Saturday, September 25, 2010

Tanah Air: Borobudur Mandala Kehidupan

-- M Burhanudin dan Regina Rukmorini

PADA suatu hari terjadi kebakaran hebat di hutan. Si burung pipit yang tinggal di hutan itu lalu berinisiatif memadamkan api meski sadar kemampuannya terbatas. Hari itulah sepuluh abad lampau ”altruisme”—kosakata yang menyeruak kembali dua tahun terakhir di sini—dipahat di batu.

Wisatawan menikmati senja di antara stupa Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (20/9). Candi yang diperkirakan berdiri pada abad IX di masa wangsa Syailendra ini merupakan monumen mahakarya peradaban budaya sekaligus ikon wisata Indonesia. (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Burung itu terbang ke telaga, membasahi tubuhnya, lalu terbang kembali menuju lokasi kebakaran, dan mengibaskan tubuhnya agar air bisa sedikit membantu memadamkan api. Upaya tersebut dilakukan bolak-balik, sampai akhirnya burung itu mati lemas dan diangkat menjadi Buddha.

Itulah sepenggal kisah Jantaka dalam salah satu panel relief Candi Borobudur. Jantaka merupakan cerita tentang perjalanan titisan Bodhisattva yang menjadi berbagai macam hewan.

Kisah si burung pipit merefleksikan betapa berharganya sikap altruistik, rela berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, dan solidaritas. Melepaskan ego pribadi demi kepentingan bersama dengan pengorbanan.

Sebuah sikap hidup yang dalam kehidupan nyata saat ini terasa mahal. Keikhlasan sering kali hanya indah terucap, tetapi kosong dalam kenyataan.

Ya, Candi Borobudur memang kaya akan pesan kebajikan. Semuanya terpampang pada bagian dinding dan langkan bangunan candi yang panjangnya jika direntangkan akan mencapai 3.000 meter. Pada permukaan dinding-dinding batu yang membujur di bangunan candi terbesar kedua di dunia ini dipahat sebanyak 2.670 panel relief tebal. Sebanyak 1.212 panel berupa relief dekoratif dan 1.460 yang lain adalah panel relief naratif (relief berupa cerita).

Dibangun oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra sekitar tahun 824, Candi Borobudur memang diarahkan sebagai monumen atas intisari kehidupan. Intisari itu tertutur dari dasar hingga puncak bangunan. Maknanya tersurat dan tersirat dari bentuk fisik candi, relief, serta kosmologi tempatnya.

Candi Borobudur terbuat dari dua juta potongan batu berukuran rata-rata 25 x 10 x 15 cm dengan tinggi 35,29 meter. Bangunannya bertingkat. Setiap tingkatnya melambangkan tahapan kehidupan manusia. Tahapan yang mengandung nilai universal tentang petunjuk hidup bagi manusia menuju kebajikan. Setiap tahapan itu diuraikan lewat ribuan panel relief candi.

Bagian kaki candi bernama Kamadhatu, lambang dunia yang masih dikuasai oleh ”kama” atau nafsu. Bagian yang tertutup struktur tambahan, berisi 160 panil cerita Karmawibhangga, cerita tentang segala perbuatan manusia soal ganjarannya.

Empat tingkat di atas kaki candi bernama Rupadhatu—artinya manusia yang telah dapat melepaskan diri dari hawa nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief dan lantainya berbentuk lingkaran. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu—yang tak berwujud—melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk sehingga siap mencapai nirwana.

Mandala

Candi Borobudur tak sekadar syarat makna kebajikan. Ia juga merupakan mandala atas bentuk tiga dimensinya sendiri, dan juga bangunan percandian di sekelilingnya (Muhammad Taufik dalam jurnal Balai Konservasi Purbakala Borobudur, 2008). Borobudur adalah totalitas, suatu tanda kesempurnaan dan kemuliaan. Pusat dunia yang berupa arca dan bangunan yang batas-batasnya telah ditentukan atau semacam ”pagar suci”.

Menurut Dr Sukmono dalam buku Chandi Borobudur (1976), sinergi dalam pengembangan peribadatan Borobudur dan percandian semasanya adalah bukti situasi damai masa itu. Posisi mandala ini segaris lurus dengan dua mandala Buddha lain di dekatnya, yaitu Candi Pawon, Mendut, dan Gunung Merapi.

Menurut Taufik, mengacu pada pengertian bahwa bentuk mandala berupa garis lurus geometris, Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur yang dibangun pada satu garis lurus. Ketiga bangunan tersebut dianggap sebagai superstruktur. Candi-candi Hindu yang ada di sekitarnya dapat dianggap sebagai substrukturnya, seperti Candi Ngawen dan Kali Tengah.

Hampir satu milenium Borobudur ”tidur” dalam timbunan tanah dan debu vulkanik letusan Merapi. Sejak ditemukan dan dipugar oleh Pemerintah Kolonial Belanda antara abad XIX dan awal abad XX serta kemudian dilanjutkan dengan renovasi pada masa kemerdekaan, Borobudur terlihat kembali segar. Borobudur menjelma sebagai salah satu bangunan yang diakui sebagai warisan keajaiban dunia.

Kini, Borobudur lebih dikenal sebagai obyek wisata. Namun, kurang dibarengi dengan sosialisasi sebagai monumen warisan peradaban dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kantor Pusat Studi Borobudur yang dulu diharapkan menjadi arena transformasi nilai luhur ke generasi masa kini telah lama berubah sebagai Hotel Manohara.

Namun, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Menempatkan Borobudur kembali sebagai mandala kehidupan sangat relevan pada masa gegar nilai seperti sekarang ini.

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 September 2010

No comments: