itu, tak cukup hanya menjadi sukacita. Sisi lainnya kampung menjadi memiliki fungsi penyeimbang bagi seseorang.

"Sementara pemudik pun umumnya kini cenderung membawa gaya hidup kota ke kampungnya ketimbang kembali menghirup dan menjadi orang kampung. Di dalam kenyataan mutakhir seperti ini, prinsip saling memberi dan saling menerima ’energi’ itu sesungguhnya kian tipis," tutur Herry Dim.

Meskipun demikian, mudik Lebaran tetaplah menjadi penting ketimbang memeriksa perubahan yang sedang berlangsung di kampung halaman. Dia tetaplah suatu pesta, suatu upacara untuk kembali menegaskan kesemestaan manusia. Dia dipatuhi bukan hanya sebagai suatu rutinitas, melainkan telah menjadi kewajiban. Tak ada yang mengelola seluruh kewajiban itu. Semua "prosesi" dilakukan agar tubuh hadir di kampung halaman, berinteraksi kembali dengan ruang-ruang asalnya dulu. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 5 September 2010

No comments: