Sunday, September 05, 2010

Mitos Kampung Halaman

-- Yasraf Amir Piliang

MENJELANG Idulfitri, kampung halaman atau pulang kampung menjadi urusan penting ribuan bahkan jutaan orang. Dia menjadi topik hangat, keperluan mendesak, atau bahkan tanah impian yang dinanti-nantikan. Kampung dan kampung halaman menjadi begitu penting, bernilai dan bermakna, sehingga jutaan orang rela berdesakan di gerbong-gerbong kereta api, berebut tempat di terminal bus, berpanas terik di jalanan agar dapat sampai ke kampung halaman.

Kampung halaman adalah konsep kultural untuk melukiskan desa lebih dari sekadar fakta geografis. Desa diberi makna kultural sebagai tempat kelahiran, tanah asal, tanah leluhur, tempat dibesarkan, tempat bermain, tempat bergurau, kubangan tempat kembali -- itulah makna kampung halaman. Desa sebagai fakta geografis diubah menjadi ranah semiotika, yaitu wilayah yang dimuati tanda dan konotasi-konotasi kultural: komunalitas, keramahan, kebersahajaan, ketulusan, kebersamaan, keguyuban, kegotongroyongan, dan tepo seliro.

Kampung halaman menjadi suatu teritorial eksotis, yang dipertentangkan dengan kota. Dia diimajinasikan sebagai tempat berteduh untuk mendapatkan rasa aman eksistensial dan pendefinisi diri autentik (true self): kedamaian, kelembutan, keakraban dan "keintiman". Dia merupakan pelepasan dari cengkeraman "tempat asing"(kota), yang penuh aroma persaingan, kekerasan, intimidasi, kecurigaan; individualisme, egoisme, hedonisme; keramahan artifisial, keakraban palsu, dan kedekatan penuh tipuan.

Kampung global

Kota dan desa selama ini dipandang sebagai dua wilayah yang dipertentangkan secara oposisi biner (binary opposition), karena baik secara geografis, sosiologis, psikis, maupun kultural keduanya dianggap memiliki ciri-ciri oposisional. Oposisi kota desa ini, seperti dikatakan Raymond Williams dalam The Country and the City (1983), adalah produk dari modernitas, yang di dalamnya kota dikonotasikan dengan pengetahuan, kemajuan, perubahan, rasionalitas, individualisme, sementara desa dengan mitos, kemandekan, tradisi, irasionalitas, dan kolektivitas.

Akan tetapi, ketika sistem transportasi, komunikasi, dan informasi semakin memadatkan jarak kota dan desa (time compression), perbedaan oposisional antara keduanya semakin tipis. Orang desa kini memiliki akses yang relatif sama dengan orang kota ke dalam aneka bentuk gaya hidup seperti kendaraan, alat komunikasi, gaya pakaian. Jarak antara kota dan desa baik secara geografis, sosial, psikologis, maupun kultural semakin dekat, sehingga tidak relevan lagi membicarakan sifat oposisional keduanya.

Marshal McLuhan, lebih dari empat puluh tahun yang lalu, telah melihat perubahan signifikan relasi kota dan desa akibat globalisasi. Di dalam War and Peace in the Global Village (1968) dia melihat, perkembangan globalisasi ekonomi, informasi, dan budaya telah menciptakan lingkungan global, yang pengalaman hidup di dalamnya tak jauh berbeda dengan yang kita sebut kampung halaman. McLuhan menyebutnya kampung global (global village), yang mengonversikan pengalaman hidup kampung di dalamnya.

Sebagaimana dikatakan pula oleh Howard Rheingold di dalam The Virtual Community (1994), di dalam kampung halaman global -- yang diperlengkapi dengan jaringan internet dan perlengkapan digital lainnya -- orang berkomunikasi, bercengkerama, berguyub, saling membantu, saling berkunjung, saling menyapa, bergotong royong, dengan intensitas yang tidak kalah "intim" dan "akrab" dengan keintiman di suatu kampung halaman, meskipun semuanya bersifat virtual.

Kini, kampung halaman virtual menjadi saingan dari kampung halaman alamiah, sebagai tempat orang membangun "keakraban", menyusun nilai-nilai, merangkai makna kehidupan dan mendefinisikan eksistensi diri mereka dengan cara baru. Bahkan, tanpa mengunjungi kampung halaman dan warganya yang nyata, orang kini dapat mengunjungi mereka secara virtual, melalui ruang-ruang maya Google, Facebook, atau Twitter. Lantas, apa lagi yang tersisa bagi kampung halaman untuk dimaknai?

Mitos?

Globalisasi atau virtual reality memang tidak menyurutkan orang untuk pulang kampung atau mudik. Bahkan, antusias mudik makin tinggi, dan jumlah pemudik kian meningkat dari tahun ke tahun. Masalahnya kini bukan pada event pulang kampung itu, tetapi makna di baliknya. Apakah kita masih menemukan makna kampung halaman seperti dulu, ketika desa dan kota masih terpisah secara geografis, sosiologis, psikis, dan kultural? Apakah kita masih menemukan ketulusan, keakraban, kesederhanaan, keikhlasan, kepolosan itu di kampung halaman?

Pulang kampung kini tidak sekadar proses mekanis berpindah secara fisik dari kota ke kampung halaman. Kini dia dimuati dengan sistem tanda (sign system) kelas mobil, motor, pakaian, handphone, gadget, dan hadiah. Pulang kampung kini menjadi bagian dari gaya hidup (lifestyle), yang dimuati dengan tanda, citra, dan makna baru, yang bersifat artifisial. Dia kini diperbedakan berdasarkan kelas-kelas (social class) dengan seperangkat objek-objek sebagai penanda (signifier).

Gaya hidup pulang kampung, dalam intensitas tertentu, ikut mengubah makna kampung halaman itu sendiri. Makna-makna keakraban, ketulusan, keintiman, dan kebersahajaan, kini mungkin telah terkontaminasi oleh makna-makna persaingan, penampilan, fashion, tren, sifat permukaan, dan artifisialitas. Gaya hidup kota mungkin telah merembesi secara fundamental kehidupan kampung dan makna kampung halaman itu sendiri. Kampung halaman menjadi kota mikro. Kota dan desa kehilangan batas.

Kampung halaman sebagai konsep kultural kini terancam kehilangan makna esensialnya. Dengan demikian, yang tersisa mungkin adalah makna-makna permukaan, palsu dan artifisial, yang menutupi makna substansial. Makna kampung halaman mengalami distorsi semantika, ketika relasi-relasi di dalam diri manusia (inner character) diambil alih oleh penampakan gaya permukaan (surface).

Kampung halaman sebagai konsep kultural mungkin terancam tinggal mitos belaka. Fungsi mitos, kata Roland Barthes dalam Mythologies (1983) adalah mendistorsi realitas atau menutupi realitas yang sebenarnya. Realitas yang sesungguhnya ditutupi oleh citra realitas (image of reality), dan ironisnya citra realitas itu sendiri yang kini kita anggap sebagai realitas. Gaya hidup pulang kampung mengambil alih makna substansial kampung halaman, dan dia kian menjadi dominan.

Kampung halaman sebagai konsep kultural dapat menjadi mitos, bila makna substansialnya diselubungi oleh makna-makna yang telah terdistorsi. Dengan demikian, yang kita lihat sesungguhnya adalah ilusi kampung halaman. Kampung halaman dimuati dengan makna-makna distortif bersifat permukaan, akibat pengaruh gaya hidup perkotaan, sementara makna substansialnya terpinggirkan di dalam hiruk pikuk gaya, tanda, dan citra-citra artifisial pulang kampung itu sendiri.***

Yasraf Amir Piliang, Direktur YAP Institute, dosen Magister FSRD ITB.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 5 September 2010

No comments: